KONFLIK-PEMIKIRAN DAN INTEGRASI-SINERJIK ULAMA MINANGKABAU 1903-1937 M





KONFLIK-PEMIKIRAN DAN INTEGRASI-SINERJIK ULAMA MINANGKABAU
1903-1937 M

Oleh  H. Shofwan Karim


I. PENDAHULUAN
Islam  masuk ke Minangkabau melalui beberapa periode[1] dan sejak  abad  ke-15 M. proses islamisasi itu  tidak  pernah  lagi berhenti.  Kontinuitas  dan perubahan ( Continuity  and  Change) dalam  transformasi dan corak islamisasi masyarakat  Minangkabau di awal abad ke-20, seperti awal abad sebelumnya,   dikendalikan oleh  kaum ulama. Secara relatif untuk hal-hal  tertentu  mereka tetap  dipengaruhi  intelektual Timur  Tengah  dalam  meneruskan misinya.   Di  dalam  perkembangan selanjutnya  kaum  ulama  itu terpilah  kepada  dua faksi. Mereka  yang  tetap  mempertahankan tradisi-tradisi  yang ada dan menjaga kemapanan dan mereka  yang ingin  mengubah apa yang sudah ada kepada suatu yang  baru  yang mereka yakini sebagai suatu yang benar.
Konflik antara kedua faksi itu tampaknya tak bisa dihindari. Oleh  karena pada dasarnya kedua faksi itu adalah ulama  dan  di dalam  struktur  elit stategis kepemimpinan  Minangkabau  mereka adalah perpaduan "tigo tungku sajarangan dan tigo tali  sapilin" (tiga  tungku sejerangan dan tiga  tali  sepilin):  ninik-mamak, alim-ulama  dan cerdik-pandai, sebagai representasi adat,  Islam dan tokoh bebas,[2] maka konflik itu menjadi sangat penting  dalam rangka studi dan memamahi Islam di Minangkabau. 
Studi  ini menyangkut refleksi konflik-pemikiran  dan  integrasi-sinerjik antara kedua faksi dalam kalangan cendekiawan dan ulama  yang  disebut Kaum Tua dan Kaum  Muda.  Fenomena  konflik kedua  faksi itu dimulai sejak terjadinya perbedaan pendapat  di dalam memahami persoalan thariqat (selanjutnya ditulis: tarikat) dan  kemudian merebak ke berbagai masalah lainnya.  Konflik  itu bermula  dari  tahun  1903 M. sebagai yang  akan  dilihat  dalam bahasan  ini, dan berlanjut dua dekade  berikutnya.  Bukan  saja dalam  bidang agama dalam makna sempit, konflik itu bahkan  menyeruduk ke lembaga sosial, pendidikan dan politik.  Diperkirakan pada 1930 M., konflik itu tereliminasi dan untuk hal-hal tertentu, misalnya ketika mulai menyangkut kepentingan bersama di mana ancaman  terhadap  agama muncul ke permukaan, maka  konflik  itu berubah menjadi integrasi.
Konflik-pemikiran   dapat  diartikan  sebagai   pertentangan pemikiran   yang  bersifat langsung atau  tidak,  yang  disadari antara  individu-individu atau kelompok-kelompok untuk  mencapai tujuan  yang  sama.[3] Tujuan yang sama antara Kaum Tua  dan  Kaum Muda  tentulah  supaya Islam semakin diamalkan  di  Minangkabau. Sedangkan integrasi ialah penyatuan kelompok atau individu  yang mungkin  sebelumnya  terpisah  dengan  menghilangkan   perbedaan sosial dan budaya yang ada.[4] Penyatuan persepsi, misi dan  visi antara individu dan kelompok yang saling memperkokoh dan menguntungkan, dalam tulisan ini disebut integrasi-sinerjik.  Artinya, perbedaan  pemikiran dalam pemahaman agama antara Kaum  Tua  dan Kaum Muda dapat dikesampingkan ketika mereka bersatu  menghadapi tantangan  dari  luar.  Keadaan itu tampak  dengan  jelas  dalam perjalanan masa 1930-1937 M.
Studi ini ingin menjawab pertanyaan mengapa terjadi konflik-pemikiran,  apa substansi konflik dan dalam hal  apa  terjadinya integrasi-sinerjik  di  kalangan ulama Minangkabau  dalam  kurun waktu  1903-1937 M. Untuk menjawab pertanyaan itu maka  analisis ini  berusaha menjelaskan latar belakang munculnya Kaum Tua  dan Kaum Muda, dinamika sosio-kultural dan substansi konflik.  Kemudian  integrasi-sinerjik  yang bagaimana yang muncul  belakangan dan  diakhiri dengan kesimpulan yang diharapkan  dapat  menambah khazanah  ilmiah  kajian  Islam di  Minangkabau  sebagai  bagian perkembangan modern dalam Islam di Indonesia pada pertigaan awal abad ke-20 ini.

II. KAUM TUA DAN KAUM MUDA
Istilah Kaum Tua dan Kaum Muda muncul antara tahun 1903-1907 M. Istilah itu bukan semata ungkapan kata biasa tetapi  menjelma menjadi  entitas dua firkah (golongan) yang merupakan  abstraksi  corak pemikiran keagamaan, sosial dan politik. Kaum Tua  menjadi tesa dan Kaum Muda menjadi anti-tesa. Istilah Kaum Muda, awalnya berasal  dari Datuk Sutan Maharaja. Maharaja seorang tokoh  adat yang  berasal  dari  Minangkabau Darat yang  menetap  di  Padang (Minangkabau Rantau). Ia tidak senang dengan pengaruh Aceh  atas masyarakat Pesisir Barat wilayah ini yang katanya sudah  meninggalkan adat lama pusaka usang asli Minangkabau. Adat Aceh  sudah mulai  dipakai oleh Regen (sekarang baca: Bupati)  bersama  kaum bangsawan kota Padang.[5]
Sutan Maharaja melakukan gerakan kembali ke adat Minang  dan menyebut orang yang setuju dengan gerakan itu sebagai Kaum Muda. Sedangkan  Regen dan bangsawan di Padang ia sebut  sebagai  Kaum Tua. Istilah itu ia gunakan sebagai perumpamaan seolah-olah  apa yang mereka lakukan sama dengan gerakan Kaum Muda di Turki  yang pada masa itu sedang melakukan perlawanan keras terhadap  kekuasaan  Sultan  Abdul Hamid penguasa kekhalifahan  Turki  Usmani.[6]. Bersamaan dengan suasana lingkungan sosial gejolak kaum adat  di masa itu, muncul pula gerakan pembaruan di kalangan kaum agama.
Gerakan  ini  melakukan  pembaruan  yang  ditekankan  kepada pemurnian  di bidang akidah dan ibadah serta untuk beberapa  hal mu'amalah. Oleh karena itu mereka disebut pula sebagai  golongan reformis.  Mereka menolak berbagai macam kebiasaan  beragama  di masyarakat  Minangkabau  yang  tidak  sesuai  dengan  al-Qur'an, hadist  dan  sunnah Nabi. Mereka menolak bid'ah,  khurafat,  dan takhayul. Mereka menolak taqlid sembari memperbarui corak  pemikiran, menghindari sifat jumud, beku dan statis dalam  beragama. Mereka menginginkan agama difahami dengan rasio dan ilmu  pengetahuan. Mereka melakukan berbagai upaya modernisasi termasuk  di dalamnya bidang pendidikan, sosial dan politik. Oleh karena  itu mereka juga disebut golongan modernis.[7]
Oleh  karena gerakan pembaruan ini tampak  melawan  kelompok mapan  dalam  beragama, maka gerakan ini mendapat  simpati  pada mulanya  dari  Kaum Muda adat tadi. Datuk  Sutan  Maharaja  yang bersahabat  dengan Abdullah Ahmad--seorang tokoh di antara  kaum pembaru  agama ini-- menyebut golongan agama yang  pro-perubahan ini  dengan sebutan Kaum Muda pula sebagaimana gerakan  yang  ia pimpin di kalangan aktivis adat.[8]
Belakangan, karena beberapa sikap Kaum Muda agama ini  tidak sesuai  dengan  corak  berfikir Kaum  Muda  adat,  mengakibatkan golongan  kedua ini beraliansi dengan lawan yang  pertama  yaitu Kaum  Tua agama. Sejak itu istilah Kaum Muda luntur di  kalangan adat  karena  mereka dalam hal beragama  dan  praktik  keagamaan lebih cendrung mengadopsi corak keagamaan Kaum Tua agama.  Istilah Kaum Muda selanjutnya hanya berlaku terhadap Kaum Muda agama yang  di dalam gerakannya vis-a-vis Kaum Tua  agama.  Seterusnya apa yang disebut Kaum Tua dan Kaum Muda adalah dalam rangka yang terakhir ini.
Kaum Tua di dalam beragama berpegang kepada  tradisi-tradisi  sebagai  sesuatu  yang  tak berubah  dalam  proses  kelangsungan (continuity)  dan pewarisan apa yang sudah ada. Oleh karena  itu mereka disebut pula kaum tradisonalis sebagai lawan kaum  modernis. Mereka bersikaf konservatif dan oleh lawan-lawannya disebut kaum  kolot atau kaum kuno. Kaum Tua ini dalam  corak  pemikiran keagamaan  mempunyai  prinsip-prinsip:(1)  dalam  bidang  akidah menyebut dirinya ahl sunnah wa al-jama'ah dengan corak kalam al-Asy'ariah;  (2) dalam fikih menganut mazhab Syafi'i; (3)  mereka mempertahankan  aliran-aliran tarikat yang muktabarah (sah  diamalkan menurut prinsip mereka); (4) tradisi, adat kebiasaan yang melekat dalam berbagai macam amalan keagamaan yang dianggap oleh Kaum Muda sebagai bid'ah tetap mereka pegang; (5) pintu  ijtihad bagi  mereka  sudah tertutup  karena  kehadiran  mujtahid-mutlak sudah  berakhir pada abad ke-3 H. Oleh  karena itu yang  berlaku di kalangan umat Islam adalah ittiba' dan taqlid.[9]
Berbeda  dengan Kaum Tua, terhadap kelima prinsip  itu  Kaum Muda  berpendapat : (1) mereka mengaku berakidah  menurut  ahl sunnah wa al-jama'ah tetapi tidak terang-terangan menganut kalam al-Asy'ariah dan menempatkan peranan akal lebih dominan  sesudah al-Qur'an  dan Hadist; (2) tidak mengikatkan diri  hanya  kepada satu  mazhab  fikih. Mazhab-mazhab lain  sepanjang  bersandarkan kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah dianggap mempunyai  nilai kebenaran  yang sama; (3) menganggap tarikat yang berkembang  di Minangkabau  waktu  itu  adalah ghairu  mu'tabarah,  karena  itu mereka menentang tarikat-tarikat tersebut; (4) tradisi keagamaan yang tak berdasarkan al-Qur'an dan Hadist yang kuat ditolak  dan dianggap  bid'ah dhalalah; (5) pintu ijtihad senantiasa  terbuka untuk ulama-ulama yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas  atau kompetensi tinggi.[10].
Perbedaan  prinsip  antara Kaum Tua dan Kaum  Muda  di  atas ternyata  berkembang  di Minangkabau secara  akumulatif  (turun-naik) antara dekade pertama dan ketiga abad ini sebagai  konflik pemikiran keagamaan. Analisis berikut memaparkan latar  belakang sosio-kultural, proses terjadi, substansi dan berkembangnya konflik  tersebut yang terfokus kepada aktivitas  tokoh-tokoh  Kaum Tua dan Kaum Muda serta interaksi kedua pihak.

III. DINAMIKA SOSIO-KULTURAL DAN SUBSTANSI KONFLIK
Minangkabau  di peralihan abad 19-20 termasuk  wilayah  yang sudah  maju di bidang pendidikan di bandingkan wilayah  lain  di Indonesia selain beberapa kota besar di Jawa. Mobilitas  geografis  dan  sosialpun  di kalangan masyarakat ranah  ini  ke  luar daerah cukup tinggi. Hubungan ke Timur Tengah yang memang  sudah berjalan lancar sejak lama, pada peralihan abad ini dimanfaatkan oleh orang Minangkabau bukan saja untuk menunaikan ibadah  haji, tetapi  sekaligus menambah cakrawala dan wawasan dengan  menetap di Mekah beberapa lama dalam rangka menuntut ilmu agama.[11]
Di  antara orang-orang Minangkabau yang pergi haji ke  Mekah dan  bermukim  di sana beberapa lama  menimba  ilmu  pengetahuan agama  termasuk tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda. Mereka  yang dari  Kaum Tua adalah : (1) Syekh H. Abbas Qadhi (1863-1949  M.) dari  desa  Ladang Laweh, Bukitinggi. Ia belajar agama  di  kampungnya   kemudian  berangkat  ke Mekah serta  belajar  di  sana sampai  sekitar 1910 M.; (2) Syekh H. Sulaiman al-Rasuli  (1871-1970 M.), anak seorang ulama di Candung, Agam, belajar agama  di berbagai tempat di Minangkabau kemudian belajar di Mekah  (1903-1907 M.); (3) Syekh H. Khatib Muhammad Ali (1861-1936 M.), lahir di Solok putra ulama di situ, setelah belajar agama di  berbagai tempat, ia belajar di Mekah (1882-1889 M.). [12]
Seperti Kaum Tua, tokoh dari kalangan Kaum Muda juga mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial yang tidak jauh  berbeda, mereka adalah : (1)Syekh H. Muhammad Jamil Jambek (1862-1947 M.),  anak seorang bangsawan adat di Bukittinggi yang naik  haji dan  bermukim  di Mekah (1896-1903 M.); (2) Syekh DR.  H.  Abdul Karim Amrullah (1879-1945 M.), putra seorang ulama di  Maninjau, Agam,  setelah belajar agama di kampungnya berangkat  naik  haji dan bermukim  memperdalam ilmu di Mekah (1894-1906 M.); (3) Syekh DR. H. Abdullah Ahmad (1878-1933 M.), putra seorang pedagang  di Padang Panjang, setelah belajar agama di tempat kelahirannya  ia berangkat naik haji ke Mekah dan memperdalam ilmu di sana (1895-1899 M.).[13]
Di  Mekah, semua pemimpin Kaum Muda termasuk Syekh  Sulaiman al-Rasuli dan Syekh Jamil Jaho dari Kaum Tua sempat belajar ilmu agama  kepada  seorang tokoh Minangkabau yang sudah  lebih  dulu bermukim  di kota suci ini. Tokoh itu adalah Syekh Ahmad  Khatib  al-Minangkabawi  (lh.1855 M.) yang mulai menetap di  Mekah  1876 M.,   kemudian mengajar di Masjid al-Haram. Ahmad Khatib  adalah ulama terkemuka mazhab Syafi'i. Sampai akhir hayatnya (1916 M.), ia termasuk ulama populer yang banyak didatangi oleh murid-murid bukan saja dari Minangkabau tetapi juga jawa dan lain-lain.[14]
Selain mengajar Ahmad Khatib juga menulis kitab dan  risalah dalam bahasa Arab dan Melayu. Dalam bahasa Arab :  (1) Al-Nafahat (Usul Fikih), (2) Istbat al-Zain, (3) Shulh al-Jama'atain  (mengenai  salat jum'at),(4) al-Da'il Masmu' (hukum pembagian  pusaka), (5) Raf'u  al-Iltibas, (6) Iqna'u al-Nufus (hukum zakat uang  kertas),  (7) Irsyad  al-Hayat  (penolak tuduhan  kaum  Kristen  dan pembuktian kebenaran Islam), (8) Tanbih al-Awam (mengenai organisasi Syarikat Islam). Kemudian dalam bahasa Melayu: (1) al-Manhaj al-Masyru'(hukum pembagian pusaka), (2) al-Khuththat al-Mardliyah (hukum  melafazkan  niat), (3) Riyadl  al-Wardiyah(hukum  Fikih), (4) Risalah Membantah Martabat Tujuh, (5) Izhar Zaghli  al-Kazibin(fatwa  tentang  tarikat  Naksyabandi,  (6) al-Ayat   al-Baiyinat (penolak  atas  bantahan kitab Izhar ...,  (7) al-Saif  al-Battar (masalah tarikat Naksyabandi).[15]
Walaupun  Ahmad Khatib ulama mazhab Syafi'i tetapi ia  tidak melarang  murid-muridnya  membaca dan mempelajari  tulisan  dari penerbit yang berasal dari luar Mekah seperti Mesir dan lainnya. Mereka  bebas  memahami tulisan Jamaludin  al-Afghani,  Muhammad Abduh  dan  Rasyid  Ridha atau tokoh  lain.  Meskipun  maksudnya supaya murid-muridnya itu dapat menolak pendapat  dan  pemikiran  tokoh-tokoh tersebut yang termuat di dalam majalah al-Urwat  al-Wustqa, tafsir  al-Manar dan lain-lain. Namun ia tentu menyadari peringatan  Imam  Syafi'i bila terdapat di dalam  fatwanya  yang berlawanan dengan Qur'an, hadist dan sunnah Nabi, maka  fatwanya itu  harus ditolak.[16]
Sikap  demikian  ternyata merupakan salah satu  faktor  yang membuat murid-muridnya setelah kembali ke Minangkabau  melakukan perbandingan pemikiran. Akibat dari perbandingan pemikiran  itu, di antara mantan murid-murid Ahmad Khatib itu melakukan  gerakan pembaruan yang pada dasarnya dapat dikatakan menjadi salah  satu di antara latar belakang lahirnya gerakan Kaum Muda di Minangkabau.  Sebagai buah dari kemerdekaan berfikir dalam  studi  Islam yang  dikembangkan Ahmad Khatib mengakibatkan alumnus  lingkaran studinya  di Masjid al-Haram meneruskan kiprah  intelektual  dan mengkaji  kembali  praktik amalan agama  di  Minangkabau.  Dalam kaitan  itulah, salah satu di antaranya menjadi dasar  munculnya konflik  pertama antara Kaum Muda dan Kaum Tua. Pangkal  konflik adalah fatwa Ahmad Khatib tentang Tarikat Naksyabandiyah  ketika menjawab  surat  H.  Abdullah Ahmad tahun 1324  H/1903  M.  yang dikirim kepadanya berbunyi:[17]

Tarikat  Naksyabandiyah Khalidiyah adakah baginya asal  pada syara'  atau tiada?. Dan adakah salasilahnya  sampai  kepada Rasulullah  swa.  atau tiada? Dan adakah  bagi  meninggalkan makan  daging asal pada syara' atau tiada? Dan adakah  suluk 40 hari dan 20 hari dan 10 hari baginya asal daripada syara' atau  tiada? Dan rabithah adakah asalnya pada syari'at  atau tiada? Hendaklah dijawab soal itu dengan maujud pada syara'. Jika  maujud  padanya hendaklah dinyatakan  dalilnya  kepada kami. Dan jika tiada maujud padanya maka hendaklah  nyatakan pula pada kami. Karena telah hasil di negeri kami persalahan besar pada masalah ini.

Pertanyaan  itu dijawab oleh  Ahmad Khatib[18]di  dalam  kitabnya Izharu Zaghli al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi  al-Shadiqin (menyatakan kelancungan pendusta-pendusta yang menyamar  sebagai orang-orang yang benar). Di situ Ahmad Khatib menjelaskan  bahwa tarikat Naksyabandi yang berkembang pada masa itu tidak mempraktikkan  akidah, syari'at dan tasawuf yang sesuai  dengan  ajaran Rasulullah.[19] Ia membatalkan segala amalan tarikat yang  telah ditanyakan  oleh Abdullah tadi dengan alasan al-Qur'an dan  Hadist,  termasuk yang berkenaan dengan wasilah, rabithah,   wirid-wirid,  dan  kaifiat yang dipakai di dalamnya.[20]. Fatwa  ini  diperkuat  pula  oleh  fatwa-fatwa Mufti dan  Ulama  Mekah  Mazhab Syafi'i dan Maliki lainnya.[21]
Fatwa Ahmad Khatib itu mendapat kecaman pedas dari Kaum Tua. Bantahan terhadap fatwa itu sebagai mewakili pandangan Kaum  Tua datang  dari  Syekh Sa'ad Mungka.  Syekh  Mungka  mempertahankan tarikat  Naksyabandi dan menulis sebuah kitab  sebagai  bantahan atas kitab Ahmad Khatib  tadi yang dinamakannya Irghami al-Unufi al-Muta'annitin.  Menolak  bantahan itu Ahmad Khatib  pada  1325 H/1904 M. kembali menulis kitab al-Ayat al-Bayinat li  al-Munsifina  fi  Izalati Khurafati Ba'd  al-Muta'al-Sibina  (penerangan yang  jelas  bagi  orang-orang yang  insaf  untuk  menghilangkan khurafat sebagian di antara mereka yang fanatik).[22] Pada  gilirannya  perdebatan-perdebatan  itu berkepanjangan  dengan  mengeluarkan  kitab-kitab yang saling menyerang dan  melibatkan  pula tokoh-tokoh  lainnya  dari kalangan Kaum Tua yang  ikut  bersama Syekh Mungka menyerang Ahmad Khatib. Misalnya sepucuk surat dari Syekh  Abdullah  bin Abdullah al-Kahlidi dari Tanah  Datar  yang tetap  mempertahankan tarikat Naksyabandi dan menyalahkan  Ahmad Khatib. Untuk yang terakhir ini Khatib menulis lagi satu risalah Al-Saif al-Battar.[23]
Sebaliknya  Kaum Muda sepenuhnya berpihak  kepada  pendapat-pendapat  Ahmad  khatib yang menolak keabsahan  berbagai  amalan tarikat  di atas. Abdullah Ahmad tampaknya menjadi  poros-tengah dalam  mensosialisasikan  pendapat-pendapat Ahmad  Khatib  dalam menyuarakan  gerakan  anti tarikat itu ke sesama Kaum  Muda.  Di antara  Kaum Muda lain yang aktif menolak tarikat dan  mempertahankan pendapat Ahmad Khatib adalah Syekh H. Abdul Karim  Amrullah  dengan menulis kitab berjudul, Qath'iu Riqabi  al-Mulhidina (pemancung leher orang-orang yang terpesona).
Konflik  pemikiran  keagamaan berkembang pula  dari  masalah tarikat  kepada masalah-masalah lain yang pada mulanya  bersifat khilafiah.  Antara lain mengucapkan ushalli sebagai  lafaz  niat salat,  menghadiahkan do'a, berdiri membaca riwayat Nabi  ketika merayakan Maulid, membakar kemenyan sebelum berdo'a dalam  acara syukuran  atau selamatan dan lain-lain.[24] Pertikaian itu  kemudian  berkembang menjadi kubu-kubu perjuangan yang bisa  disebut sebagai konflik institusional. Kaum Muda karena selalu  berfikir ke depan selalu berorientasi kepada "kemajuan". Kemajuan  adalah kosa  kata yang amat populer pada dekade-dekade awal abad  ke-20 M.  Kata ini mengandung pengertian cara-cara hidup  yang  meniru bangsa modern di zaman itu, melalui adaptasi terhadap  kehidupan Barat,  antara  lain orang-orang Belanda dan  apa  yang  menjadi gambaran dalam surat kabar yang terbit waktu itu. Bagi Kaum Muda kata kemajuan diseleksi. Cara hidup Barat yang tak sesuai  Islam ditolak.  Mereka  lebih menekankan kepada gaya  hidup  dan  cara berfikir  yang progresif dan modern.[25] Untuk  menyesuaikan  arah baru dalam berfikir dan corak kehidupan, berkaitan dengan agama, maka  Kaum Muda   berpendapat pintu ijtihad selalu  terbuka  dan senantiasa  mengembangkan  akal  fikiran.  Mereka  mempergunakan institusi  moderen  dalam memperjuangkan  dan  menegakkan  faham mereka.
Kaum  Muda  membangun organisasi sebagai  wadah  pergerakan, juga  yayasan-yayasan, menggunakan media massa pers,  mendirikan sekolah-sekolah  moderen  dan meninggalkan  sistem  tradisional. Sistem  belajar halaqah (siswa duduk di lantai melingkari  guru) berubah menjadi baru dengan sistem kelas. Kaum Muda giat melakukan  tabligh  dan da'wah secara terbuka.   Tabligh  terbuka  ini menjadikan gerakan Kaum Muda lebih dinamis, progresif,  bersifat massal dan semarak. Hal ini tentu bertolak belakang dengan  Kaum Tua  yang senantiasa menjalankan sistem pengajian  tertutup  dan untuk murid-murid tertentu seperti yang lazim berlaku di  kalangan pengikut tarikat.
Secara  institusional, Syarikat Oesaha (1909 M)  dapat  dianggap  organisasi  pertama Kaum Muda  yang  berhasil  mendirikan Sekolah  Adabiah. Organisasi ini kemudian menjadi  yayasan  yang dipimpin oleh Abdullah Ahmad. Dari aktivitas organisasi itu pula diterbitkan  majalah al-Munir di Padang pada 1911-1916 M.  Berikutnya, organisasi Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) didirikan 1918 M., juga oleh Abdullah Ahmad dan teman-temannya  sesama Kaum Muda. PGAI mendapat pengakuan hukum pada 1922 M. Organisasi ini  mendirikan sekolah Normal Islam pada 1930 M. Sekolah  agama merupakan ciri khusus yang dilaksanakan PGAI, sedangkan  Adabiah bersifat pendidikan umum.[26]
Sebelum  pindah  ke Padang Panjang, di  negeri  kelahirannya Maninjau, tokoh Kaum Muda Syekh Amrullah sudah membina organisasi  Sendi Aman Tiang Selamat. Di Padang Panjang Kaum  Muda  yang semula  melakukan  aktivitas pengajian di  Surau  Jembatan  Besi mendirikan Madrasah Sumatera Tawalib pada 1918 M. Begitu pula di Parabek, Bukittinggi dan Padang Japang, Payakumbuh antara  1920-1930 M. berdiri pula sekolah atau madrasah agama yang  sekaligus menerbitkan  media  pers[27] sebagai  sarana  komunikasi-informasi interen  dan eksteren. Gebyar penerbitan pers di  kalangan  Kaum Muda  marak pada 1910-1930 M. Selain Al-Munir dan  Al-Munir  al-Manar antara 1911-1922 M. di Padang dan Padang Panjang ada  lagi Al-Ittiqan  di  Maninjau, Al-Bayan di  Parabek,   Al-Basyir,  di Sungayang, Batu Sangkar, dan Al-Imam di Padang Japang,  Payakumbuh.
Institusi Kaum Muda diperkuat lagi dengan lahirnya Muhammadiyah  yang semula di Maninjau kemudian berbasis di Padang  Panjang  (1925  M).[28] Melalui institusi  organisasi,  sekolah  atau madrasah dan lembaga pers itu ide-ide pembaruan Kaum Muda menjalar  dan menggema ke berbagai tempat dan wilayah, bukan saja  di Minangkabau  bahkan  juga keluar daerah.  Bila  aktivitas  pers, sekolah dan madrasah di Padang dan Padang Panjang dimotori  oleh Abdullah  Ahmad dan Abdul Karim  Amrullah, maka  tabligh-tabligh terbuka  sangat menonjol dilakukan oleh Syekh Jamil Jambek  yang menyebarkan kegiatannya dari Bukittinggi sebagai pusat. Reaksi Kaum Tua terhadap gerakan bersifat individual, institusional  dan kolektif Kaum Muda itu tampak cukup  hangat.  Kaum Tua  tak ketinggalan melakukan upaya-upaya individual,  kolektif dan  institusional pula dalam menyuarakan dan  mensosialisasikan faham  mereka serta mempertahankan tradisi-tradisi  yang  mereka anut. Oleh karena itu, meskipun pemikiran Kaum Tua dapat dikategorikan tradisonal namun dalam metode perjuangan, seakan  mengikuti perkembangan zaman mereka juga menggunakan sistem,  metoda, sarana, prasarana dan cara-cara modern.
Kalau  Kaum Muda berbasis di organisasi  dan  sekolah,  Kaum Tua yang sudah berbasis di Madrasah mulai pula memperkuat  barisan  bersama.  Begitu pula kalau Kaum Muda  mempunyai  terbitan-terbitan  pers, Kaum Tua juga melakukan hal-hal yang sama.  Berdirinya organisasi Persatuan Ulama (Ittihad al-Ulama) pada 1922-1928  M.  oleh Kaum Tua dapat dainggap  sebagai  sandingan  atau bahkan  saingan atas berdirinya PGAI oleh Kaum Muda  pada  1918. Selanjutnya untuk menyuarakan faham Kaum Tua ke tengah  masyarakat  diterbitkan  pula Suluh Melayu oleh Syaikh  Khatib  Ali  di Padang  pada  1913 M. dan al-Mizan di Maninjau, Agam  pada  1921 M.[29] Berikutnya sebagai lembaga pembina kader Kaum Tua  mendirikan pula madrasah-madrasah bernama Madrasah Tarbiyah  Islamiyah. Madrasah-madrasah ini banyak yang berasal dari surau-surau  Kaum Tua  yang berganti memakai bangku dan ruangan kelas. Pada  tahun 1928  M. madrasah-madrasah tersebut berhimpun  dalam  organisasi Persatuan  Madrasah  tarbiyah  Islamiyah.  Kemudian  dari  sifat persatuan  madrasah  itu,  Kaum  Tua  mempermanenkannya  menjadi himpunan  gerakan semua orang yang sefaham dengan Kaum Tua  dari berbagai  aspek pendidikan, faham keagamaan, kecendrungan  politik, membina kemajuan sosial yang mereka sebut sebagai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) pada 20 Mei 1930 M.[30] Sejalan  dengan itu semua untuk menandingi kegiatan tabligh terbuka yang  banyak dilakukan  Kaum Muda, Kaum Tua juga aktif  mengunjungi  berbagai daerah  yang  menonjol  dilakukan oleh Syaikh  Khatib  Ali  dari Padang dan Syaikh Sulaiman al-Rasuli di Candung, Agam.[31]
Konflik Kaum Muda dan Kaum Tua tadi adakalanya tampak  keras dan dilakukan dengan lantang, terutama bila membicarakan masalah tarikat yang terlihat dari judul-judul buku yang mereka sajikan.[32] Tokoh Kaum Muda Syaikh Abdul Karim Amrullah  serta tokoh Kaum Tua Syaikh Khatib Ali dan Syaikh Saad Mungka dapat dikategorikan kepada mereka yang bergaris keras. Sebaliknya ada yang  bersifat diplomatis  dan  kelihatan  lunak seperti  yang  dilakukan  oleh Syaikh Abdullah Ahmad dalam artikel-artikelnya dan Jamil  Jambek dalam  tablighnya, di kalangan Kaum Muda. Sementara  yang  lunak  ini di kalangan Kaum Tua adalah Syaikh Sulaiman al-Rasuli  serta Syaikh  Abbas Qadhi  dari Padang Laweh di dalam  artikel-artikel dan tabligh mereka.
Sikap  keras  dan lunak, baik di kalangan Kaum  Muda  maupun Kaum  Tua tidak selalu konstan (tetap). Pada saat tertentu  yang lunak  bisa keras atau sebaliknya. Kemudian  adanya  forum-forum bersama  yang  membuat mereka tidak  mungkin  menghindar  bahkan saling  bekerjasama,  maka antara Kaum Muda dan Kaum  Tua  dalam tenggat waktu 1907-1937 M., juga terjadi pola hubungan integrasi yang  bersifat sinerjik. Di dalam hal apa saja proses  integrasi itu terjadi, berikut ini akan ditelusuri dan dianalisis.

IV. INTEGRASI-SINERJIK YANG DINAMIS
Sebagai orang yang sesama beriman dan beragama Islam, apalagi tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda pada umumnya adalah  ulama terkemuka di bidangnya,[33] pemimpin masyarakat, pemimpin  lembaga pendidikan, pemimpin organisasi dan media pekabaran (pers), maka konflik-konflik yang terjadi antara kedua golongan tadi bukanlah suatu permusuhan abadi. Ketegangan itu pun tidak bersifat  individual,  apalagi menyangkut harga diri (muru'ah)  dan   martabat perseorangan tetapi dalam gagasan dan pemikiran serta  pemahaman atas  berbagai  masalah  keagamaan,  sosial  kemasyarakatan  dan politik.   Di  saat pergesekan mereda, yang terlihat  di  antara mereka adalah hubungan yang bersifat integratif-sinerjik, penyatuan  dengan  saling memperkokoh eksistensi dan hal ini  berlaku secara alamiah. Hubungan itu kelihatan adakalanya merenggang dan kadang-kadang merapat.
Ketika Syarikat Islam (SI) masuk ke Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau yang gandrung kepada "kemajuan" melihat  organisasi yang pada dasarnya memperhatikan rakyat dalam bidang ekonomi  yang  kemudian berkembang ke politik, telah  menjadi  tempat bernaung beberapa tokoh kedua golongan itu, baik Kaum Tua  mupun Kaum  Muda.  SI sendiri di beberapa tempat di  luar  Minangkabau banyak dipimpin oleh tokoh perantau Minang. Untuk tingkat  pusat yang menonjol adalah H. Agus Salim dan Abdul Mu'is.[34]
Atas  saran tokoh-tokoh perantau Minang[35] di  sini  berdiri cabang  SI.  Pendirinya adalah ulama-pedagang,  Haji  Ahmad  dan tokoh Kaum Tua Syaikh Khatib Ali. Pengikut SI di masa-masa  awal ini  kebanyakan  petani dan pedagang yang juga  simpatisan  Kaum Tua.  Lantaran  perjuangan SI waktu itu antara  lain  mengeritik pelaksanaan  administrasi pemerintahan Belanda di  pantai  barat Sumatera  di  dalam Kongres SI di Bandung 1916 M.,  maka  simpati golongan  intelektual Minangkabau muncul. Mereka  yang  terakhir ini masuk pula ke dalam SI. Ternyata kaum intelektual ini mayoritas  adalah  Kaum Muda yang  segera  mendominasi  kepengurusuan daerah  SI,  kebanyakan di antara mereka  adalah  guru-guru  dan pegawai pemerintah yang simpati kepada perjuangan kebangsaan dan Islam.[36] Kaum Muda seakan mendapat motivasi lebih  tinggi  lagi untuk  berkiprah  dalam SI karena Syekh Ahmad  Khatib  menyokong ummat Islam Indonesia menggerakkan SI dalam kitabnya Tanbih  al-'Awam.  Kitab  ini dapat dianggap jawaban atas  tulisan  seorang ulama  dari Jawa Syekh Hasyim Asy'ari yang menentang  berdirinya SI dalam tulisan "Kafful 'Awami 'anil Khaudi fi Syirkat al-An'am fi  al-raddi 'ala Risalat Kaffi al-'Awam." Ahmad  Khatib  sangat "anti Belanda".[37]
Integrasi-sinerjik   Kaum Tua dan Kaum Muda di dalam SI  tak berjalan  lama.  Karena kekurang-mampuan memimpin  dan  keuangan dari para pendiri SI di Minangkabau yang ternyata adalah mayoritas Kaum Tua, maka Kaum Muda yang semakin dominan,  berinisiatif mendirikan  sendiri  cabang SI di wilayah ini.  Krisis  internal selanjutnya  sudah  tidak terhindarkan lagi. SI  di  daerah  ini pecah  menjadi dua. Pertama, SI yang dipimpin H. Abdullah  Ahmad dan Abdullah Basa Bandaro yang juga aktivis organisasi  Syarekat Usaha yang merupakan kampiun Kaum Muda dan menggunakan identitas Kartu  Putih.  Kedua, SI yang tetap di bawah  kepemimpinan  Haji Ahmad  dan  Syaikh Khatib Ali yang menggunakan  identitas  Kartu Merah SI. Di dalam kebijaksanaan organisasi kedua faksi ini juga berbeda. Yang pertama lebih dapat bekerjasama dengan  pemerintah Belanda  bahkan menerima subsidi untuk sekolah HIS-Adabiah  yang menggunakan  bahasa pengantar bahasa Belanda. Yang  kedua  tidak disenangi oleh Resident, petinggi Belanda dan stafnya di Padang. Belakangan, yang diakui oleh Central SI adalah kelompok SI kedua atau  SI Kartu Merah. Kemudian disusul pengakuan sebagai  cabang lepas (kusus) untuk yang pertama (SI Kartu Putih), karena cabang ini mulai melakukan oposisi moderat terhadap pemerintah.[38]
Sikap oposisi terhadap pemerintah ini dalam bentuk lain juga mengakibatkan tergalangnya kesamaan visi dan misi yang menyebabkan  merajut kembali emosi integrasi yang belakangan  agak  terganggu  antara  Kaum Tua dan Kaum Muda. Meskipun  integrasi  itu kelihatan  semu, tetapi hasilnya cukup konkret. Misalnya  ketika perkumpulan-perkumpulan  agama dan ulama-ulama Minangkabau  yang dipelopori Kaum Tua dan Kaum Muda melakukan penolakan  peraturan pemerintah  yang  disebut Guru Ordonansi,  1928  M.[39] Dikatakan integrasi  semu ialah karena sebelum penolakan secara  resmi  di hadapan  sekitar  2000 orang tokoh masyarakat  dan  ulama  tanpa perbedaan  aliran  dan golongan pada 18 Agustus  1928,  beberapa tokoh Kaum Muda di antaranya Abdullah Ahmad, dan Kaum Tua Syaikh Khatib Ali, Syaikh Sulaiman Al-Rasuli terlebih dulu sudah dipengaruhi DR. de Vires utusan pemerintah pusat Batavia untuk menerima peraturan itu.[40]
Akan  tetapi karena DR. Abdul Karim Amrullah yang  berhaluan keras dapat menggalang solidaritas hadirin dalam pertemuan akbar itu penuh retorika dan imbauan yang memikat mengakibatkan peraturan Guru Ordonansi itu ditolak. Penolakan inilah yang merupakan hasil  konkret. Penolakan itu dilakukan secara massal,  di  situ bergabung  Kaum  Tua dan Kaum Muda. Keadaan  serupa  selanjutnya terjadi ketika pemerintah Belanda hendak menerapkan pula peraturan  Ordonansi Sekolah Liar pada 1932 M. Kembali ulama Kaum  Tua dan Kaum Muda menolaknya dengan ketua panitia DR. Syekh H. Abdul Karim  Amrullah. Pada 1937 M. pemerintah hendak menerapkan  lagi peraturan  Nikah  Bercatat. Kali ini yang tampil  menjadi  ketua panitia penolakan  ialah dari Kaum Tua , yaitu Syekh H. Sulaiman Al-Rasuli.[41]
Secara  internal perbedaan pendapat untuk beberapa  hal  pun semakin berkurang dan ada persoalan yang disepakati antara  lain pembagian  harta  warisan yang diatur menurut adat  dan  menurut syariat.  Walaupun guru yang amat disegani di Mekah Syekh  Ahmad Khatib mengatakan harta pusaka Minangkabau itu  Syubuhat, tetapi Kaum Tua dan Kaum Muda dalam hal ini tampak melakukan  kompromi. Hal  itu  tercemin pada pendapat Abdul  Karim  Amrullah  seperti dikatakan HAMKA:[42]
Tetapi  ayah  saya DR. Syekh Abdul Karim  Amrullah  berfatwa bahwa  Harta pusaka tinggi adalah sebagai wakaf  juga,  atau sebagai  harta  Mussabalah yang pernah  dilakukan  Umar  bin Khatab pada hartanya sendiri di Khaibar, yang boleh  diambil isinya tetapi tidak boleh di-Tasharruf-kan tanahnya.  Beliau mengemukakan  Qaidah  Ushul  yang  terkenal,  yaitu"Al'Adatu Muhak  Kamatun,  wal 'Urfu Qa-Dhin". Melihat  jalan  fikiran ulama di Minangkabau sendiri, harta itu dibagi dua: pertama harta pusaka tinggi. Kedua, harta pencaharian. Harta  pusaka tinggi  tidak boleh diganggu-gugat, tetapi dalam  keadaannya semula  : Dijual tidak dimakan beli, digadai  tidak  dimakan sando.  Tetapi harta pencaharian, hendaklah di-  Faraidh-kan menurut Agama.
Secara  perorangan integrasi antar tokoh Kaum Tua  dan  Kaum Muda juga kelihatan dengan nyata. Meskipun ada perbedaan prinsip dalam  masalah agama, namun demi untuk memajukan umat  Islam  di ranah  ini ditambah pula oleh pengalaman yang menunjukkan  bahwa pemerintah Belanda semakin memperluas intervensinya dalam berbagai  lapangan kehidupan, maka kedua golongan itu semakin  akrab. Hubungan silaturrahmi dan ukhuwah Islamiah antara pribadi  tokoh Kaum Muda dan Kaum Tua pada 1930-an dapat diketahui oleh masyarakat  dalam  berbagai kegiatan agama  dan  kemasyaraktan.  Abdul Karim  Amrullah,  Ibrahim Musa Parabek  dan  Sulaiman  al-Rasuli seakan  mewakili sosok integrasi-sinerjik  pribadi-pribadi  Kaum Muda dan Kaum Tua, etika mereka pada 1930-an, pergi bersama-sama turun  ke desa-desa menyampaikan dakwah dan  tabligh.  Ketiganya berjanji  akan  sama-sama membawa umat ini kepada  satu  tujuan, yaitu persatuan.[43]
Di  balik  itu semua, secara diam-diam  untuk  hal-hal  yang krusial  seperti  masalah tarikat dan pelaksanaan  salat  dengan lafaz  niat ushalli dan lain-lain mereka tetap berpegang  dengan pendirian  masing-masing.  Untuk yang terakhir  ini,  sekan-akan terjadilah suatu "kesepakatan untuk tidak sepakat" (agreement to disagree).
V. KESIMPULAN
Konflik-pemikiran  dan integrasi-sinerjik Kaum Tua dan  Kaum Muda di Minangkabau pada 1903-1937 M. tampaknya merupakan friksi dan  rekonsiliasi  intern  ulama. Kaum  ulama  sebagai  komponen kepemimpinan masyarakat Minangkabau pada kurun ini sangat intensif  melakukan pengkajian, pendalaman ajaran dan  praktik  agama serta terlibat penuh dalam berbagai aspek dan dinamika kehidupan fisik-jasmani dan mental-ruhani di wilayah ini. Hal itu didorong oleh  faktor dalam (intern), dinamika masyarakat  serta  tingkat pendidikan yang semakin maju dan faktor luar (ekstern), pengaruh interaksi dengan mancanegara, antara lain ketika beberapa  tokoh kedua golongan tersebut pulang setelah belajar di Timur Tengah.
Kedua  kelompok merupakan partisipan aktif "anak  zaman"-nya antara mereka yang mapan dan ingin melanjutkan tradisi (continuity)  dan  mereka yang ingin berubah ke arah  kebaikan  (ishlah) atau positive-change sebagai reformis. Kelompok mapan  tampaknya berbasis di lapisan bawah yang agak merata di pedesaan  terutama berlatar  belakang tarikat dan lingkaran pengajian  tradisional. Sementara  kelompok  reformis,  lebih  berbasis  kelas  menengah perkotaan,  pedagang dan cendekiawan. Pada mulanya  mereka  dari kalangan tradisional juga namun cepat menyambut perubahan  zaman dalam  berbagai lapangan. Keduanya baik yang mapan  maupun  yang pro-perubahan, masing-masing mengelompok dalam institusi sosial, pendidikan, pers bahkan politik.
Bila ditilik dari sumber konflik, persoalan tarikat  merupakan  faktor  dominan  pada awalnya (1903M.).  Kemudian  hal  itu berkembang  ke  masalah  khilafiah (fikih),  lalu  ke  pemikiran keagamaan,  pro-kontra  terbuka dan  tertutupnya  pintu  ijtihad serta penggunaan akal. Di dalam dinamika konflik itu seakan Kaum Muda  merupakan  anti  tesa pendobrak kemapanan  Kaum  Tua  yang menjadi tesa. Dari tesa dan anti-tesa itu lahirlah sintesa  yang secara  relatif dapat dianggap sebagai integrasi-sinerjik  dinamis,  penjelmaan  pandangan dunia (world-view)  yang  baru  bagi kedua pihak. Walaupun dalam sektor tertentu, integrasi ini tidak mengubah  hal-hal  mendasar, namun ada manfaatnya.  Antara  lain masyarakat Minangkabau semakin terbuka dan semakin dapat menggunakan sarana, prasarana serta institusi moderen dalam  kehidupan beragama, sosial, pendidikan, pers bahkan politik.
Integrasi  sosial  dan pemikiran   yang  muncul  belakangan, boleh jadi akibat kearifan kedua pihak, plus tantangan dari luar yang  mereka anggap musuh bersama. Mereka bersatu menolak  Ordonansi Guru, Ordonansi Sekolah Liar, dan nikah bercatat (1937M.). Secara  internal  mereka juga menemukan  solusi  soal  pewarisan harta  pusaka  tinggi menurut adat dan harta  hasil  pencaharian (pusaka rendah) menurut agama.
Selebihnya  integrasi  itu  dapat  diartikan  sebagai  sikap memahami pendapat masing-masing tanpa mengubah prinsip  pihaknya sendiri.  Pada  dekade-dekade berikutnya hal itu  menjadi  modal dasar  bagi kedua kelompok khususnya dan masyarakat  Minangkabau pada umumnya dalam menyelesaikan dan menghadapi  masalah-masalah agama  yang kian menyatu dengan seluruh aspek  kehidupan.  Tugas  menghadapi  masa  depan tak pernah putus dalam  dua  garis  yang saling  berinteraksi antara kemapanan dan perubahan.  Semua  itu menjadi  refleksi  dinamika kaum agama  di  Minangkabau  menurut zamannya.  Bagaimana paradigma ulama dan umat selanjutnya  dalam kontinuitas  dan perubahan Islam di Minangkabau,  tentu  meminta pembahasan tersendiri. ***

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah,  Taufik, Schools and Politics: The Kaum Muda  Movement in  West Sumatra (1927-1933),Ithaca Nework,  Cornell  University, 1971.
------- Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah  Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1987.
Djamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah His Influence in  the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early  Twentieth Century, Montreal, McGill University, 1975.
Edwar, Ed., Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang, Islamic Center, 1981.
HAMKA, Ayahku:  Riwayat  Hidup DR. H. Abdul Karim  Amrullah  dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta, UMMINDA, 1982.
------- ,Islam  dan Adat Minangkabau, Jakarta,  Pustaka Panjimas, 1984.
Lathif,  Al-'Alamah Syekh Ahmad Khatib bin Abdul, A.  Mm.  Arief (Penyalin),  Fatwa  tentang  :  Tharikat  Naqasyabandiyah, Medan, Islamiyah, 1978.
Latief,  M. Sanusi, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau  1907-1969, (Disertasi  Doktor)  Jakarta,  IAIN  Syarif  Hidayatullah, 1988.
Mansoer, M.D., Et. al., Sejarah Minangkabau, Jakarta,  Bhratara,
1970.
Navis, A.A.,  Dialektika Minangkabau: dalam Kemelut  Sosial  dan Politik, Padang, Genta Singgalang Press, 1983.
Nazwar,  Akhria, Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di  Permulaan
         Abad ini,Jakarta, Panjimas, 1983
Noer, Deliar,  Gerakan  Moderen Islam  di  Indonesia  1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980.
Saifuddin,  Achmad  Fedyani, Konflik  dan  Integrasi:  Perbedaan Faham dalam Agama Islam, Jakarta, Rajawali, 1986.
Salim, Panitia Buku 100 Tahun Haji Agus, Seratus Tahun Haji Agus Salim, Jakarta, Sinar Harapan, 1984.
Schrieke,  B.J.O., Pergolakan Agama di Sumatera Barat,  Jakarta,  Bhratara, 1973.























BIO DATA RINGKAS PENULIS

SHOFWAN KARIM, Penata Muda Tk. I (III/b) Asisten Ahli Perkembangan  Modern  Dalam Islam,  Lulusan  Pascasarjana/S2,  IAIN Jakarta,1991  dan  sedang  menyelesaikan   Pascasarjana/S3 IAIN Jakarta. Tulisannya nomor ini, Konflik-Pemikiran  dan Integrasi-Sinerjik Ulama Minangkabau 1903-1937





[1] Periode I abad ke 7 di masa pemerintahan Dinasti Umayyah Islam masuk di wilayah Minangkabau Timur. Perkembangan itu terhenti sampai abad ke-8 oleh "counter action" Dinasti T'ang dari Cina karena perebutan dominasi ekonomi. Periode II antara abad ke 10 sampai abad ke-12 ketika Dinasti Fatimiyah di Mesir (976-1168 M.) mengirim misinya dan menyebarkan Islam Syi'ah. Periode III pada abad ke-15 kembali Islam masuk dan pada pertengahan abad ke-16 Sultan Alif keluarga raja Minangkabau memeluk Islam beserta seluruh warga Minangkabau. Lihat M.D. Mansoer, Et. al., Sejarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 44, 45, 47, 48, 49, 63; lihat juga, HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: UMMINDA, 1982) h. 3, 14-20. Juga B.J.O. Schrieke,  Pergolakan Agama di Sumatera Barat (Jakarta: Bhratara, 1973), h. 11-23.
[2]    Lihat Herman Sihombing, "Hukum Adat Minangkabau Mengenai Tungku Tiga Sejerangan dan Tali Tiga Sepilin: Hukum Adat Minangkabau Dewasa ini dan di Kemudian Hari", dalam A.A. Navis, Ed., Dialektika Minangkabau: dalam Kemelut Sosial dan Politik (Padang: Genta Singgalang Press, 1983), h. 40-55. Lihat juga, Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 222-223
[3]  Lihat, Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 7
[4]  Ibid.
[5]  Lihat, Taufik Abullah, Shools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933), selanjutnya disebut Taufik Abdullah, Schools...(Ithaca New York: Cornell University, 1971), h.12-13.
[6] Ibid
[7]Lihat, Murni Djamal, DR. H.Abdul Karim Amrullah His Influence in the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early Twentieth Century, (Montreal: McGill University, 1975),h.1-5.
[8]Lihat, M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Disertasi doktor, 1988),h.131
[9] Ibid., h. 133-141
[10] Ibid.,h.135
[11] Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit., h.23
[12] Lihat Edwar, Ed.,Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Center Sumbar, 1981), H. 55, 107, 123.
[13]  Ibid.,h.21, 67, 77. Gelar Doktor Honoris Causa diperoleh Abdul Karim Amrullah dan Abdullah Ahmad dari Kongres Khilafat di Mesir 1926 M. Ketua Kongres itu adalah Syekh Husain Wali, Guru Besar Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Lihat HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982),h.160.
[14]  Ibid.,h.15. Tentang tahun lahir, ke Mekah, belajar dan mulai mengajar di kota suci ini oleh Akhria Nazwar mengutip HAMKA dikatakan Ahmad Khatib Lahir 26 Mei 1860 M., ke Mekah diajak ayahnya 1871 M., belajar dan tamat 1876. Nazwar menyebut masa belajar Ahmad Khatib 9 tahun. Jadi mestinya tamat 1880 M. Tahun wafat Ahmad Khatib oleh Nazwar, 1916 M. sama dengan Edwar. Lihat Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di Permulaan Abad ini, (Jakarta: Panjimas, 1983), h.11-15.
[15] Lihat, Al-'Alamah Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Imam,Khatib dan Guru Besar di Mesjidil Haram, disalin oleh A. Mm. Arief, Fatwa tentang : Tharikat Naqasyabandiyah, (Medan: Islamiyah, 1978), h.3. Selanjutnya ditulis Lathif, Fatwa...
[16] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:LP3ES, 1980),h.39-40.
[17]  HAMKA, Ayahku..., Op.Cit., h.290.
[18]  Lihat, Lathif, Fatwa... Op.Cit.,h.4.
[19]  Ibid., h. 14, 37-47.
[20] Ibid., h.47-134. Lihat juga HAMKA, Op.Cit.,, h.291. Yang dimaksud dengan wasilah dan rabithah di sini ialah beribadat kepada Tuhan serta memohon kepada Tuhan dengan terlebih dulu membayangkan guru, pemimpin atau mursyid tarikat sebagai perantara. Wirid-wirid di sini ialah bacaan-bacaan yang dianggap berpahala dan dirutinkan. Kaifiat ialah cara-cara yang lazim dilaksanakan dalam beribadah menurut  tuntunan yang telah ditentukan, dalam hal ini menurut versi tarikat Naksyabandi
[21] Ibid.,h.138-141.
[22] Lihat, Lathif, Op.Cit., h.4.
[23] Tokoh lain yang ikut dari Kaum Tua ialah Syekh Khatib Ali di Padang. Lihat, HAMKA, Ibid.
[24] Lihat M. Sanusi Latief, Op.Cit., h.135 dan HAMKA, Op.Cit.,h.292.
[25] Kata "kemajuan" mula-mula diterbitkan oleh Insoelinde dalam jurnal untuk para guru dan pegawai pemerintah yang pribumi di seantero tanah air. Lihat Taufik Abdullah, Schools... Op.Cit.,h.11.
[26] Lihat, Deliar Noer, Op.Cit.,h.46-48.
[27] Lihat, HAMKA, Op.Cit.,h.101.
[28] Muhammadiyah lahir di Minangkabau berdasarkan inspirasi Abdul Karim Amrullah setelah melawat ke Jawa 1917 dan 1925. Beliau mengikuti perkembangan Muhammadiyah (yang lahir 1912 di Yogyakarta didirikan oleh KH Ahmad Dahlan). Organisasi ini di dalam gerakan dan pemikirannya sama dengan Kaum Muda. Dengan begitu tempat aktivis Kaum Muda bergerak menjadi banyak antara lain SI Putih, PGAI, Adabiyah, Sumatera Thawalib dan kemudian ketika Diniyah putri (1923) dan Diniyah Putra berdiri pula di Padang Panjang, sekolah ini juga termasuk beraliran Kaum Muda. Lihat juga HAMKA, Op.Cit., h.115-118, 148-150. Untuk Diniyah Putri dan Putra, lihat Edwar, ED., Op.Cit.,h. 209-218.
[29] Lihat HAMKA,Op.Cit.,h.292.
[30] Lihat Edwar, Ed.,Op.Cit.,h.80.
[31] Ibid., h. 37
[32] Lihat HAMKA, Loc.Cit.,h.291.
[33] Menurut pembicaraan dari mulut ke mulut dalam pertemuan dengan penulis dengan beberapaulama yang ada di Sumbar beberapa tahun lalu, Syekh DR. H. Abdul Karim Amrullah dianggap sangat dalam ilmunya di bidang usul fikih, fikih, dan ilmu kalam (tauhid). Syekh H. Ibrahim Musa Parabek adalah ahli Tata Bahasa Arab. Syekh H. Jamil Jambek di samping ahli pidato adalah ahli Ilmu Falak  dan ahli Ilmu Hisab. Syekh DR. H. Abdullah Ahmad adalah ahli jurnalisitik dan ia pernah menjabat Ketua Wartawan Padang pada  1914. Begitu pula di kalangan Kaum Tua, Syekh H. Sulaiman al-Rasuli ahli fikih dan tarikat, begitu pula Syekh Khatib Ali adalah ahli fikih  dan tarikat. Pada umumnya ulama Kaum Tua adalah penganut tarikat.
[34] Lihat Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit.,h.24. Lihat pula Seratus Tahun Haji Agus Salim, (Jakarta: Panitia Buku 100 Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, 1984),h.57-63.
[35] Dalam tenggat waktu 1916-1927 M., Moeis dan Salim sangat menonjol di dalam kepemimpinan SI. Abdul Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, 1878 M.) pernah menjadi Wakil Presiden Centraal Sarekat Islam dan H. Agus Salim ( lahir di Koto Gadang, Bukittinggi 1884 M.) sebagai pemimpin deretan atas SI. Lihat Deliar Noer, Op.Cit.,h. 122-123. Perkiraan kedua tokoh ini memberi pengaruh atas berdirinya SI di Padang.
[36] Lihat Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit.,h.25.
[37] Lathif, Op.Cit.,h.3. Lihat, Edwar, Op.Cit., h.19, dan lihat juga Deliar Noer, Op.Cit.,h. 38.
[38] Ibid., h. 29
[39] Lihat HAMKA, Op.Cit.,h.166.
[40] Ibid.,h.176-171.
[41] Lihat juga HAMKA, Ibid.,h.172-174.
[42] Lihat HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h.103.
[43] Lihat HAMKA, Ayahku... Ibid.,h.293

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takziyah Sir Prof Dr H Azyumardi Azra, MA., M Phil., CBE Tokoh Cendekiawan dan Akademisi Muslim Dunia

Shofwan Karim, Pembicara dalam Pertemuan MDNG se Dunia