INTRODUKSI PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODEREN ISLAM DI INONESIA
PMII
(Introduksi)
INTRODUKSI
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN MODEREN ISLAM DI INONESIA
Oleh Dr. H.
Shofwan Karim, BA., Drs., MA.
INTRODUKSI
Gerakan reformisme dan modernisme Islam abad ke-19, di antaranya Jamaludin al-Afghani (1839 – 1897), Muhammad
Abduh (1849 – 1905) dan Rasyid Ridla (1856 – 1935), hakikatnya merupakan
kelanjutan tajdid atau pembaruan pra-modern sebelumnya seperti Taqiyudin Ibnu Taimiyah (1263 -1328),
Muhammad bin Abdul Wahab (1703 – 1787) Syah Waliyullah (1703 – 1762). Kecuali
Syah Waliyullah dari India, semua tokoh tadi, dari Al-Afghani hingga Abdul Wahab, berada di MENA
(Middle East and North Africa). Syah Waliyullah di India.
Modernisme Islam
yang timbul di Timur Tengah pada abad ke- 19 tadi, secara umum merupakan reaksi
terhadap tantangan Barat sebagai rangsangan ekternal dan kebutuhan objektif
internal ummat Islam untuk mengubah kualitas diri untuk kemajuan yang sesuai
dengan nilai Islami yang kokoh. Cirinya adalah pencarian nilai-nilai yang
dianggap lebih sesuai dengan zaman modern. Reformasi yang bersifat
rasionalistis. Percaya pada kemajuan dan pengetahuan. Hidup dengan bekerja
rajin dinilai positif. Fatalisme serta pertapaan ditolak. Kaum reformis
berusaha membersihkan agama dari segala macam ajaran bid’ah yang
dimasukkan selama berabad-abad dan telah menjadi ketentuan agama yang
tetap. Mereka menuntut bagi perorangan hak untuk meneliti tradisi secara kritis
menurut wahyu asalnya. Kembali kepada Quran adalah semboyan yang banyak
didengungkan. Juga diusahakan dalam kalangan reformis penghayatan agama
yang lebih pribadi daripada upacara agama formal yang telah menjadi kebiasaan.
Antara lain diusahakan hal ini tercapai dengan menggantikan penggunaan bahasa
Arab dengan bahasa daerah sebagai bahasa peribadatan. Sang reformis dalam
menghadapi kalangan mereka yang berkeyakinan lain senantiasa memperlihatkan
toleransi. Reformisme Islam dapatlah dianggap sebagai gerakan emansipasi
keagamaan. Sang reformis menginginkan agar agamanya dihargai sepenuhnya oleh
Barat (Korver, 1985-2-3), dan tentu saja dapat mengangkat harkat dan martabat
umat Islam serta menegakkan Islam yang sesuai dengan setiap wilayah dan zaman.
Cita-cita reformasi Islam tadi masuk ke Indonesia akhir abad 19 dan awal abad
ke-20, secara umum paling tidak melalui tiga cara (Ibid). Pertama,
melalui masyarakat Arab yang bermukim di Indonesia. Sekitar tahun 1900,
mereka baru sekitar 18 ribu orang. Mereka kebanyakan berasal dari Hadramaut.
Sebagian mereka yang datang dari India disebut juga “orang Arab”. Umumnya
mereka adalah kaum pedagang. Melalui perkawinan dengan warga Indonesia, mereka
menjadi akrab dengan bangsa ini terutama karena kaitan agama. Meskipun begitu
dekat dengan masyarakat Indonesia, tetapi mereka tetap mempunyai ikatan
kerohanian yang kental dengan negeri asalnya, Arab. Surat-surat kabar dan
majalah dari negeri-negeri Timur Tengah banyak dibaca. Demikian pulalah
pemikiran-pemikiran reformis Timur Tengah memasuki masyarakat Arab di sini. Di
dalam kelompok ini timbul aliran reformis yang berpendapat bahwa kedudukan kaum
muslimin harus diperbaiki dan hal ini dapat terjadi dengan baik melalui
perbaikan pendidikan.
Kecenderungan internal memperbaiki kualitas diri melalui pendidikan diiringi
pula sentimen kebencian orang Arab itu terhadap sekolah-sekolah rendah Belanda
di Indonesia. Emosi instinktif dan faktor eksternal itu semakin mengkristal,
maka pada tahun 1905 di Jakarta terbentuk perkumpulan Jamiat Khair (JK) oleh
antara lain dua tokoh, Abubakar bin Ali Syahab dan Idrus
bin Ahmad Syahab ditandai dengan berdirinya sebuah
sekolah dasar untuk masyarakat Arab.
Perkumpulan ini
juga mengirimkan anak-anaknya ke negeri-negeri di Timur Tengah untuk
melanjutkan pendidikan. JK adalah organisasi moderen untuk kala itu dengan
mempunyai anggaran dasar, anggota yang terdaftar, pengurus yang dipilih dan
melakukan pertemuan berkala dengan program kerja yang jelas. Keanggotaan JK
terbuka untuk semua muslim , tetapi tentu saja seperti telah disebutkan,
sebagian besar anggotanya adalah orang Arab.
Sekolah JK ini bersifat modern, mempunyai daftar pelajaran tetap dan bersistem
kelas-kelas dan jenjang tahunan. Di samping agama, diajarkan
pelajaran-pelajaran “modern” seperti berhitung, sejarah dan ilmu bumi.
Guru-gurunya sebagian besar berasal dari Timur Tengah . Akan hal-halnya
anak-anak Indonesia, juga dibolehkan bersekolah di sini . Belakangan, JK juga
didirikan di luar Jakarta. (Noer, 1980:68-73).
Oleh karena JK, oleh sebagian
masyarakat Arab dianggap terlalu elit dan lebih dominan tergambar
sebagai komunitas para habib, maka lahir pula jaringan masyarakat Arab yang
lebih egaliter yang menamakan gerakannya dengan al-Irsyad. Perhimpunan Al-Irsyad
Al-Islamiyyah (Jam’iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6
September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah
Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri
baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915. Tokoh
sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-’Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori,
seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan.
Kedua, reformisme Islam masuk melalui Minangkabau. Di antara printisnya
adalah Syekh Taher Jalaluddin yang sebagian besar usianya di habiskan di luar
Sumbar: Timur Tengah dan Malaysia. Majalah bulanannya al-Imam, yang
terbit di Singapura antara 1905-1910, besar pengaruhnya kepada kalangan
reformis Minangkabau. Al- Imam memuat karangan-karangan tentang soal-soal
keagamaan, masalah-masalah ilmiah populer, dan peristiwa-peristiwa penting
dunia. Majalah itu mempropagandakan perlunya kemajuan masyarakat muslim. Kaum
muslim didesak untuk tidak ketinggalan dalam bersaing dengan Barat. Al-Imam
dibaca pula di bagian-bagian lain Indonesia. Di Jawa, agen-agen majalah ini
terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Berikutnuya, tokoh reformis Minangkabau yang banyak terpengaruh oleh Jalaluddin
adalah H. Abdullah Ahmad, ia pun aktif dalam bidang pendidikan. Di samping
memberikan pelajaran-pelajaran agama, pada tahun 1909 ia mendirikan sekolah
dasar di Padang, yaitu sekolah Adabiyah. Sekolah ini terutama dikunjungi oleh
anak-anak kaum pedagang Sumatera yang tidak mendapat tempat di sekolah
pemerintah. Seperti juga sekolah Jamiat Khair di Jakarta, sekolah Adabiyah
bersifat moderen. Selain aktif di bidang pendidikan, Abdullah Ahmad juga giat
sebagai penulis. Ia mendirikan majalah Al-Munir (yang diterangi) yang terbit
antara 1910-1916 di Padang . Al-Munir bertujuan menyebarkan agama yang
“sesungguhnya”, menambah pengetahuan para pembacanya, dan mempertahankan Islam
terhadap serangan-serangan luar. Majalah ini memuat karangan-karangan tentang keagamaan.
Dikemukakannya pentingnya pengetahuan, manfaat surat kabar dan pentingnya arti
perkumpulan serta organisasi. Ia menaruh perhatian kepada peristiwa-peristiwa
penting di dunia. Kemudian Abdullah Ahmad pun menjadi redaktur sebuah majalah
keagamaan yang dikeluarkan oleh SI (Noer, 1980:4-47, 51-52) .
Berikutnya adalah
Syekh Abdul Karim Amarullah atau Haji
Rasul (1879-1945) mendirikan organisasi Sendi AmanTiang Selamat (SATS) di Maninjau sekitar 1915, yang kemudian
setelah membawa Muhammadiyah ke Minangkabau, oleh karena idenya banyak yang
bersamaan, maka SATS itu tidak aktif lagi seakan melebur menjadio
Muhyammadiyah. Tokoh ini kemudian membuka halaqah di Surau jembatan Besi
Padangpanjang, kemudian mendirikan Madrasah Thawalib Padangpanjang. Dari situ beliau
menggerakan kecintaan ummat kepada Islam dan menggesa ummat untuk memurnikan
akidah serta mendorong berfgikir bebas di bawah naungan Quran.
Begitu pula tokoh Syekh Jamil Jambek, tokoh berikutnya yang lebih
giat berdakwah serta menjadi pelanjut Syekh Thaher Jalaluddin dalam keahliannya
di dalam ilmu falak. Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), adalah satu
dari empat ulama pelopor pembaruan Islam
dari Sumatra Barat di awal abad ke-20.
Ketiga, sejalan dengan arus di atas, cita-cita reformisme dan modernisme
masuk ke Indonesia dan selanjutnya dikembangkan oleh organisasi dan
persyarikatan masyarakat warga Indonesia di Jawa seperti Muhammadiyah dan
Sarekat Islam (SI). Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 , 8 Zulhijah
1330 di Yogyakarta oleh H. A Dahlan. Sementara SI didirikan 11 November 1912 di
Solo oleh Cokroaminoto. Ahmad Dahlan beberapa lama belajar di Mekah dan di sana
ia berkenalan dengan pemikiran reformis Islam yang berkembang di Timur Tengah
terutama Mesir, Saudi Arabia dan Turki.
Muhammadiyah
bergerak di bidang pendidikan, sosial dan keagamaan. SI bergerak di bidang,
agama, ekonomi, sosial dan politik. Meskipun
Muhammadiyah pada masa awal tidak mencampuri urusan politik, tetapi Ahmad
Dahlan sendiri di samping pendiri dan penggerak Muhammadiyah juga menjadi
anggota Pengurus Besar SI serta berhubungan erat dengan Boedi Oetomo (BO). BO
adalah organisasi kebangsaan netral agama yang berdiri pada 20 Mei 1908 oleh
para siswa STOVIA yang didorong dan diilhami oleh gagasan dokter Wahidin
Sudirohosodo. Keterlibatan Ahmad Dahlan di dalam SI dan BO lebih kepada upaya
untuk melanggengkan dakwah Islam yang menjadi dasar gerakan Muhammadiyah. Salah
satu kegiatan awal Muhammadiyah adalah mendirikan sekolah dasar modern dalam
gaya sekolah JK dan sekolah Adabiyah di Padang . Sesudah tahun 1917
Muhammadiyah meluas ke luar Jawa dan berangsur-angsur tumbuh menjadi satu
organisasi yang terbesar di Indonesia (Korver, 1985:5) .
Kempat, kelanjutan dari jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Teorinya merupakan pembahasan
oleh Azyumardi Azra. Selanjutnya, jaringan Ulama di Nusantara Abad ke-19. Banyak
ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang mengembangkan Islam
di Indonesia. Ahmad Khatib Al-Minangkabawi misalnya. Imam Besar Masjid al-Haram
ini merupakan inspirator semua ulama baik yang belakangan disebut kaum
modernisme maupun tradisionalisme. Semua tokoh
gerakan modern Islam di Minangkau di atas merupakan muridnya. Begitu
pula di Jawa, Ahmad Dahlan yang melahirkan
Muhammadiyah dan Hasyim Asy’ari yang mendirikan Nahdhatul Ulama. Yang lain, Muhammad Nawawi (Banten); Diponegoro, Ahmad
Rifa’I (Jawa Tengah)’ Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari (Kalimantan).
Sebagaimana
jaringan ulama pada abad sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad
ke-19 pun tak bisa dilepaskan dari peran timur tengah seperti Mekah di Jazirah
Arab dan Mesir mengingat adanya keterkaitan yang erat antara pemikiran para
ulama di wilayah tersebut dengan murid muridanya dari nusantara yang belajar di
wilayah tersebut.
Kelima, interaksi antara masyarakat dan dunia media cetak dan
buku-buku. Di peralihan abad 19 ke 20, lalu lintas bacaan itu cukup intensif
masuk ke Indonesia. Bahkan bukan saja dari Timur Tengah, sewaktu Abduh berada
di Paris, Majalah Al-Urwatul Wustqa juga masuk ke Indonesia. Penerbitan buku
dan jurnal dari Timur Tengah, melalui jaringan ulama di atas tadi dan
orang-rang pulang dari ibadah haji, diperkirakan pula membawanya ke Indonesia. Adanya
surat dari Abdullah Ahmad kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi pada tahun
1903 yang mempertanyakan Tarikat Nasqsyabandiyah dan masalah-masalah lain yang
berkembang di Indonesia, dijawab oleh Ahmad Khatib dengan jurnal dan buku. Di
Minangkabau waktu itu banyak penerbitan lain selain Al-Munirul Manar yang
menyebar dan menjadi bacaan di berbagai wilayah Nusantara. Ini tak kalah
pentingnya di dalam menggesa reformisme dan modernism Indonesia.
Dari kelima poros reformisme dan modernisme tadi,
maka perkembangan pemikiran moderen Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang ke
berbagai wilayah dan merambah ke berbagai aspek Islam dan modernisme. Sebagai
basis kawasan tetap saja di Minangkabau dan Jawa . Sementara aspek substantif
gerakan, seakan terjadi keterpaduan
antara gerakan keagamaan, sosial, pendidikan, politik dan ekonomi. Bersamaan
dengan itu respon dari golongan yang merasa tidak nyaman dengan
reformisme tadi, terutama reformisme bidang keagamaan mengakibatkan muncul pula
golongan yang mapan yang menyatu ke dalam pelapisan sosial keagamaan yang
disebut oleh Deliar Noer sebagai golongan tradisional. Yaitu mereka yang
memegang teguh tradisi keagamaan sebagaimana yang telah turun temurun dari para
ulama klasik serta para imam mazhab secara umum baik dari segi teologis,
tasawuf, tarekat, syariat dan fikih.
Maka di ladang panorama perkembangan pemikiran Islam di Indonesia bagai air bah
menjalar ke mana-mana dalam dua poros yaitu poros modernisme dan poros
tradisionalisme. Pada poros tradisionalisme lahir Nahdatul Ulama (NU) di
Surabaya tahun 1926. Di Sumatera lahir Persatuan Tarbiyah Islamiah 30 Mei
1928 di Bukittinggi. Kemudian Jamaah Alwashliyah di Medan. Tentu saja tak bisa
dilupakan, kaum penganut Tarekat berbagai aliran terutama Syatariayh dan
Naqsyabandiyah serta bebeberapa aliran lain tetap eksis di berbagai wilayah.
Respon terhadap modernisme tadi bukan saja datang dari kalangan tradisionalis,
tetapi juga dari kalangan lain yang melihat bahwa SI, Muhamadiyah dan JK tidak
cukup sebagai kancah gerakan. Boleh jadi karena ketiga komponen tadi kurang
reformis dan kurang murni kembali kepada al-Quran dan sunnah, atau karena
menganggap bahwa memunculkan yang baru lebih afdhal dari pada menggunakan kapal
lama untuk gerakannya. Di Minangkabau, misalnya, sebelum Muhammadiyah masuk ke
sini tahun 1925, sudah ada gerakan pemurnian Islam yang reformistis yang
membelah wacana intelektual dan sosio-religius dalam dikhotomis gerakan
Kaum Muda dan Kaum Tua . Di Jawa setelah JK yang dianggap lebih dominan
dikemudikan oleh kalangan Sayid, mengakibatkan kalangan lain yang bukan Sayid
mendirikan Jami’at al-Islam wa Al-Irsyad al-Arabiya disingkat Al-Irsyad
pada tahun 1913 di Jakarta oleh Ahmad Syurkati (lh. 1872) (Noer, Ibid:
73-74). Kemudian berdiri pula Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa
Barat th 1911 atas inisiatif Haji Abdul Halim (lh. 1887) (Noer, Ibid:
80)Sebuah organisasi yang lebih ketat di dalam soal kembali kepada Qur’an dan
Sunnah shahihah berdiri pula di Bandung tahun 1923 dengan nama Persatuan
Islam (Persis) oleh dua orang pedagang yang mempunyai pengatehuan agama
luas Haji Zamzami dan Haji Muhammad Yunus. (Noer, Ibid: 96)
KEPUSTAKAAN
Korver, APE.
1985. Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil. Jakarta: Grafiti pers.
Nagazumi, Akira.
1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918.
Jakarta:
Grafitipers.
Noer, Deliar.
1980. Gerakan Moederen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Sejak akhir
1940-an tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional. Hal itu
telah menimbulkan polemik pro dan kontra. Prof. Dr. Harsya W Bachtiar,
salah seorang di antaranya menganggap hari lahir BO itu tidak laik dijadikan
dasar untuk Hari Kebangkitan Nasional. Sebab, menurut Harsya, BO lebih
ditujukan untuk menaikkan taraf hidup orang jawa dan Madura dari pada
mewujudkan Kesatuan Indonesia (Nagazumi, 1989: v).
Komentar
Posting Komentar