KONFLIK-PEMIKIRAN DAN INTEGRASI-SINERJIK ULAMA MINANGKABAU 1903-1937 M
KONFLIK-PEMIKIRAN DAN INTEGRASI-SINERJIK ULAMA
MINANGKABAU 
1903-1937 M
Oleh H. Shofwan Karim
I. PENDAHULUAN
Islam  masuk ke Minangkabau melalui beberapa periode[1]
dan sejak  abad  ke-15 M. proses islamisasi itu  tidak 
pernah  lagi berhenti.  Kontinuitas 
dan perubahan ( Continuity  and 
Change) dalam  transformasi
dan corak islamisasi masyarakat 
Minangkabau di awal abad ke-20, seperti awal abad sebelumnya,   dikendalikan oleh  kaum ulama. Secara relatif untuk hal-hal  tertentu 
mereka tetap  dipengaruhi  intelektual Timur  Tengah 
dalam  meneruskan misinya.   Di 
dalam  perkembangan
selanjutnya  kaum  ulama 
itu terpilah  kepada  dua faksi. Mereka  yang 
tetap  mempertahankan tradisi-tradisi  yang ada dan menjaga kemapanan dan
mereka  yang ingin  mengubah apa yang sudah ada kepada suatu
yang  baru  yang mereka yakini sebagai suatu yang benar. 
Konflik antara kedua faksi
itu tampaknya tak bisa dihindari. Oleh 
karena pada dasarnya kedua faksi itu adalah ulama  dan  di
dalam  struktur  elit stategis kepemimpinan  Minangkabau 
mereka adalah perpaduan "tigo
tungku sajarangan dan tigo tali  sapilin"
(tiga  tungku sejerangan dan tiga  tali 
sepilin):  ninik-mamak, alim-ulama  dan cerdik-pandai, sebagai representasi
adat,  Islam dan tokoh bebas,[2]
maka konflik itu menjadi sangat penting 
dalam rangka studi dan memamahi Islam di Minangkabau.  
Studi  ini menyangkut refleksi
konflik-pemikiran  dan  integrasi-sinerjik antara kedua faksi dalam
kalangan cendekiawan dan ulama  yang  disebut Kaum Tua dan Kaum  Muda.  Fenomena 
konflik kedua  faksi itu dimulai
sejak terjadinya perbedaan pendapat  di
dalam memahami persoalan thariqat
(selanjutnya ditulis: tarikat) dan 
kemudian merebak ke berbagai masalah lainnya.  Konflik 
itu bermula  dari  tahun 
1903 M. sebagai yang  akan  dilihat 
dalam bahasan  ini, dan berlanjut
dua dekade  berikutnya.  Bukan 
saja dalam  bidang agama dalam
makna sempit, konflik itu bahkan 
menyeruduk ke lembaga sosial, pendidikan dan politik.  Diperkirakan pada 1930 M., konflik itu
tereliminasi dan untuk hal-hal tertentu, misalnya ketika mulai menyangkut
kepentingan bersama di mana ancaman 
terhadap  agama muncul ke
permukaan, maka  konflik  itu berubah menjadi integrasi.
Konflik-pemikiran   dapat 
diartikan  sebagai   pertentangan pemikiran   yang 
bersifat langsung atau 
tidak,  yang  disadari antara  individu-individu atau kelompok-kelompok
untuk  mencapai tujuan  yang 
sama.[3]
Tujuan yang sama antara Kaum Tua 
dan  Kaum Muda  tentulah 
supaya Islam semakin diamalkan 
di  Minangkabau. Sedangkan integrasi
ialah penyatuan kelompok atau individu 
yang mungkin  sebelumnya  terpisah 
dengan  menghilangkan   perbedaan sosial dan budaya yang ada.[4]
Penyatuan persepsi, misi dan  visi antara
individu dan kelompok yang saling memperkokoh dan menguntungkan, dalam tulisan
ini disebut integrasi-sinerjik.  Artinya,
perbedaan  pemikiran dalam pemahaman
agama antara Kaum  Tua  dan Kaum Muda dapat dikesampingkan ketika
mereka bersatu  menghadapi tantangan  dari 
luar.  Keadaan itu tampak  dengan 
jelas  dalam perjalanan masa
1930-1937 M.
Studi ini ingin menjawab
pertanyaan mengapa terjadi konflik-pemikiran, 
apa substansi konflik dan dalam hal 
apa  terjadinya integrasi-sinerjik  di 
kalangan ulama Minangkabau 
dalam  kurun waktu  1903-1937 M. Untuk menjawab pertanyaan itu
maka  analisis ini  berusaha menjelaskan latar belakang munculnya
Kaum Tua  dan Kaum Muda, dinamika
sosio-kultural dan substansi konflik. 
Kemudian  integrasi-sinerjik  yang bagaimana yang muncul  belakangan dan  diakhiri dengan kesimpulan yang diharapkan  dapat 
menambah khazanah  ilmiah  kajian 
Islam di  Minangkabau  sebagai 
bagian perkembangan modern dalam Islam di Indonesia pada pertigaan awal
abad ke-20 ini. 
II. KAUM TUA DAN KAUM MUDA
Istilah Kaum Tua dan Kaum
Muda muncul antara tahun 1903-1907 M. Istilah itu bukan semata ungkapan kata
biasa tetapi  menjelma menjadi  entitas dua firkah (golongan) yang
merupakan  abstraksi  corak pemikiran keagamaan, sosial dan
politik. Kaum Tua  menjadi tesa dan Kaum
Muda menjadi anti-tesa. Istilah Kaum Muda, awalnya berasal  dari Datuk Sutan Maharaja. Maharaja seorang
tokoh  adat yang  berasal 
dari  Minangkabau Darat yang  menetap 
di  Padang (Minangkabau Rantau).
Ia tidak senang dengan pengaruh Aceh 
atas masyarakat Pesisir Barat wilayah ini yang katanya sudah  meninggalkan adat lama pusaka usang asli
Minangkabau. Adat Aceh  sudah mulai  dipakai oleh Regen (sekarang baca: Bupati)  bersama 
kaum bangsawan kota Padang.[5]
Sutan Maharaja melakukan
gerakan kembali ke adat Minang  dan
menyebut orang yang setuju dengan gerakan itu sebagai Kaum Muda. Sedangkan  Regen dan bangsawan di Padang ia sebut  sebagai 
Kaum Tua. Istilah itu ia gunakan sebagai perumpamaan seolah-olah  apa yang mereka lakukan sama dengan gerakan
Kaum Muda di Turki  yang pada masa itu
sedang melakukan perlawanan keras terhadap 
kekuasaan  Sultan  Abdul Hamid penguasa kekhalifahan  Turki 
Usmani.[6].
Bersamaan dengan suasana lingkungan sosial gejolak kaum adat  di masa itu, muncul pula gerakan pembaruan di
kalangan kaum agama. 
Gerakan  ini 
melakukan  pembaruan  yang 
ditekankan  kepada pemurnian  di bidang akidah dan ibadah serta untuk
beberapa  hal mu'amalah. Oleh karena itu
mereka disebut pula sebagai  golongan
reformis.  Mereka menolak berbagai macam
kebiasaan  beragama  di masyarakat 
Minangkabau  yang  tidak 
sesuai  dengan  al-Qur'an, hadist  dan 
sunnah Nabi. Mereka menolak bid'ah, 
khurafat,  dan takhayul. Mereka
menolak taqlid sembari memperbarui
corak  pemikiran, menghindari sifat
jumud, beku dan statis dalam  beragama.
Mereka menginginkan agama difahami dengan rasio dan ilmu  pengetahuan. Mereka melakukan berbagai upaya
modernisasi termasuk  di dalamnya bidang
pendidikan, sosial dan politik. Oleh karena 
itu mereka juga disebut golongan modernis.[7]
Oleh  karena gerakan pembaruan ini tampak  melawan 
kelompok mapan  dalam  beragama, maka gerakan ini mendapat  simpati 
pada mulanya  dari  Kaum Muda adat tadi. Datuk  Sutan 
Maharaja  yang bersahabat  dengan Abdullah Ahmad--seorang tokoh di
antara  kaum pembaru  agama ini-- menyebut golongan agama yang  pro-perubahan ini  dengan sebutan Kaum Muda pula sebagaimana
gerakan  yang  ia pimpin di kalangan aktivis adat.[8]
Belakangan, karena beberapa
sikap Kaum Muda agama ini  tidak
sesuai  dengan  corak 
berfikir Kaum  Muda  adat, 
mengakibatkan golongan  kedua ini
beraliansi dengan lawan yang 
pertama  yaitu Kaum  Tua agama. Sejak itu istilah Kaum Muda luntur
di  kalangan adat  karena 
mereka dalam hal beragama 
dan  praktik  keagamaan lebih cendrung mengadopsi corak
keagamaan Kaum Tua agama.  Istilah Kaum
Muda selanjutnya hanya berlaku terhadap Kaum Muda agama yang  di dalam gerakannya vis-a-vis Kaum Tua  agama. 
Seterusnya apa yang disebut Kaum Tua dan Kaum Muda adalah dalam rangka
yang terakhir ini. 
Kaum Tua di dalam beragama
berpegang kepada  tradisi-tradisi  sebagai 
sesuatu  yang  tak berubah 
dalam  proses  kelangsungan (continuity)  dan pewarisan
apa yang sudah ada. Oleh karena  itu
mereka disebut pula kaum tradisonalis sebagai lawan kaum  modernis. Mereka bersikaf konservatif dan
oleh lawan-lawannya disebut kaum  kolot
atau kaum kuno. Kaum Tua ini dalam 
corak  pemikiran keagamaan  mempunyai 
prinsip-prinsip:(1)  dalam  bidang 
akidah menyebut dirinya ahl sunnah wa al-jama'ah dengan corak kalam
al-Asy'ariah;  (2) dalam fikih menganut
mazhab Syafi'i; (3)  mereka
mempertahankan  aliran-aliran tarikat
yang muktabarah (sah  diamalkan menurut
prinsip mereka); (4) tradisi, adat kebiasaan yang melekat dalam berbagai macam
amalan keagamaan yang dianggap oleh Kaum Muda sebagai bid'ah tetap mereka
pegang; (5) pintu  ijtihad bagi  mereka 
sudah tertutup  karena  kehadiran 
mujtahid-mutlak sudah  berakhir
pada abad ke-3 H. Oleh  karena itu
yang  berlaku di kalangan umat Islam
adalah ittiba' dan taqlid.[9]
Berbeda  dengan Kaum Tua, terhadap kelima prinsip  itu 
Kaum Muda  berpendapat : (1)
mereka mengaku berakidah  menurut  ahl sunnah wa al-jama'ah tetapi tidak
terang-terangan menganut kalam al-Asy'ariah dan menempatkan peranan akal lebih
dominan  sesudah al-Qur'an  dan Hadist; (2) tidak mengikatkan diri  hanya 
kepada satu  mazhab  fikih. Mazhab-mazhab lain  sepanjang 
bersandarkan kepada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah dianggap
mempunyai  nilai kebenaran  yang sama; (3) menganggap tarikat yang
berkembang  di Minangkabau  waktu 
itu  adalah ghairu  mu'tabarah,  karena 
itu mereka menentang tarikat-tarikat tersebut; (4) tradisi keagamaan
yang tak berdasarkan al-Qur'an dan Hadist yang kuat ditolak  dan dianggap 
bid'ah dhalalah; (5) pintu ijtihad senantiasa  terbuka untuk ulama-ulama yang mempunyai
kapasitas dan kapabilitas  atau
kompetensi tinggi.[10].
Perbedaan  prinsip 
antara Kaum Tua dan Kaum 
Muda  di  atas ternyata 
berkembang  di Minangkabau
secara  akumulatif  (turun-naik) antara dekade pertama dan ketiga
abad ini sebagai  konflik pemikiran
keagamaan. Analisis berikut memaparkan latar 
belakang sosio-kultural, proses terjadi, substansi dan berkembangnya
konflik  tersebut yang terfokus kepada
aktivitas  tokoh-tokoh  Kaum Tua dan Kaum Muda serta interaksi kedua
pihak. 
III. DINAMIKA SOSIO-KULTURAL DAN SUBSTANSI KONFLIK
Minangkabau  di peralihan abad 19-20 termasuk  wilayah 
yang sudah  maju di bidang
pendidikan di bandingkan wilayah 
lain  di Indonesia selain beberapa
kota besar di Jawa. Mobilitas 
geografis  dan  sosialpun 
di kalangan masyarakat ranah 
ini  ke  luar daerah cukup tinggi. Hubungan ke Timur
Tengah yang memang  sudah berjalan lancar
sejak lama, pada peralihan abad ini dimanfaatkan oleh orang Minangkabau bukan
saja untuk menunaikan ibadah  haji,
tetapi  sekaligus menambah cakrawala dan
wawasan dengan  menetap di Mekah beberapa
lama dalam rangka menuntut ilmu agama.[11]
Di  antara orang-orang Minangkabau yang pergi
haji ke  Mekah dan  bermukim 
di sana beberapa lama 
menimba  ilmu  pengetahuan agama  termasuk tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda.
Mereka  yang dari  Kaum Tua adalah : (1) Syekh H. Abbas Qadhi
(1863-1949  M.) dari  desa 
Ladang Laweh, Bukitinggi. Ia belajar agama  di 
kampungnya   kemudian  berangkat 
ke Mekah serta  belajar  di 
sana sampai  sekitar 1910 M.; (2)
Syekh H. Sulaiman al-Rasuli  (1871-1970
M.), anak seorang ulama di Candung, Agam, belajar agama  di berbagai tempat di Minangkabau kemudian
belajar di Mekah  (1903-1907 M.); (3)
Syekh H. Khatib Muhammad Ali (1861-1936 M.), lahir di Solok putra ulama di
situ, setelah belajar agama di  berbagai
tempat, ia belajar di Mekah (1882-1889 M.). [12]
Seperti Kaum Tua, tokoh dari
kalangan Kaum Muda juga mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial yang
tidak jauh  berbeda, mereka adalah :
(1)Syekh H. Muhammad Jamil Jambek (1862-1947 M.),  anak seorang bangsawan adat di Bukittinggi
yang naik  haji dan  bermukim 
di Mekah (1896-1903 M.); (2) Syekh DR. 
H.  Abdul Karim Amrullah
(1879-1945 M.), putra seorang ulama di 
Maninjau, Agam,  setelah belajar
agama di kampungnya berangkat  naik  haji dan bermukim  memperdalam ilmu di Mekah (1894-1906 M.); (3)
Syekh DR. H. Abdullah Ahmad (1878-1933 M.), putra seorang pedagang  di Padang Panjang, setelah belajar agama di
tempat kelahirannya  ia berangkat naik
haji ke Mekah dan memperdalam ilmu di sana (1895-1899 M.).[13]
Di  Mekah, semua pemimpin Kaum Muda termasuk
Syekh  Sulaiman al-Rasuli dan Syekh Jamil
Jaho dari Kaum Tua sempat belajar ilmu agama 
kepada  seorang tokoh Minangkabau
yang sudah  lebih  dulu bermukim 
di kota suci ini. Tokoh itu adalah Syekh Ahmad  Khatib 
al-Minangkabawi  (lh.1855 M.) yang
mulai menetap di  Mekah  1876 M.,  
kemudian mengajar di Masjid al-Haram. Ahmad Khatib  adalah ulama terkemuka mazhab Syafi'i. Sampai
akhir hayatnya (1916 M.), ia termasuk ulama populer yang banyak didatangi oleh
murid-murid bukan saja dari Minangkabau tetapi juga jawa dan lain-lain.[14]
Selain mengajar Ahmad Khatib
juga menulis kitab dan  risalah dalam
bahasa Arab dan Melayu. Dalam bahasa Arab : 
(1) Al-Nafahat (Usul Fikih), (2) Istbat al-Zain, (3) Shulh al-Jama'atain  (mengenai 
salat jum'at),(4) al-Da'il Masmu' (hukum pembagian  pusaka), (5) Raf'u  al-Iltibas, (6) Iqna'u al-Nufus (hukum zakat
uang  kertas),  (7) Irsyad 
al-Hayat  (penolak tuduhan  kaum 
Kristen  dan pembuktian kebenaran
Islam), (8) Tanbih al-Awam (mengenai organisasi Syarikat Islam). Kemudian dalam
bahasa Melayu: (1) al-Manhaj al-Masyru'(hukum pembagian pusaka), (2)
al-Khuththat al-Mardliyah (hukum 
melafazkan  niat), (3) Riyadl  al-Wardiyah(hukum  Fikih), (4) Risalah Membantah Martabat Tujuh,
(5) Izhar Zaghli  al-Kazibin(fatwa  tentang 
tarikat  Naksyabandi,  (6) al-Ayat  
al-Baiyinat (penolak  atas  bantahan kitab Izhar ...,  (7) al-Saif 
al-Battar (masalah tarikat Naksyabandi).[15]
Walaupun  Ahmad Khatib ulama mazhab Syafi'i tetapi
ia  tidak melarang  murid-muridnya  membaca dan mempelajari  tulisan 
dari penerbit yang berasal dari luar Mekah seperti Mesir dan lainnya.
Mereka  bebas  memahami tulisan Jamaludin  al-Afghani, 
Muhammad Abduh  dan  Rasyid 
Ridha atau tokoh  lain.  Meskipun 
maksudnya supaya murid-muridnya itu dapat menolak pendapat  dan 
pemikiran  tokoh-tokoh tersebut
yang termuat di dalam majalah al-Urwat 
al-Wustqa, tafsir  al-Manar dan
lain-lain. Namun ia tentu menyadari peringatan 
Imam  Syafi'i bila terdapat di
dalam  fatwanya  yang berlawanan dengan Qur'an, hadist dan
sunnah Nabi, maka  fatwanya itu  harus ditolak.[16]
Sikap  demikian 
ternyata merupakan salah satu 
faktor  yang membuat
murid-muridnya setelah kembali ke Minangkabau 
melakukan perbandingan pemikiran. Akibat dari perbandingan pemikiran  itu, di antara mantan murid-murid Ahmad
Khatib itu melakukan  gerakan pembaruan
yang pada dasarnya dapat dikatakan menjadi salah  satu di antara latar belakang lahirnya
gerakan Kaum Muda di Minangkabau. 
Sebagai buah dari kemerdekaan berfikir dalam  studi 
Islam yang  dikembangkan Ahmad
Khatib mengakibatkan alumnus  lingkaran
studinya  di Masjid al-Haram meneruskan
kiprah  intelektual  dan mengkaji 
kembali  praktik amalan agama  di 
Minangkabau.  Dalam kaitan  itulah, salah satu di antaranya menjadi dasar  munculnya konflik  pertama antara Kaum Muda dan Kaum Tua.
Pangkal  konflik adalah fatwa Ahmad
Khatib tentang Tarikat Naksyabandiyah 
ketika menjawab  surat  H. 
Abdullah Ahmad tahun 1324  H/1903  M. 
yang dikirim kepadanya berbunyi:[17]
Tarikat  Naksyabandiyah Khalidiyah adakah baginya
asal  pada syara'  atau tiada?. Dan adakah salasilahnya  sampai 
kepada Rasulullah  swa.  atau tiada? Dan adakah  bagi 
meninggalkan makan  daging asal
pada syara' atau tiada? Dan adakah  suluk
40 hari dan 20 hari dan 10 hari baginya asal daripada syara' atau  tiada? Dan rabithah adakah asalnya pada
syari'at  atau tiada? Hendaklah dijawab
soal itu dengan maujud pada syara'. Jika 
maujud  padanya hendaklah
dinyatakan  dalilnya  kepada kami. Dan jika tiada maujud padanya maka
hendaklah  nyatakan pula pada kami.
Karena telah hasil di negeri kami persalahan besar pada masalah ini.
Pertanyaan  itu dijawab oleh  Ahmad Khatib[18]di  dalam 
kitabnya Izharu Zaghli al-Kazibin fi Tasyabbuhihim bi  al-Shadiqin (menyatakan kelancungan pendusta-pendusta
yang menyamar  sebagai orang-orang yang
benar). Di situ Ahmad Khatib menjelaskan 
bahwa tarikat Naksyabandi yang berkembang pada masa itu tidak
mempraktikkan  akidah, syari'at dan
tasawuf yang sesuai  dengan  ajaran Rasulullah.[19]
Ia membatalkan segala amalan tarikat yang 
telah ditanyakan  oleh Abdullah
tadi dengan alasan al-Qur'an dan 
Hadist,  termasuk yang berkenaan
dengan wasilah, rabithah,  
wirid-wirid,  dan  kaifiat yang dipakai di dalamnya.[20].
Fatwa  ini  diperkuat 
pula  oleh  fatwa-fatwa Mufti dan  Ulama 
Mekah  Mazhab Syafi'i dan Maliki
lainnya.[21]
Fatwa Ahmad Khatib itu
mendapat kecaman pedas dari Kaum Tua. Bantahan terhadap fatwa itu sebagai
mewakili pandangan Kaum  Tua datang  dari  Syekh
Sa'ad Mungka.  Syekh  Mungka 
mempertahankan tarikat 
Naksyabandi dan menulis sebuah kitab 
sebagai  bantahan atas kitab Ahmad
Khatib  tadi yang dinamakannya Irghami
al-Unufi al-Muta'annitin.  Menolak  bantahan itu Ahmad Khatib  pada 
1325 H/1904 M. kembali menulis kitab al-Ayat
al-Bayinat li  al-Munsifina  fi 
Izalati Khurafati Ba'd 
al-Muta'al-Sibina  (penerangan
yang  jelas  bagi 
orang-orang yang  insaf  untuk 
menghilangkan khurafat sebagian di antara mereka yang fanatik).[22]
Pada  gilirannya  perdebatan-perdebatan  itu berkepanjangan  dengan 
mengeluarkan  kitab-kitab yang
saling menyerang dan  melibatkan  pula tokoh-tokoh  lainnya 
dari kalangan Kaum Tua yang 
ikut  bersama Syekh Mungka
menyerang Ahmad Khatib. Misalnya sepucuk surat dari Syekh  Abdullah 
bin Abdullah al-Kahlidi dari Tanah 
Datar  yang tetap  mempertahankan tarikat Naksyabandi dan
menyalahkan  Ahmad Khatib. Untuk yang
terakhir ini Khatib menulis lagi satu risalah Al-Saif al-Battar.[23]
Sebaliknya  Kaum Muda sepenuhnya berpihak  kepada 
pendapat-pendapat  Ahmad  khatib yang menolak keabsahan  berbagai 
amalan tarikat  di atas. Abdullah
Ahmad tampaknya menjadi  poros-tengah
dalam  mensosialisasikan  pendapat-pendapat Ahmad  Khatib 
dalam menyuarakan  gerakan  anti tarikat itu ke sesama Kaum  Muda. 
Di antara  Kaum Muda lain yang
aktif menolak tarikat dan  mempertahankan
pendapat Ahmad Khatib adalah Syekh H. Abdul Karim  Amrullah 
dengan menulis kitab berjudul, Qath'iu Riqabi  al-Mulhidina (pemancung leher orang-orang
yang terpesona).
Konflik  pemikiran 
keagamaan berkembang pula 
dari  masalah tarikat  kepada masalah-masalah lain yang pada
mulanya  bersifat khilafiah.  Antara lain mengucapkan ushalli sebagai  lafaz  niat salat, 
menghadiahkan do'a, berdiri membaca riwayat Nabi  ketika merayakan Maulid, membakar kemenyan
sebelum berdo'a dalam  acara
syukuran  atau selamatan dan lain-lain.[24]
Pertikaian itu  kemudian  berkembang menjadi kubu-kubu perjuangan yang
bisa  disebut sebagai konflik
institusional. Kaum Muda karena selalu 
berfikir ke depan selalu berorientasi kepada "kemajuan".
Kemajuan  adalah kosa  kata yang amat populer pada dekade-dekade
awal abad  ke-20 M.  Kata ini mengandung pengertian cara-cara
hidup  yang  meniru bangsa modern di zaman itu, melalui
adaptasi terhadap  kehidupan Barat,  antara 
lain orang-orang Belanda dan 
apa  yang  menjadi gambaran dalam surat kabar yang
terbit waktu itu. Bagi Kaum Muda kata kemajuan diseleksi. Cara hidup Barat yang
tak sesuai  Islam ditolak.  Mereka 
lebih menekankan kepada gaya 
hidup  dan  cara berfikir 
yang progresif dan modern.[25]
Untuk  menyesuaikan  arah baru dalam berfikir dan corak kehidupan,
berkaitan dengan agama, maka  Kaum
Muda   berpendapat pintu ijtihad selalu  terbuka 
dan senantiasa  mengembangkan  akal 
fikiran.  Mereka  mempergunakan institusi  moderen 
dalam memperjuangkan  dan  menegakkan 
faham mereka.
Kaum  Muda 
membangun organisasi sebagai 
wadah  pergerakan, juga  yayasan-yayasan, menggunakan media massa
pers,  mendirikan sekolah-sekolah  moderen 
dan meninggalkan  sistem  tradisional. Sistem  belajar halaqah
(siswa duduk di lantai melingkari  guru)
berubah menjadi baru dengan sistem kelas. Kaum Muda giat melakukan  tabligh 
dan da'wah secara terbuka.  
Tabligh  terbuka  ini menjadikan gerakan Kaum Muda lebih
dinamis, progresif,  bersifat massal dan
semarak. Hal ini tentu bertolak belakang dengan 
Kaum Tua  yang senantiasa
menjalankan sistem pengajian 
tertutup  dan untuk murid-murid
tertentu seperti yang lazim berlaku di 
kalangan pengikut tarikat. 
Secara  institusional, Syarikat Oesaha (1909 M)  dapat 
dianggap  organisasi  pertama Kaum Muda  yang 
berhasil  mendirikan Sekolah  Adabiah. Organisasi ini kemudian menjadi  yayasan 
yang dipimpin oleh Abdullah Ahmad. Dari aktivitas organisasi itu pula
diterbitkan  majalah al-Munir di Padang
pada 1911-1916 M.  Berikutnya, organisasi
Persatuan Guru-guru Agama Islam (PGAI) didirikan 1918 M., juga oleh Abdullah
Ahmad dan teman-temannya  sesama Kaum
Muda. PGAI mendapat pengakuan hukum pada 1922 M. Organisasi ini  mendirikan sekolah Normal Islam pada 1930 M.
Sekolah  agama merupakan ciri khusus yang
dilaksanakan PGAI, sedangkan  Adabiah
bersifat pendidikan umum.[26]
Sebelum  pindah 
ke Padang Panjang, di  negeri  kelahirannya Maninjau, tokoh Kaum Muda Syekh
Amrullah sudah membina organisasi  Sendi
Aman Tiang Selamat. Di Padang Panjang Kaum 
Muda  yang semula  melakukan 
aktivitas pengajian di  Surau  Jembatan 
Besi mendirikan Madrasah Sumatera Tawalib pada 1918 M. Begitu pula di
Parabek, Bukittinggi dan Padang Japang, Payakumbuh antara  1920-1930 M. berdiri pula sekolah atau
madrasah agama yang  sekaligus
menerbitkan  media  pers[27]
sebagai  sarana  komunikasi-informasi interen  dan eksteren. Gebyar penerbitan pers di  kalangan 
Kaum Muda  marak pada 1910-1930 M.
Selain Al-Munir dan  Al-Munir  al-Manar antara 1911-1922 M. di Padang dan
Padang Panjang ada  lagi Al-Ittiqan  di 
Maninjau, Al-Bayan di 
Parabek,   Al-Basyir,  di Sungayang, Batu Sangkar, dan Al-Imam di
Padang Japang,  Payakumbuh. 
Institusi Kaum Muda
diperkuat lagi dengan lahirnya Muhammadiyah 
yang semula di Maninjau kemudian berbasis di Padang  Panjang 
(1925  M).[28]
Melalui institusi  organisasi,  sekolah 
atau madrasah dan lembaga pers itu ide-ide pembaruan Kaum Muda menjalar  dan menggema ke berbagai tempat dan wilayah,
bukan saja  di Minangkabau  bahkan 
juga keluar daerah.  Bila  aktivitas 
pers, sekolah dan madrasah di Padang dan Padang Panjang dimotori  oleh Abdullah 
Ahmad dan Abdul Karim  Amrullah,
maka  tabligh-tabligh terbuka  sangat menonjol dilakukan oleh Syekh Jamil
Jambek  yang menyebarkan kegiatannya dari
Bukittinggi sebagai pusat. Reaksi Kaum Tua terhadap gerakan bersifat
individual, institusional  dan kolektif
Kaum Muda itu tampak cukup  hangat.  Kaum Tua 
tak ketinggalan melakukan upaya-upaya individual,  kolektif dan 
institusional pula dalam menyuarakan dan 
mensosialisasikan faham  mereka
serta mempertahankan tradisi-tradisi 
yang  mereka anut. Oleh karena
itu, meskipun pemikiran Kaum Tua dapat dikategorikan tradisonal namun dalam
metode perjuangan, seakan  mengikuti
perkembangan zaman mereka juga menggunakan sistem,  metoda, sarana, prasarana dan cara-cara
modern.
Kalau  Kaum Muda berbasis di organisasi  dan 
sekolah,  Kaum Tua yang sudah
berbasis di Madrasah mulai pula memperkuat 
barisan  bersama.  Begitu pula kalau Kaum Muda  mempunyai 
terbitan-terbitan  pers, Kaum Tua
juga melakukan hal-hal yang sama. 
Berdirinya organisasi Persatuan Ulama (Ittihad al-Ulama) pada
1922-1928  M.  oleh Kaum Tua dapat dainggap  sebagai 
sandingan  atau bahkan  saingan atas berdirinya PGAI oleh Kaum Muda  pada 
1918. Selanjutnya untuk menyuarakan faham Kaum Tua ke tengah  masyarakat 
diterbitkan  pula Suluh Melayu
oleh Syaikh  Khatib  Ali  di
Padang  pada  1913 M. dan al-Mizan di Maninjau, Agam  pada 
1921 M.[29]
Berikutnya sebagai lembaga pembina kader Kaum Tua  mendirikan pula madrasah-madrasah bernama
Madrasah Tarbiyah  Islamiyah.
Madrasah-madrasah ini banyak yang berasal dari surau-surau  Kaum Tua 
yang berganti memakai bangku dan ruangan kelas. Pada  tahun 1928 
M. madrasah-madrasah tersebut berhimpun 
dalam  organisasi Persatuan  Madrasah 
tarbiyah  Islamiyah.  Kemudian 
dari  sifat persatuan  madrasah 
itu,  Kaum  Tua 
mempermanenkannya  menjadi
himpunan  gerakan semua orang yang
sefaham dengan Kaum Tua  dari
berbagai  aspek pendidikan, faham
keagamaan, kecendrungan  politik, membina
kemajuan sosial yang mereka sebut sebagai Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
pada 20 Mei 1930 M.[30]
Sejalan  dengan itu semua untuk
menandingi kegiatan tabligh terbuka yang 
banyak dilakukan  Kaum Muda, Kaum
Tua juga aktif  mengunjungi  berbagai daerah  yang 
menonjol  dilakukan oleh
Syaikh  Khatib  Ali 
dari Padang dan Syaikh Sulaiman al-Rasuli di Candung, Agam.[31] 
Konflik Kaum Muda dan Kaum
Tua tadi adakalanya tampak  keras dan
dilakukan dengan lantang, terutama bila membicarakan masalah tarikat yang terlihat
dari judul-judul buku yang mereka sajikan.[32]
Tokoh Kaum Muda Syaikh Abdul Karim Amrullah 
serta tokoh Kaum Tua Syaikh Khatib Ali dan Syaikh Saad Mungka dapat
dikategorikan kepada mereka yang bergaris keras. Sebaliknya ada yang  bersifat diplomatis  dan 
kelihatan  lunak seperti  yang 
dilakukan  oleh Syaikh Abdullah
Ahmad dalam artikel-artikelnya dan Jamil 
Jambek dalam  tablighnya, di
kalangan Kaum Muda. Sementara  yang  lunak 
ini di kalangan Kaum Tua adalah Syaikh Sulaiman al-Rasuli  serta Syaikh  Abbas Qadhi 
dari Padang Laweh di dalam 
artikel-artikel dan tabligh mereka.
Sikap  keras 
dan lunak, baik di kalangan Kaum 
Muda  maupun Kaum  Tua tidak selalu konstan (tetap). Pada saat
tertentu  yang lunak  bisa keras atau sebaliknya. Kemudian  adanya  forum-forum bersama  yang 
membuat mereka tidak  mungkin  menghindar 
bahkan saling  bekerjasama,  maka antara Kaum Muda dan Kaum  Tua 
dalam tenggat waktu 1907-1937 M., juga terjadi pola hubungan integrasi
yang  bersifat sinerjik. Di dalam hal apa
saja proses  integrasi itu terjadi,
berikut ini akan ditelusuri dan dianalisis. 
IV. INTEGRASI-SINERJIK YANG DINAMIS
Sebagai orang yang sesama
beriman dan beragama Islam, apalagi tokoh-tokoh Kaum Tua dan Kaum Muda pada
umumnya adalah  ulama terkemuka di
bidangnya,[33]
pemimpin masyarakat, pemimpin  lembaga
pendidikan, pemimpin organisasi dan media pekabaran (pers), maka
konflik-konflik yang terjadi antara kedua golongan tadi bukanlah suatu
permusuhan abadi. Ketegangan itu pun tidak bersifat  individual, 
apalagi menyangkut harga diri (muru'ah) 
dan   martabat perseorangan tetapi
dalam gagasan dan pemikiran serta 
pemahaman atas  berbagai  masalah 
keagamaan,  sosial  kemasyarakatan  dan politik.  
Di  saat pergesekan mereda, yang
terlihat  di  antara mereka adalah hubungan yang bersifat
integratif-sinerjik, penyatuan 
dengan  saling memperkokoh
eksistensi dan hal ini  berlaku secara
alamiah. Hubungan itu kelihatan adakalanya merenggang dan kadang-kadang
merapat.
Ketika Syarikat Islam (SI)
masuk ke Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau yang gandrung kepada
"kemajuan" melihat  organisasi
yang pada dasarnya memperhatikan rakyat dalam bidang ekonomi  yang 
kemudian berkembang ke politik, telah 
menjadi  tempat bernaung beberapa
tokoh kedua golongan itu, baik Kaum Tua 
mupun Kaum  Muda.  SI sendiri di beberapa tempat di  luar 
Minangkabau banyak dipimpin oleh tokoh perantau Minang. Untuk
tingkat  pusat yang menonjol adalah H.
Agus Salim dan Abdul Mu'is.[34]
Atas  saran tokoh-tokoh perantau Minang[35]
di  sini 
berdiri cabang  SI.  Pendirinya adalah ulama-pedagang,  Haji 
Ahmad  dan tokoh Kaum Tua Syaikh
Khatib Ali. Pengikut SI di masa-masa 
awal ini  kebanyakan  petani dan pedagang yang juga  simpatisan 
Kaum Tua.  Lantaran  perjuangan SI waktu itu antara  lain 
mengeritik pelaksanaan 
administrasi pemerintahan Belanda di 
pantai  barat Sumatera  di 
dalam Kongres SI di Bandung 1916 M., 
maka  simpati golongan  intelektual Minangkabau muncul. Mereka  yang 
terakhir ini masuk pula ke dalam SI. Ternyata kaum intelektual ini
mayoritas  adalah  Kaum Muda yang  segera 
mendominasi  kepengurusuan daerah  SI, 
kebanyakan di antara mereka 
adalah  guru-guru  dan pegawai pemerintah yang simpati kepada
perjuangan kebangsaan dan Islam.[36]
Kaum Muda seakan mendapat motivasi lebih 
tinggi  lagi untuk  berkiprah 
dalam SI karena Syekh Ahmad 
Khatib  menyokong ummat Islam
Indonesia menggerakkan SI dalam kitabnya Tanbih 
al-'Awam.  Kitab  ini dapat dianggap jawaban atas  tulisan 
seorang ulama  dari Jawa Syekh
Hasyim Asy'ari yang menentang  berdirinya
SI dalam tulisan "Kafful 'Awami 'anil Khaudi fi Syirkat al-An'am fi  al-raddi 'ala Risalat Kaffi al-'Awam."
Ahmad  Khatib  sangat "anti Belanda".[37]
Integrasi-sinerjik   Kaum Tua dan Kaum Muda di dalam SI  tak berjalan 
lama.  Karena kekurang-mampuan memimpin  dan 
keuangan dari para pendiri SI di Minangkabau yang ternyata adalah
mayoritas Kaum Tua, maka Kaum Muda yang semakin dominan,  berinisiatif mendirikan  sendiri 
cabang SI di wilayah ini. 
Krisis  internal selanjutnya  sudah 
tidak terhindarkan lagi. SI 
di  daerah  ini pecah 
menjadi dua. Pertama, SI yang dipimpin H. Abdullah  Ahmad dan Abdullah Basa Bandaro yang juga
aktivis organisasi  Syarekat Usaha yang
merupakan kampiun Kaum Muda dan menggunakan identitas Kartu  Putih. 
Kedua, SI yang tetap di bawah 
kepemimpinan  Haji Ahmad  dan 
Syaikh Khatib Ali yang menggunakan 
identitas  Kartu Merah SI. Di
dalam kebijaksanaan organisasi kedua faksi ini juga berbeda. Yang pertama lebih
dapat bekerjasama dengan  pemerintah
Belanda  bahkan menerima subsidi untuk
sekolah HIS-Adabiah  yang
menggunakan  bahasa pengantar bahasa
Belanda. Yang  kedua  tidak disenangi oleh Resident, petinggi
Belanda dan stafnya di Padang. Belakangan, yang diakui oleh Central SI adalah
kelompok SI kedua atau  SI Kartu Merah.
Kemudian disusul pengakuan sebagai 
cabang lepas (kusus) untuk yang pertama (SI Kartu Putih), karena cabang
ini mulai melakukan oposisi moderat terhadap pemerintah.[38]
Sikap oposisi terhadap
pemerintah ini dalam bentuk lain juga mengakibatkan tergalangnya kesamaan visi
dan misi yang menyebabkan  merajut
kembali emosi integrasi yang belakangan 
agak  terganggu  antara 
Kaum Tua dan Kaum Muda. Meskipun 
integrasi  itu kelihatan  semu, tetapi hasilnya cukup konkret. Misalnya  ketika perkumpulan-perkumpulan  agama dan ulama-ulama Minangkabau  yang dipelopori Kaum Tua dan Kaum Muda
melakukan penolakan  peraturan
pemerintah  yang  disebut Guru Ordonansi,  1928 
M.[39]
Dikatakan integrasi  semu ialah karena
sebelum penolakan secara  resmi  di hadapan 
sekitar  2000 orang tokoh masyarakat  dan 
ulama  tanpa perbedaan  aliran 
dan golongan pada 18 Agustus 
1928,  beberapa tokoh Kaum Muda di
antaranya Abdullah Ahmad, dan Kaum Tua Syaikh Khatib Ali, Syaikh Sulaiman
Al-Rasuli terlebih dulu sudah dipengaruhi DR. de Vires utusan pemerintah pusat
Batavia untuk menerima peraturan itu.[40]
Akan  tetapi karena DR. Abdul Karim Amrullah
yang  berhaluan keras dapat menggalang
solidaritas hadirin dalam pertemuan akbar itu penuh retorika dan imbauan yang
memikat mengakibatkan peraturan Guru Ordonansi itu ditolak. Penolakan inilah
yang merupakan hasil  konkret. Penolakan
itu dilakukan secara massal,  di  situ bergabung  Kaum 
Tua dan Kaum Muda. Keadaan 
serupa  selanjutnya terjadi ketika
pemerintah Belanda hendak menerapkan pula peraturan  Ordonansi Sekolah Liar pada 1932 M. Kembali
ulama Kaum  Tua dan Kaum Muda menolaknya
dengan ketua panitia DR. Syekh H. Abdul Karim 
Amrullah. Pada 1937 M. pemerintah hendak menerapkan  lagi peraturan  Nikah 
Bercatat. Kali ini yang tampil 
menjadi  ketua panitia penolakan  ialah dari Kaum Tua , yaitu Syekh H. Sulaiman
Al-Rasuli.[41]
Secara  internal perbedaan pendapat untuk
beberapa  hal  pun semakin berkurang dan ada persoalan yang
disepakati antara  lain pembagian  harta 
warisan yang diatur menurut adat 
dan  menurut syariat.  Walaupun guru yang amat disegani di Mekah
Syekh  Ahmad Khatib mengatakan harta
pusaka Minangkabau itu  Syubuhat, tetapi
Kaum Tua dan Kaum Muda dalam hal ini tampak melakukan  kompromi. Hal 
itu  tercemin pada pendapat
Abdul  Karim  Amrullah 
seperti dikatakan HAMKA:[42]
Tetapi  ayah 
saya DR. Syekh Abdul Karim 
Amrullah  berfatwa bahwa  Harta pusaka tinggi adalah sebagai wakaf  juga, 
atau sebagai  harta  Mussabalah yang pernah  dilakukan 
Umar  bin Khatab pada hartanya
sendiri di Khaibar, yang boleh  diambil
isinya tetapi tidak boleh di-Tasharruf-kan tanahnya.  Beliau mengemukakan  Qaidah 
Ushul  yang  terkenal, 
yaitu"Al'Adatu Muhak 
Kamatun,  wal 'Urfu Qa-Dhin".
Melihat  jalan  fikiran ulama di Minangkabau sendiri, harta
itu dibagi dua: pertama harta pusaka tinggi. Kedua, harta pencaharian.
Harta  pusaka tinggi  tidak boleh diganggu-gugat, tetapi dalam  keadaannya semula  : Dijual tidak dimakan beli, digadai  tidak 
dimakan sando.  Tetapi harta
pencaharian, hendaklah di-  Faraidh-kan
menurut Agama.
Secara  perorangan integrasi antar tokoh Kaum
Tua  dan 
Kaum Muda juga kelihatan dengan nyata. Meskipun ada perbedaan prinsip
dalam  masalah agama, namun demi untuk
memajukan umat  Islam  di ranah 
ini ditambah pula oleh pengalaman yang menunjukkan  bahwa pemerintah Belanda semakin memperluas
intervensinya dalam berbagai  lapangan
kehidupan, maka kedua golongan itu semakin 
akrab. Hubungan silaturrahmi dan ukhuwah Islamiah antara pribadi  tokoh Kaum Muda dan Kaum Tua pada 1930-an
dapat diketahui oleh masyarakat 
dalam  berbagai kegiatan
agama  dan  kemasyaraktan.  Abdul Karim 
Amrullah,  Ibrahim Musa
Parabek  dan  Sulaiman 
al-Rasuli seakan  mewakili sosok
integrasi-sinerjik  pribadi-pribadi  Kaum Muda dan Kaum Tua, etika mereka pada
1930-an, pergi bersama-sama turun  ke
desa-desa menyampaikan dakwah dan 
tabligh.  Ketiganya berjanji  akan 
sama-sama membawa umat ini kepada 
satu  tujuan, yaitu persatuan.[43]
Di  balik 
itu semua, secara diam-diam 
untuk  hal-hal  yang krusial 
seperti  masalah tarikat dan
pelaksanaan  salat  dengan lafaz 
niat ushalli dan lain-lain mereka tetap berpegang  dengan pendirian  masing-masing.  Untuk yang terakhir  ini, 
sekan-akan terjadilah suatu "kesepakatan untuk tidak sepakat"
(agreement to disagree).
V. KESIMPULAN
Konflik-pemikiran  dan integrasi-sinerjik Kaum Tua dan  Kaum Muda di Minangkabau pada 1903-1937 M.
tampaknya merupakan friksi dan 
rekonsiliasi  intern  ulama. Kaum 
ulama  sebagai  komponen kepemimpinan masyarakat Minangkabau
pada kurun ini sangat intensif  melakukan
pengkajian, pendalaman ajaran dan 
praktik  agama serta terlibat
penuh dalam berbagai aspek dan dinamika kehidupan fisik-jasmani dan
mental-ruhani di wilayah ini. Hal itu didorong oleh  faktor dalam (intern), dinamika
masyarakat  serta  tingkat pendidikan yang semakin maju dan
faktor luar (ekstern), pengaruh interaksi dengan mancanegara, antara lain
ketika beberapa  tokoh kedua golongan
tersebut pulang setelah belajar di Timur Tengah.
Kedua  kelompok merupakan partisipan aktif
"anak  zaman"-nya antara mereka
yang mapan dan ingin melanjutkan tradisi (continuity)  dan 
mereka yang ingin berubah ke arah 
kebaikan  (ishlah) atau positive-change
sebagai reformis. Kelompok mapan 
tampaknya berbasis di lapisan bawah yang agak merata di pedesaan  terutama berlatar  belakang tarikat dan lingkaran pengajian  tradisional. Sementara  kelompok 
reformis,  lebih  berbasis 
kelas  menengah perkotaan,  pedagang dan cendekiawan. Pada mulanya  mereka 
dari kalangan tradisional juga namun cepat menyambut perubahan  zaman dalam  berbagai lapangan. Keduanya baik yang
mapan  maupun  yang pro-perubahan, masing-masing mengelompok
dalam institusi sosial, pendidikan, pers bahkan politik. 
Bila ditilik dari sumber
konflik, persoalan tarikat 
merupakan  faktor  dominan 
pada awalnya (1903M.). 
Kemudian  hal  itu berkembang  ke 
masalah  khilafiah (fikih),  lalu 
ke  pemikiran keagamaan,  pro-kontra 
terbuka dan  tertutupnya  pintu 
ijtihad serta penggunaan akal. Di dalam dinamika konflik itu seakan Kaum
Muda  merupakan  anti 
tesa pendobrak kemapanan 
Kaum  Tua  yang menjadi tesa. Dari tesa dan anti-tesa
itu lahirlah sintesa  yang secara  relatif dapat dianggap sebagai
integrasi-sinerjik  dinamis,  penjelmaan 
pandangan dunia (world-view) 
yang  baru  bagi kedua pihak. Walaupun dalam sektor
tertentu, integrasi ini tidak mengubah 
hal-hal  mendasar, namun ada
manfaatnya.  Antara  lain masyarakat Minangkabau semakin terbuka
dan semakin dapat menggunakan sarana, prasarana serta institusi moderen
dalam  kehidupan beragama, sosial,
pendidikan, pers bahkan politik. 
Integrasi  sosial 
dan pemikiran   yang  muncul 
belakangan, boleh jadi akibat kearifan kedua pihak, plus tantangan dari
luar yang  mereka anggap musuh bersama.
Mereka bersatu menolak  Ordonansi Guru,
Ordonansi Sekolah Liar, dan nikah bercatat (1937M.). Secara  internal 
mereka juga menemukan  solusi  soal 
pewarisan harta  pusaka  tinggi menurut adat dan harta  hasil 
pencaharian (pusaka rendah) menurut agama. 
Selebihnya  integrasi 
itu  dapat  diartikan 
sebagai  sikap memahami pendapat
masing-masing tanpa mengubah prinsip 
pihaknya sendiri.  Pada  dekade-dekade berikutnya hal itu  menjadi 
modal dasar  bagi kedua kelompok
khususnya dan masyarakat  Minangkabau
pada umumnya dalam menyelesaikan dan menghadapi 
masalah-masalah agama  yang kian
menyatu dengan seluruh aspek 
kehidupan.  Tugas  menghadapi 
masa  depan tak pernah putus
dalam  dua  garis 
yang saling  berinteraksi antara
kemapanan dan perubahan.  Semua  itu menjadi 
refleksi  dinamika kaum agama  di 
Minangkabau  menurut zamannya.  Bagaimana paradigma ulama dan umat
selanjutnya  dalam kontinuitas  dan perubahan Islam di Minangkabau,  tentu 
meminta pembahasan tersendiri. ***
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah,  Taufik, Schools
and Politics: The Kaum Muda  Movement
in  West Sumatra (1927-1933),Ithaca
Nework,  Cornell  University, 1971.
------- Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah 
Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1987.
Djamal, Murni, DR. H. Abdul Karim Amrullah His Influence
in  the Islamic Reform Movement in
Minangkabau in the Early  Twentieth
Century, Montreal, McGill University, 1975.
Edwar, Ed., Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar
Sumatera Barat, Padang, Islamic Center, 1981.
HAMKA, Ayahku:  Riwayat  Hidup DR. H. Abdul Karim  Amrullah 
dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Jakarta, UMMINDA, 1982.
------- ,Islam 
dan Adat Minangkabau, Jakarta, 
Pustaka Panjimas, 1984.
Lathif,  Al-'Alamah
Syekh Ahmad Khatib bin Abdul, A. 
Mm.  Arief (Penyalin),  Fatwa 
tentang  :  Tharikat 
Naqasyabandiyah, Medan, Islamiyah, 1978.
Latief,  M. Sanusi, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 
1907-1969, (Disertasi 
Doktor)  Jakarta,  IAIN 
Syarif  Hidayatullah, 1988.
Mansoer, M.D., Et. al., Sejarah Minangkabau, Jakarta,  Bhratara, 
1970.
Navis, A.A.,  Dialektika
Minangkabau: dalam Kemelut  Sosial  dan Politik, Padang, Genta Singgalang
Press, 1983.
Nazwar,  Akhria, Syekh
Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di  Permulaan
         Abad ini,Jakarta, Panjimas, 1983
Noer, Deliar,  Gerakan  Moderen Islam 
di  Indonesia  1900-1942,Jakarta, LP3ES, 1980.
Saifuddin,  Achmad 
Fedyani, Konflik  dan 
Integrasi:  Perbedaan Faham dalam
Agama Islam, Jakarta, Rajawali, 1986.
Salim, Panitia Buku 100
Tahun Haji Agus, Seratus Tahun Haji Agus
Salim, Jakarta, Sinar Harapan, 1984.
Schrieke,  B.J.O., Pergolakan
Agama di Sumatera Barat,  Jakarta,  Bhratara, 1973.
BIO DATA RINGKAS PENULIS
SHOFWAN KARIM, Penata Muda
Tk. I (III/b) Asisten Ahli Perkembangan 
Modern  Dalam Islam,  Lulusan 
Pascasarjana/S2,  IAIN
Jakarta,1991  dan  sedang 
menyelesaikan   Pascasarjana/S3
IAIN Jakarta. Tulisannya nomor ini, Konflik-Pemikiran  dan Integrasi-Sinerjik Ulama Minangkabau
1903-1937 
[1]
Periode I abad ke 7 di masa pemerintahan Dinasti Umayyah Islam masuk di wilayah
Minangkabau Timur. Perkembangan itu terhenti sampai abad ke-8 oleh "counter
action" Dinasti T'ang dari Cina karena perebutan dominasi ekonomi. Periode
II antara abad ke 10 sampai abad ke-12 ketika Dinasti Fatimiyah di Mesir
(976-1168 M.) mengirim misinya dan menyebarkan Islam Syi'ah. Periode III pada
abad ke-15 kembali Islam masuk dan pada pertengahan abad ke-16 Sultan Alif
keluarga raja Minangkabau memeluk Islam beserta seluruh warga Minangkabau.
Lihat M.D. Mansoer, Et. al., Sejarah
Minangkabau (Jakarta: Bhratara, 1970), h. 44, 45, 47, 48, 49, 63; lihat
juga, HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H.
Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta:
UMMINDA, 1982) h. 3, 14-20. Juga B.J.O. Schrieke,  Pergolakan
Agama di Sumatera Barat (Jakarta: Bhratara, 1973), h. 11-23.
[2]    Lihat Herman Sihombing, "Hukum Adat Minangkabau
Mengenai Tungku Tiga Sejerangan dan Tali Tiga Sepilin: Hukum Adat Minangkabau
Dewasa ini dan di Kemudian Hari", dalam A.A. Navis, Ed., Dialektika Minangkabau: dalam Kemelut Sosial
dan Politik (Padang: Genta Singgalang Press, 1983), h. 40-55. Lihat juga,
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat:
Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), h. 222-223
[3]  Lihat, Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam
Agama Islam (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 7
[5]  Lihat, Taufik Abullah, Shools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927-1933),
selanjutnya disebut Taufik Abdullah, Schools...(Ithaca New York: Cornell
University, 1971), h.12-13.
[6]
Ibid
[7]Lihat,
Murni Djamal, DR. H.Abdul Karim Amrullah
His Influence in the Islamic Reform Movement in Minangkabau in the Early
Twentieth Century, (Montreal: McGill University, 1975),h.1-5.
[8]Lihat,
M. Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di
Minangkabau 1907-1969, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, Disertasi
doktor, 1988),h.131
[9]
Ibid., h. 133-141
[10]
Ibid.,h.135
[11]
Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit.,
h.23
[12]
Lihat Edwar, Ed.,Riwayat Hidup dan
Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, (Padang: Islamic Center Sumbar,
1981), H. 55, 107, 123.
[13]  Ibid.,h.21,
67, 77. Gelar Doktor Honoris Causa diperoleh Abdul Karim Amrullah dan Abdullah
Ahmad dari Kongres Khilafat di Mesir 1926 M. Ketua Kongres itu adalah Syekh
Husain Wali, Guru Besar Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Lihat HAMKA, Ayahku: Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim
Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: Umminda,
1982),h.160.
[14]  Ibid.,h.15.
Tentang tahun lahir, ke Mekah, belajar dan mulai mengajar di kota suci ini oleh
Akhria Nazwar mengutip HAMKA dikatakan Ahmad Khatib Lahir 26 Mei 1860 M., ke
Mekah diajak ayahnya 1871 M., belajar dan tamat 1876. Nazwar menyebut masa
belajar Ahmad Khatib 9 tahun. Jadi mestinya tamat 1880 M. Tahun wafat Ahmad
Khatib oleh Nazwar, 1916 M. sama dengan Edwar. Lihat Akhria Nazwar, Syekh Ahmad Khatib: Ilmuwan Islam di
Permulaan Abad ini, (Jakarta: Panjimas, 1983), h.11-15.
[15]
Lihat, Al-'Alamah Syekh Ahmad Khatib bin
Abdul Lathif Imam,Khatib dan Guru Besar di Mesjidil Haram, disalin oleh A.
Mm. Arief, Fatwa tentang : Tharikat Naqasyabandiyah, (Medan: Islamiyah, 1978),
h.3. Selanjutnya ditulis Lathif, Fatwa...
[16]
Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di
Indonesia 1900-1942, (Jakarta:LP3ES, 1980),h.39-40.
[20]
Ibid., h.47-134. Lihat juga HAMKA, Op.Cit.,, h.291. Yang dimaksud dengan
wasilah dan rabithah di sini ialah beribadat kepada Tuhan serta memohon kepada
Tuhan dengan terlebih dulu membayangkan guru, pemimpin atau mursyid tarikat
sebagai perantara. Wirid-wirid di sini ialah bacaan-bacaan yang dianggap
berpahala dan dirutinkan. Kaifiat ialah cara-cara yang lazim dilaksanakan dalam
beribadah menurut  tuntunan yang telah
ditentukan, dalam hal ini menurut versi tarikat Naksyabandi
[21]
Ibid.,h.138-141.
[22]
Lihat, Lathif, Op.Cit., h.4.
[23]
Tokoh lain yang ikut dari Kaum Tua ialah Syekh Khatib Ali di Padang. Lihat,
HAMKA, Ibid.
[24]
Lihat M. Sanusi Latief, Op.Cit.,
h.135 dan HAMKA, Op.Cit.,h.292.
[25]
Kata "kemajuan" mula-mula diterbitkan oleh Insoelinde dalam jurnal
untuk para guru dan pegawai pemerintah yang pribumi di seantero tanah air.
Lihat Taufik Abdullah, Schools... Op.Cit.,h.11.
[26]
Lihat, Deliar Noer, Op.Cit.,h.46-48.
[27]
Lihat, HAMKA, Op.Cit.,h.101.
[28]
Muhammadiyah lahir di Minangkabau berdasarkan inspirasi Abdul Karim Amrullah
setelah melawat ke Jawa 1917 dan 1925. Beliau mengikuti perkembangan
Muhammadiyah (yang lahir 1912 di Yogyakarta didirikan oleh KH Ahmad Dahlan).
Organisasi ini di dalam gerakan dan pemikirannya sama dengan Kaum Muda. Dengan
begitu tempat aktivis Kaum Muda bergerak menjadi banyak antara lain SI Putih,
PGAI, Adabiyah, Sumatera Thawalib dan kemudian ketika Diniyah putri (1923) dan
Diniyah Putra berdiri pula di Padang Panjang, sekolah ini juga termasuk
beraliran Kaum Muda. Lihat juga HAMKA, Op.Cit.,
h.115-118, 148-150. Untuk Diniyah Putri dan Putra, lihat Edwar, ED., Op.Cit.,h. 209-218.
[29]
Lihat HAMKA,Op.Cit.,h.292.
[30]
Lihat Edwar, Ed.,Op.Cit.,h.80.
[31]
Ibid., h. 37
[32]
Lihat HAMKA, Loc.Cit.,h.291.
[33]
Menurut pembicaraan dari mulut ke mulut dalam pertemuan dengan penulis dengan
beberapaulama yang ada di Sumbar beberapa tahun lalu, Syekh DR. H. Abdul Karim
Amrullah dianggap sangat dalam ilmunya di bidang usul fikih, fikih, dan ilmu
kalam (tauhid). Syekh H. Ibrahim Musa Parabek adalah ahli Tata Bahasa Arab.
Syekh H. Jamil Jambek di samping ahli pidato adalah ahli Ilmu Falak  dan ahli Ilmu Hisab. Syekh DR. H. Abdullah
Ahmad adalah ahli jurnalisitik dan ia pernah menjabat Ketua Wartawan Padang
pada  1914. Begitu pula di kalangan Kaum
Tua, Syekh H. Sulaiman al-Rasuli ahli fikih dan tarikat, begitu pula Syekh Khatib
Ali adalah ahli fikih  dan tarikat. Pada
umumnya ulama Kaum Tua adalah penganut tarikat.
[34]
Lihat Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit.,h.24.
Lihat pula Seratus Tahun Haji Agus Salim,
(Jakarta: Panitia Buku 100 Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, 1984),h.57-63.
[35]
Dalam tenggat waktu 1916-1927 M., Moeis dan Salim sangat menonjol di dalam
kepemimpinan SI. Abdul Moeis (lahir di Sungai Puar, Bukittinggi, 1878 M.)
pernah menjadi Wakil Presiden Centraal Sarekat Islam dan H. Agus Salim ( lahir
di Koto Gadang, Bukittinggi 1884 M.) sebagai pemimpin deretan atas SI. Lihat
Deliar Noer, Op.Cit.,h. 122-123.
Perkiraan kedua tokoh ini memberi pengaruh atas berdirinya SI di Padang.
[36]
Lihat Taufik Abdullah, Schools...Op.Cit.,h.25.
[37]
Lathif, Op.Cit.,h.3. Lihat, Edwar, Op.Cit., h.19, dan lihat juga Deliar
Noer, Op.Cit.,h. 38.
[38]
Ibid., h. 29
[39]
Lihat HAMKA, Op.Cit.,h.166.
[40]
Ibid.,h.176-171.
[41]
Lihat juga HAMKA, Ibid.,h.172-174.
[42]
Lihat HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau,
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h.103.
[43]
Lihat HAMKA, Ayahku... Ibid.,h.293
 
 
Komentar
Posting Komentar