Radikalisme dan Peranan Parpol Menjaga Ukhuwah
I. Mukaddimah.
Kasus paling akhir di dalam bulan November 2017 pembakaran kantor Polsek Kecamatan Sungai Rumbai, Dharmasraya. "Yang jelas, indikasi sementara, serangan dari teroris, karena ada kata-kata thogut dan Allahu Akbar," kata Kapolda Sumatera Barat, Irjen Polisi Fakhrizal kepada para wartawan di Padang, Minggu (12/11).
Kasus paling akhir di dalam bulan November 2017 pembakaran kantor Polsek Kecamatan Sungai Rumbai, Dharmasraya. "Yang jelas, indikasi sementara, serangan dari teroris, karena ada kata-kata thogut dan Allahu Akbar," kata Kapolda Sumatera Barat, Irjen Polisi Fakhrizal kepada para wartawan di Padang, Minggu (12/11).
Lalu, penembakan yang ditengarai oleh ISIS di Masjid Sinai Utara. Otoritas Mesir tengah menyelidiki keterlibatan
militan-militan ISIS dalam serangan teror bom dan penembakan di Masjid
Al-Rawdah, Mesir yang telah menewaskan 311 orang. Sebuah masjid di kota
Bir-al-Abed, di Sinai, Mesir utara, diserang sekelompok orang bersenjata pada Jumat
(24/11/2017).
(https://www.nytimes.com/2017/12/01/world/middleeast/egypt-sinai-mosque-attack.html).
Radikalisme menjadi trending topic sejak dua dekade belakangan. Suku kata ini didahului
oleh trending terrorism yang dinisbatkan dulunya kepada al-Qaedah[3]. Terma Barat “war on terror”
(WOT) perang melawan teror, juga dikenal sebagai perang global teroris (GWOT-Global
War on Terrorism),[4] . Hal itu mengacu kepada kampanye militer internasional yang dimulai
setelah serangan 11 September 2001 teroris di Amerika Serikat pasca hancurnya
Gedung WTC di New York.[5]
Bersama wafatnya Osama Ben Laden, trending beralih ke radikalisme.
Ketika ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) yang dianggap pecahan
dari gerakan al-Qaedah menyimpang dari khittahnya, berdiri sendiri sebagai
garis perjuangan mereka yang baru.
Sekarang ISIS[6] menjadi momok bukan saja di Timur Tengah tetapi ke seluruh dunia. Momok
itu berkelindan dengan mata rantai berikutnya dengan dideklarasikannya ISIL
menjadi Islamic State (IS) kekhalifahan Islam global. Mereka berambisi
mengembangkannya ke seluruh penjuru bumi. Dan Indonesia, sebagai mayoritas
warga berpenduduk Muslim dengan segala kekuatan dan kerentanannya diminta oleh
berbagai kalangan untuk waspada. Lebih
dari itu, kini ada yang mengatakan perlu diberikan serum penangkal, terutama di kalangan generasi muda.
Wacana berikut merupakan deskripsi dan analisis terbatas. Pemahaman
semantik kata radikal dalam filsafat pemikiran dan radikal dalam makna aktual
gerakan. Apa kaitan radikalisme, khilafah Islamiyah dan beberapa
konseptualisasi salafi-wahabi merupakaan deskripsi dan analisis berikutnya.
Kemudian apa hubungannya dengan platform atau prinsip dasar dan program yang
ditawarkan Parpol Islam dalam hal ini PPP dan PKS serta bagaimana peranannya di
dalam menghindari radikalisme dalam aura bingkai ukhuwah dan kebangsaan,
merupakan bagian akhir dari diskursus ini.
II. Radikal Pemikiran dan
Gerakan.
Secara semantik,[7] kata adjective radic (akar) atau radikal dapat diartikan berfikir secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai kepada hal yang menjadi prinsip utama urat tunggang dari pohon persoalan. Sikap itu diformulasikan kepada perubahan yang drastik dan revolusioner. Sikap yang amat keras menuntut perubahan. Terutama undang-undang dan pemerintahan. Radikalisme juga berarti maju tanpa peduli alam sekitar dalam berpikir dan bertindak.
Secara semantik,[7] kata adjective radic (akar) atau radikal dapat diartikan berfikir secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Berfikir sampai kepada hal yang menjadi prinsip utama urat tunggang dari pohon persoalan. Sikap itu diformulasikan kepada perubahan yang drastik dan revolusioner. Sikap yang amat keras menuntut perubahan. Terutama undang-undang dan pemerintahan. Radikalisme juga berarti maju tanpa peduli alam sekitar dalam berpikir dan bertindak.
Di dalam wacana umum, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia),
radikal artinya secara mendasar, sampai kepada hal-hal yang prinsip. Perubahan
yang radikal bermakna membongkar sesuatu yang mapan sampai ke urat tunggang dan
akar-akarnya lalu menanam hal-hal yang baru, yang bahkan bertentangan dengan
yang lama. Bila telah menyangkut aksi atau tindakan maka makna sinonimnya
adalah ekstrem, militant, melampaui batas atau melewati garis kesabaran dan
toleransi, revolusioner, lebih dari itu juga disebut subversive .
Ada kebiasaan para analis memasangkan, sebelum kata radikalisme itu
dengan fundamentalisme. Sehingga sering ditarik dalam satu nafas sebagai
fundamentalisme-radikalisme.[8] Fundamentalisme adalah gerakan dalam agama Protestan Amerika yang
menekankan kebenaran Bible bukan hanya dalam masalah kepercayaan dan moral,
tetapi juga sebagai catatan sejarah tertulis dan kenabian; misalnya tentang
kejadian, kelahiran Kristus dari ibu yang perawan dan sebagainya (Rifyal
Ka’bah, 1984).[9]
Dalam kalimat lain, fundamentalisme adalah memelihara interpretasi
literal tradisi kepercayaan dalam agama Kristen yang berlawanan dengan ajaran
yang lebih moderen (AS Hornby, 1987). [10] Akan tetapi, hal yang terjadi pada Protestan itu terjadi juga pada
Katholik, juga Yahudi, Hindu, Budha dan bahkan terdapat hal yang sama pada
penganut ideologi ultra-kiri, ultra-kanan, ultra nasionalis seperti Nazisme
baru yang marak pada beberapa negara di Eropa. Fenomena itu terjadi sejak
1970-an bahkan sampai sekarang di hampir seantero dunia, lintas kepercayaan dan
agama. Kasus Rohingya, Boko Haram dan Charlie Hebdo[11], sebagai yang paling akhir.
Oleh karena media dan diskursus dunia dikuasai Barat, maka wacana
fundamentalisme yang menekankan hal-hal mendasar serta berkaitan dengan akar
masalah sangat dalam, maka fundamentalisme-radikalisme, sudah salah kaprah
dilekatkan oleh mereka kepada pemikiran dan gerakan yang berlabel Islam seperti
saat ini.
Tentu saja kalau hanya bersifat ucapan dan paham atau bahkan tulisan
maka hal itu dapat disebut sebagai fundamentalisme-radikalisme pemikiran.
Pemikiran yang bertolak dari segala sesuatu yang paling mendasar dan original
(murni), asasi atau asli. Untuk yang terakhir ini, dapat disebut sebagai
pemurnian atau purifikasi pemikiran. Dari sinilah kaitannya, orang senang
mengatakan radikalisme juga kadang-kadang dikaitkan konsepsi salafi. Oleh
karena kaum salafi, menekankan hal-hal yang berhubungan dengan urat tunggang dalam
kehidupan agama dan sosial yang mendasarkan kehidupan atas kemurnian dan
kesucian akidah.
Maka kaum salafi merupakan golongan yang sangat menjaga hal-hal yang
prinsipil dan paling dalam terhunjam di dalam rekayasa bangunan kehidupan
keagamaan, social-kemasyarakatan, paham kenegaraan dan pemerintahan . Dengan
begitu kaum salafi menjunjung tinggi hal-hal prinsip itu, bahkan menjadi
ideologi yang kokoh.
Apabila hal itu mengkristal menghunjam ke dalam aliran darah dan urat
nadi kehidupan, perjuangan dan gerakan, maka menjadilah ia sebagai paham salaf
yang disebut salafisme. Salafisme mengambil namanya dari salaf. Istilah yang
berarti “pendahulu”, “nenek moyang” atau suatu identifikasi kepada generasi
awal Islam. Kaum salaf menjadi “role
model” sebagai lambang praktik Islam yang super jenuin.
Sebuah hadits Nabi Muhamad Rasulullah saw, mengatakan “orang-orang dari
generasi saya sendiri adalah yang terbaik, begitu pula para sahabat dan
berikutnya orang-orang yang datang setelah mereka, dan kemudian orang-orang
dari generasi berikutnya, “.
Adalah sebuah seruan yang amat mulia bagi umat Islam untuk mengikuti
contoh mereka tiga generasi pertama, yang dikenal secara kolektif sebagai salaf
atau “pendahulu yang saleh” (al-salaf al-Saleh). Mereka yang dimaksud dimulai
dari Nabi Muhammad Rasulullah saw
sendiri, para sahabat (shahabat), yang pengikut (tabi’in) dan
pengikut dari pengikut (tabi ‘al-tabi’in).
Prinsip salafi itu, dihormati oleh kalangan ortodok [12] Islam dan oleh para teolog Sunni sejak generasi Muslim kelima atau
sebelumnya yang telah menggunakan apa yang mereka lakukan pada masa awal Islam
tadi menjadi contoh bagi mereka untuk memahami teks-teks dan ajaran Islam.
Kadang-kadang juga untuk membedakan keyakinan kaum muslimin pertama dari
variasi berikutnya di dalam keyakinan dan penggunaan metodologi untuk menentang
bid’ah (mengada-ada tanpa dasar)
agama dan sebaliknya, untuk mempertahankan pandangan dan praktek tertentu.
Kaum Salafi percaya bahwa Al-Qur’an, Hadits dan konsensus (ijma) atau kesepakatan yang disetujui
para ulama bersama dengan pemahaman salaf merupakan pandu utama jalan
kehidupan. Tidak perlu yang lain, dan cukup itu saja bagi setiap warga dan
masyarakat Muslim.
Di dalam konsepsi dakwah, Salafi adalah metodologi dan bukan mazhab
fikih (yurisprudensi). Kadang-kadang hal itu dapat bercampur-baur dan mungkin
pula terjadi salah paham. Dengan demikian secara metodologis, Salafi dapat
berasal dari pengikut Mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Hanafi. Semuanya
digolongkan kepada pemikiran Fikih Sunni.
Untuk memahami dengan baik tentang Al-Qur’an atau Hadits, mereka
mendukung keterlibatan ulama untuk berijtihad. Tentu saja syarat berijtihad
yang terpenuhi. Ini merupakan cara untuk menghindari kebekuan (jumud) dan
taklid buta. Khusus untuk akidah, keyakinan dan pandangan teologis, pengikut
salafi semata-mata mengikuti apa yang dipahami sunnah shahihah tanpa
terbawa kepada dialektika ilmu kalam dan semua bentuk filsafat yang dianggap
sepekulatif.
Ajaran salafi menganggap “tawassul” sebagai syirik, termasuk bertawassul
dengan tokoh agama dan para ulama. Begitu pula memuja kuburan termasuk memuja
kuburan Nabi dan orang-orang yang dianggap suci. Mengunakan azimat (jimat)
apalagi batu akik yang punya kekuatan magis adalah syirik. Mempertahankan
praktik-praktik itu semua dianggap bid’ah (mengada-ada atau inovasi sesat).
Semua itu termasuk politeisme atau syirik. Tidak satupun dari praktik itu yang
dibolehkan di kalangan salafi.
Dari sinilah kalangan lain menganggap apa yang menjadi ajaran kaum
al-Muwahhidun (kalangan penganut tauhid) yang dipelopori Muhammad Ibnu Abdul
Wahab (1703-1787), kini ada anggapan sebagai salafi modern, hidup kembali.
Padahal, sebagai penganut akidah murni Islam, apa yang menjadi doktrin
al-Muwahhidun itu merupakan pendapat jumhur ulama. Harun Nasution (1921-1997)
mensitir Muhammad Ibnu Abdul Wahab memusatkan perhatiannya kepada hal akidah
murni itu. [13]
Lebih dari itu yang menjadi ideologi mereka bahwa mereka percaya bahwa
gradasi dan kualifikasi Islam menjadi turun, setelah generasi awal karena inovasi-sesat
agama golongan tertentu dan meninggalkan apa yang mereka anggap sebagai ajaran
Islam yang murni. Mereka percaya bahwa kebangkitan Islam hanya akan dapat
sukses kalau kembali kepada cara-cara dan peradaban generasi awal umat Islam
dan membersihkan semuanya dari pengaruh asing. Lebih dari itu kaum salafi
menolak yang disebut konsep teologi dan ilmu kalam apalagi pemikiran filsafat
spekulatif.
III. Salafi Modern dan
Kontemporer.
Kaum Salafi menganggap Muhammad ibn Abd al-Wahhab sebagai sosok pertama di era modern yang mendorong untuk kembali ke praktik keagamaan dari salaf al-shalih. Ia memulai gerakan revivalis (menghidupkan kembali) Islam yang murni di daerah pedalaman Jazirah Arabia pada abad ke-18 yang jarang penduduknya di wilayah Najd (Nejed).
Kaum Salafi menganggap Muhammad ibn Abd al-Wahhab sebagai sosok pertama di era modern yang mendorong untuk kembali ke praktik keagamaan dari salaf al-shalih. Ia memulai gerakan revivalis (menghidupkan kembali) Islam yang murni di daerah pedalaman Jazirah Arabia pada abad ke-18 yang jarang penduduknya di wilayah Najd (Nejed).
Belakangan bersama-sama dengan Ibnu Saud memurnikan pemahaman Islam dan
melakukan gerakan kembali kepada doktrin salafi itu. Dari sejarah yang panjang
sekarang menjadi Kerajaan Saudi Arabia. Kolaborasi antara Muhammad Ibnu Abdul
Wahab dengan Ibnu Saud itu, oleh beberapa analis disebut sebagai salafi-plus
(salafi-politik)
Karya-karya Muhammad Ibnu Abdul Wahab, terutama kitab at-Tauhid, masih
banyak dibaca oleh kaum Salafi di seluruh dunia. Bahkan saat ini dan mayoritas
ulama Salafi masih mengutipnya. Tidak jarang oleh kalangan lain ajaran asli
kaum yang menamakan diri al-Muwahhidun tadi sebagai ajaran Wahabi. Dinisbatkan
kepada namanya. Dan ini boleh dianggap sebagai berfikir cara orientalisme (ahli
ketimuran-ke-Islaman) kalangan Barat yang bersifat pejorative (merendahkan).
Di antara pengamat, berdasarkan gerakan dan pemikiran mutakhir melihat
beberapa aliran salafisme menjadi tiga tren: puritan (murni); orientasi politik
dan para penggerak militant yang ekstrim-radikalis.
Untuk tren terakhir, mereka menyebut kaum jihadis. [14] Padahal kata jihad di sini dipahami mereka bertentangan dengan makna semantik yang
dipahami umum oleh umat Islam sebagai berusaha dan bekerja keras di jalan
Allah, menuntut ilmu dengan, atau dan sungguh-sungguh bekerja. Kata jihadis di
sini dipahami mereka sebagai garis keras bahkan sering disamakan dengan
terroris.
Tren pertama, puritan adalah gerakan pemikiran dan usaha yang
berfokus pada pendidikan dan pekerjaan dakwah untuk rekonstruksi tauhid. Ini
dianggap salafi puritan non-kekerasan dalam tabligh , dakwah serta penyiaran
memperkuat Islam. Selalu melaksanakan pemurnian kepercayaan dan praktik
keagamaan. Tampaknya mereka mengabaikan politik dan kekuasaan dalam
menyampaikan misi dakwahnya.
Sementara tren kedua, politik memfokuskan kepada reformasi
politik dan membangun kembali khilafah melalui sarana evolusi, tapi bukan
kekerasan. Ini disebut kadang-kadang sebagai aktivisme-salafis. Selanjutnya
tren ketiga, sebenarnya untuk tujuan politik yang sama seperti kelompok kedua,
akan tetapi terlibat dalam tindakan kekerasan, revolusioner yang oleh pihak
lain disebut para radikalis-fisik. Mereka ini yang disebut sebagai kaum jihadis
tadi, sebagai satu istilah pejorative atau merendahkan. Padahal kata jihad
adalah untuk berjuang keras demi kebaikan.
IV. Khilafah Islamiyah,
ISIS sebagai Tren ke-3.
Apa yang disebut sebagai “Jihadis salafi” adalah tren ke-3 sebagai wacana yang paling kontroversial, penuh ajang debat, pro-kontra. Sebagian mengkategorikannya sebagai aktualisasi dari ideologi agama (Assaf Moghdam, 2008).[15]
Apa yang disebut sebagai “Jihadis salafi” adalah tren ke-3 sebagai wacana yang paling kontroversial, penuh ajang debat, pro-kontra. Sebagian mengkategorikannya sebagai aktualisasi dari ideologi agama (Assaf Moghdam, 2008).[15]
Di dalam media on-line serta
situs-situs dunia-maya, akan kesulitan dan susah membagi mana kategori yang
benar-benar dari kalangan “Jihadis Salafi” itu yang murni, mana pula yang
menangguk di air keruh atau berpura-pura, sehingga membuat buncah jagat dunia
global.
“Salafi para tokoh” adalah istilah yang diciptakan oleh Gilles Kepel[16] untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang mengklaim dirinya sebagai
salafi yang mulai mengembangkan minat dalam jihad selama pertengahan 1990-an.
Praktik mereka sering disebut sebagai “jihadis Salafi” atau “salafi jihadis”.
Wartawan Bruce Livesey memperkirakan jihadis Salafi jumlahnya kurang dari 0,5
persen dari 1,9 miliar warga Muslim di dunia (kurang dari 10 juta). [17]
Definisi lain dari jihad Salafi, yang ditawarkan oleh Mohammed M. Hafez,
adalah “bentuk ekstrim Sunni Islamisme yang menolak pemerintahan demokrasi dan
pemerintahan Syiah.” Hafez membedakan mereka dari apolitis dan konservatif
ulama Salafi, seperti Muhammad Nasiruddin al-Albani, Muhammad ibn al Utsaimin,
Abd al-Aziz ibn Abd Allah ibn Baaz dan Abdul Azeez ibn Abdullah-Aal ash-Shaikh.
Selain itu ada juga dari gerakan Sahwa terkait dengan Salman al-Ouda atau Safar
Al-Hawali. [18]
Pada tahun 2014 ada analisis oleh Darion Rhodes, dari Kaukasus Emirat mengetengahkan
dua kategori. Kelompok ketaatan tauhid
dan penolakan dari syirik, taqlid, ijtihad, dan bid’ah, sementara yang lain
percaya jihad yang satu-satunya cara untuk memajukan kehendak Allah di bumi.
Dengan begitu tampaknya, meski ada beberapa kesamaan, tetapi banyak
kelompok yang memproklamirkan diri di era kontemporer ini yang berbeda
pemikiran Salafi mereka. Antara yang satu dengan yang lain sering sangat tidak
setuju atas beberapa hal dan menyangkal karakter Islam pihak yang lain.
V. Saudi Arabia dan
Indonesia: Salafi yang Beda.
Lebih lanjut ada pandangan yang berbeda tentang Wahabisme dan Salafi. Di antaranya mengatakan bahwa setiap Wahabisme adalah Salafi tetapi belum tentu setiap Salafi adalah Wahabisme. Wahabisme dianggap salafi ideologis. Sementara ada salafi non-ideologis.
Lebih lanjut ada pandangan yang berbeda tentang Wahabisme dan Salafi. Di antaranya mengatakan bahwa setiap Wahabisme adalah Salafi tetapi belum tentu setiap Salafi adalah Wahabisme. Wahabisme dianggap salafi ideologis. Sementara ada salafi non-ideologis.
Yang non-idelogis, semata-mata mempromosikan ketauhidan, anti syirik,
anti bid’ah dan mempromosikan Islam melalui pendidikan, memberikan biaya hidup
bagi para dosen dalam negeri dan di luar Saudi Arabia. Mereka yang mendukung
konsep ini, mempromosikan salafisme di seluruh dunia.
Orang kaya Saudi yang disebut juga petro-Islam, membiayai pembangunan
kampus, madrasah, sekolah, masjid, pengadaan buku-buku, memberikan beasiswa
bagi angkatan muda negara mayoritas muslim ke Timur–Tengah. Semua itu tidak
bisa disebut sebagai salafi-jihadi seperti yang diteorikan oleh para akademisi
dan penulis Barat tadi.
Oleh karena itu banyak sarjana dan kritikus membedakan antara bentuk
lama Salafisme-Saudi yang disebut Wahhabisme dan Salafisme baru di Arab Saudi.
Stéphane Lacroix,[19] dan beberapa dosen di Sciences Po di Paris, juga menegaskan perbedaan
antara keduanya: “Berbeda dengan Wahabisme, Salafisme mengacu untuk semua
keteguhan kepada prinsip Islam awal tanpa mengiringinya dengan tindakan
kekerasan.
Penyebaran paham Salafisme-Wahabi dan
Salafi-Murni, di Indonesia pada beberapa waktu belakangan menjadi kajian yang
menarik. Ahmad Bunyan Wahib di dalam “Being
Pious Among Indonesian Salafis” Al-Jāmi‘ah:
Journal of Islamic Studies - ISSN:
0126-012X (p); 2356-0912 (e) Vol. 55, no. 1 (2017), pp.1-26, doi:
10.14421/ajis.2017.551.1-26, mengatakan bahwa salafi itu pada awalnya adalah
pengamalan Islam yang otentik atau murni.
Islam yang hanya berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
“Salafi is known as a group
of Muslims who propagate Islamic Puritanism for them. The implementation of Islamic
doctrines in their pristine form is a must to maintain the holiness of Islam.
Under the framework of puritanization, religious activities should be based on
al- Qur’an and ensure the Sunnah as two Islamic main sources in order to purity
Islamic doctrines deviations and invalid religious innovation (bid’a). The purification is aimed at
separating Islam from all un-Islamic facets, and this is needed to become pious
Muslims”.
Menurut Wahib, mengutip Hamka, di
dalam Ayahku: Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama
di Sumatera (Umminda, 1982), Islam puritan itu di Indonesia mulai awal abad
ke-19 yang kita sebut sebagai pergolakan kaum ulama di Minangkabau atau Perang
Paderi. Wahib mengatakan,
“The initial phase of
the development of Islamic Puritanism in Indonesia can be traced back to the
Dutch colonial period in nineteenth century when some Muslims from Minangkabau,
West Sumatra, propagated ideas similar to that of Islamic Puritanism after
returning from the pilgrimage to Mecca, well known as Padri Movement. This is
considered as the early period of Islamic Puritanism in Indonesia. However, the
Padri movement has been defeated by the Dutch Colonial.”
Kekalahan Paderi oleh Belanda
membuat gerakan purifikasi Islam meredup sampai awal abad ke-20. Lahirnya
Muhammadyah (1912), al-Irsyad al-Islamiyah (1914), Persatuan Islam (Persis,
1923) kembali menjadikan purifikasi Islam sebagai dasar gerakan yang
dikombinasikan dengan modernisme Islam atau
Islam bekemajuan. Kemudian lahirnya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
1967 yang dianggap dekat dengan Saudi Arabia dan berdirinya LIPIA yang memang
insitiatif dari pihak Arab Saudi.
Namun di era
kontemporer ini gerakan salafi di Indonesia menjadi lebih kentara dalam tiga hal.
Pertama, tetap memelihara purifikasi
Islam dalam hal akidah dan ibadah tetapi, kedua,
didalam tatanan budaya hidup sehari-hari
ingin seperti kebiasan orang Arab. Ketiga,
menolak budaya lokal dan menolak budaya dan pikiran barat. Oleh karena itu di
dalam cara berpakaian baik pria maupun
wanita, bergaul dan dalam cara bertegur sapa kaum salafi Indonesia
mempunyai tagar, “murnikan akidah,
sebarkan sunnah”. Di antaranya berpakaian komprang kaki celana di atas tumit atau separoh betis, berjenggot,
berbaju gamis dan peci putih bagi pria . Dengan jilbab amat lebar, memakai
cadar atau niqab bagi wanita. Di dalam percakapan sehari-hari lebih senang
mengatakan “antum” dan “ana” dari pada menyebut kamu atau saya. Begitu pula
ucapan lainnya yang disenangi dalam istilah atau Bahasa Arab.
Setakat itu, tidak ada
masalah yang memperoalkan salafi di Indonesia. Persoalan buncah ketika beberapa
waktu lalu dikaitkan dengan gerakan dari manca Negara yang lebih dinamis. Antara lain dikaitkan dengan istilah Islam Trans-Nasional. Ada fenomena
(gejala) semakin mengentalnya pemahaman ke-Islaman yang dekat ke gejala
tersebut, di samping tentu saja ada yang semakin menjauh.
VI. Islam Transnasional.
Terma Islam Transnasional, secara umum mengacu kepada gerakan beberapa harakah (gerakan) Islam lintas negara bahkan lintas benua. Beberapa organisasi besar Islam di dunia, boleh disebut sebagai gerakan Islam Trans-Nasional itu.
Terma Islam Transnasional, secara umum mengacu kepada gerakan beberapa harakah (gerakan) Islam lintas negara bahkan lintas benua. Beberapa organisasi besar Islam di dunia, boleh disebut sebagai gerakan Islam Trans-Nasional itu.
Sebutlah seperti gerakan dan Jamaah Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut
Tahrir Internasioal/Indonesia (HTI)[20], Ahmadiyah, Syiah, Jamaah Tabligh, Jamaah Islamiyah, dan Majelis
Mujahidin Islam (MMI). Tentu dengan segala variasi konsepsi teologis, ideologis
dan konsep perjuangannya. Baik yang disebut hard-liner (garis keras)
maupun soft-liner (garis lunak). Itu semua amat tergantung sejarah latar
belakang lahir, perkembangan, tokoh, dan wilayah serta kompleksitas persoalan
yang masing-masing mereka hadapi.
Selain Syiah[21] dan Ahmadiyah[22], kalau dilihat dari corak pemikiran teologi dan ibadah serta fikih
mereka, dapat dikategorikan sebagai kaum ahlu sunnah wal jamaah atau
sunni. Dalam kasus Indonesia, ibarat duri di dalam daging, antara kelompok dan
golongan internal dan antar ummat tidak selalu harmonis. Bahkan hubungannya
fluktuatif.
Secara internal sealiran, misalnya sesama sunni, alhamdulillah antara mainstream
(arus utama Islam) di Indonesia cukup akur. Misalnya antara Muhammadiyah,
Nahdhatul Ulama, Tarbiyah, Alkhairiyah, Alwashliyah, Nahdhatul Wathan,
al-Irsyad, Persis, PUI cukup kondusif dan dinamis[23]. Akan tetapi antara mainstream[24] yang moderat itu dengan kelompok Islam lain tadi, kelihatannya tidak
terlalu sinkron-harmonis. Lebih-lebih dengan Ahmadiyah dan Syiah. Sementara
kelompok main-stream dengan HTI, MMI, FPI tidak terlalu hangat.
Terhadap organisasi masyarakat madani ormas Islam tersebut, perlu ada
dorongan yang kuat untuk meningkatkan hubungan yang mesra antara sesamanya.
Akan tetapi ada faktor lain, yang kurang disadari bahwa peranan Partai Politik
(Parpol) sebagai infra dan supra struktur politik nasional cukup menentukan
untuk meningkatkan harkat dan martabat organisasi ummat tadi.
Apalagi Parpol, di dalam hal ini Parpol Islam secara langsung atau
tidak, agaknya dapat memberikan pengaruh positisif yang signifikan terhadap
kehidupan keumatan dan kebangsaan dalam bingkai ukhuwah untuk ke-Indonesiaan
dan ke-Islaman yang rahmat li al-alamin.
Secara tersirat diskursus penyatuan payung Parpol menurut sejarah lahir
dan berkembangnya sampai hari ini masih ada di dalam back-mind
(pikiran-tersirat) dan hidup di kalangan tertentu. Terutama pada kalangan
ideolog muslim senior. Di Amerika, dua partai utama Republik dan Demokrat,
masih layak menjadi cermin. Betapa negara terbesar berpenduduk terbesar ketiga
setelah Tiongkok dan India itu cukup dengan dua partai dominan itu.
Bayangkan dengan Indonesia dengan populasi ke-3 terbesar di dunia
setelah Amerika, mempunyai 12 Partai mendapat kursi dan beberapa kekuatan
mayoritas Parlemen. Jumlah Partai itu terasa kurang menguntungkan kepada laju
pertumbuhan dan perkembangan kesejahteran rakyat dan kemajuan bangsa.
Rendahnya kinerja bebeberapa bahkan sementara pengamat mengatakan
sebagian besar anggota Kabinet Jokowi-JK, langsung atau tidak karena terlalu
banyaknya partai. Dalilnya, sebagian karena kepentingan Partai tidak dapat
ditolak oleh Jokowi-JK, sehingga merit sistem dan cabinet kerja yang bertumpu
semata-mata kompetensi, tidak banyak bisa diaplikasikan. Oleh karena tidak
semua pakar partai yang layak masuk ke Kabinet. Atau bahasa vulgar-nya, orang
Partai yang duduk di Kabinet tak “pas”.
Belajar dari Orde Baru yang banyak kegagalannya dan dianggap
ademokratis, namun di dalam penataan Partai Politik, Pengkaderan Partai serta
etika dan budaya politik, agaknya masih layak mendapat apresiasi. Terutama
dengan penyederhanaan partai (fusi) dari 10 menjadi 3 kekuatan:
Nasionalis-Sekuler (PDI); Agamis-Nasionalis (PPP); dan Kekaryaan-Fungsional
(Golkar).
Zaman reformasi, pada struktur politik, secara gradual terjadi penurunan
dari lebih 40 Parpol pada awalnya (1998-2004) kini tinggal 12 Parpol. Dan
sebetulnya, tanpa disadari dengan tidak mempedomani Platform Partai secara
murni, mereka sudah mengerucut di Parlemen menjadi 2 kekuatan: Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisasi Merah Putih (KMP).
Pengerucutan itu kelihatannya murni karena kekuasaan, suka dan tidak suka.
Bercampurlah di situ antara partai yang platformnya Pancasila murni, Pancasila
plus, antara sekuler dan agamis atau bahasa moderatnya antara partai
nasionalis-agama dan agama-masionalis.
Beberapa waktu lalu bahkan secara di bawah sadar, sampai sekarang masih
terasa ada perpecahan pada beberapa partai. Apakah itu karena perbedaan platform-partai?
Secara kasat mata, jawabannya, tidak. Kelihatannya hanya soal kekuasaan semata.
Di dalam memillih koalisasi juga tidak karena platform. Kalau platform
Pancasila-plus agama, tentunya PPP harus satu kapal dengan PKB, PAN, PKS dan
PBB. Atau sebaliknya Partai platform Pancasila-plus sekuler, mestinya PDIP,
Golkar, Demokrat, Hanura, Nasdem , Grindra dan PKPI dalam satu kapal lainnya.
VII. Peranan Parpol Islam.
Di tengah keadaan itu apa yang bisa diharapkan dari Parpol Islam untuk mendidik rakyat dalam berpolitik. Khusus untuk tidak terjebak ke dalam gerakan radikalisme dan Islam transnasional. Mari kita lihat Platform ideologis beberapa Parpol Islam, di antaranya PPP dan PKS. Yang satu dianggap sebagai Parpol Islam hasil fusi berbagai partai Islam yang dideklaraasikan 5 Januari 1973, [25] gabungan aspirasi modernis dan tradisional serta moderat dan yang kedua murni produk reformasi yang keras-ideologis.
Di tengah keadaan itu apa yang bisa diharapkan dari Parpol Islam untuk mendidik rakyat dalam berpolitik. Khusus untuk tidak terjebak ke dalam gerakan radikalisme dan Islam transnasional. Mari kita lihat Platform ideologis beberapa Parpol Islam, di antaranya PPP dan PKS. Yang satu dianggap sebagai Parpol Islam hasil fusi berbagai partai Islam yang dideklaraasikan 5 Januari 1973, [25] gabungan aspirasi modernis dan tradisional serta moderat dan yang kedua murni produk reformasi yang keras-ideologis.
Yang satu kumpulan sub-kultur Islam modern dan tradisional. Sementara
yang kedua muncul dari gerakan usrah tarbiyah jamaah (pendidikan berkelompok), halaqah-liqa’, pengajian rohani (rohis) aktivis kampus, dan mereka yang
datang dari anak-ank muda alumni pendidikan tinggi Timur Tengah dan dari Barat
yang progrresif. Partai yang mulanya bernama Partai Keadilan (20 Juli 1998)
kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera[26] partai segar anak muda yang terinspirasi oleh gerakan transnasional
seperti Ikhwanul Muslimin.[27] Beberapa keterangan belakangan dari Anis Mata, Ketua Umum atau Presiden
PKS sekarang membantah bahwa PKS terkait Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Islam
transnasional. [28]
Kembali ke PPP, partai ini boleh dikatakan Partai Islam garis tengah dan
moderat. Sebagai yang termaktub di dalam Khittah Perjuangannya di dalam
menjalankan ideologi politik, dilakukan secara moderat dengan prinsip ukhuwah,
ta’awun dan tasamuah :
“PPP menyadari
bahwa kemajemukan dan keragaman umat Islam dalam pikiran dan paham keagamaan
merupakan rahmat bagi umat yang harus diterima sebagai pelangi dinamika untuk
mencapai kebenaran hakiki. Sebab sikap menghormati berbagai perbedaan pikiran
dan pandangan merupakan wasilah bagi terbentuknya kehidupan kolektif yang
dilandasi semangat persaudaraan (ukhuwah), tolong menolong (ta’awun), dan (tasamuh).”
Islam sebagai
ideologi dimaksudkan bahwa seluruh pemikiran, sikap dan kebijakan Partai dan kader-kadernya
harus bersumber dari ajaran Islam. Ideologi adalah sekumpulan nilai yang
dihubungkan secara sistemik yang menjadi dasar sebuah tindakan. Ideologi adalah
penuntun, pedoman dan arah untuk mencapai tujuan politik. Untuk itu perlu terus
dilakukan penanaman dan internalisasi nilai-nilai ideologi kepada semua kader
dan komponen partai yang hakikatnya merupakan aparat ideologi partai
(ideological party aparatus) untuk mencapai tujuan dan cita-cita kehidupan
masyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai dengan visi dan misi PPP. “ [29]
Bila kita sigi PKS, maka dalam bahasa yang lain ada tujuan dan maksud
ideal yang dimiliki. Hal itu tersurat di dalam visi dan misinya. Visi Indonesia
yang dicita-citakan PKS adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil,
sejahtera, dan bermartabat.
“Masyarakat Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju
yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh
keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan
bergotong-royong menjaga kedaulatan Negara. Pengertian genuin dari masyarakat
madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini
yang merealisasikan Ukhuwwah Islamiyyah (ikatan keislaman), Ukhuwwah
Wathaniyyah (ikatan kebangsaan) dan Ukhuwwah Basyariyyah (ikatan kemanusiaan),
dalam bingkai NKRI. [30]
Tentu saja beberapa partai politik Islam seperti PKB dan PBB tidak akan
jauh berberbeda dengan Platform PPP tadi. Namun di dalam kenyataannya,
perjalanan partai ini tidak semulus apa yang dibayangkan, meski semua merujuk
kepada nash yang sama, seperti yang sering dikutip Quran, al-Hujurat, 49:10.
“ Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.”
Dari platform partai-partai Islam tadi, kelihatan bahwa paling tidak di
dalam rangka dinamika politik nasional Islam dan kebangsaan dalam bingkai
ukhuwah Islamiyah, harus dilakukan upaya strategis dan konkret secara internal
sesama pendukung, anggota, kader dan pemimpin masing-masing. Lalu secara
simultan terhadap umat Islam dan bangsa secara keseluruhan. Parpol diharapkan
menjakankan agenda aksi yang lebih signifikan pula.
Secara internal, seyogyanya Parpol menjalankan program berpedoman
sepenuhnya kepada platform. Terlebih dulu apa yang menjadi sejarah, visi dan
misi, ideologi, pengkaderan dan pembinaan anggota serta artikulasi alokasi dan
distribusi politik serta fungsi dan peranannya sebagai infra dan supra struktur
politik nasional, mesti ditanamkan kepada warga partai masing-masing.
Upaya gesekan internal untuk menghindari dualisme kepemimpinan, apalagi
organisasi partai yang terbelah seperti yang terjadi pada waktu yang lalu yang
masih terasa akhir-akhir ini pada beberapa partai, kiranya diantisipasi jauh
hari. Kalau tidak, maka sejarah partai ke depan akan lesu dan itu merugikan
ummat dan bangsa secara keseluruhan.
Selanjutnya, Parpol Islam kiranya melakukan antisipasi terhadap
kemungkinan berkembangnya radikalisme ideologis, apalagi gerakan ekstrim yang
akan menimbukan gesekan dan titik api. Upaya menyusupnya kekuatan ekstrim yang
dibawa oleh Islam transnasional ke dalam Parpol yang pada gilirannya merembes
ke tengah masyarakat, umat dan bangsa harus diwaspadai dan harus kreatif
melakukan upaya antsipatif .
Bersamaan dengan itu semua, bingkai ukhuwah dan silaturrahim sekaligus
pendidikan politik umat dan bangsa, kiranya menjadi kepedulian yang prima bagi
Parpol, terutama Parpol Islam. Wa Allah a’lam bi al-shawab. ***
__________________________________________
[1] Disampaikan pada Orasi Ilmiah Diesnatalis UIN-IAIN IB Padang, 12
Desember 2017.
[2] Shofwan Karim, lihat, http://www.shofwankarim.com/berita-riwayat-hidup-singkat--h-shofwan-karim-elha-ba-drs-ma-dr.html
http://www.wikiwand.com/id/Shofwan_Karim_Elha
[3]
http://www.jpost.com/Middle-East/BREAKING-More-that-50-dead-in-Sinai-Bombing-shooting-attack-515122.
Akses, 5.12.2017.
[4] Tokoh utama dan pendiri
al-Qaedah adalah Usamah bin Muhammad bin Awwad bin Ladin . Sering dipanggil
Usamah bin Ladin (atau Osama bin Laden dalam ejaan Inggris) alias Tim Osman,
(lahir di Jeddah, Arab Saudi, 10 Maret 1957 – meninggal di Abbottãbad,
Pakistan, 2 Mei 2011 pada umur 54 tahun).
[4] Eric Schmitt; Thom Shanker (26 July 2005). “U.S. Officials Retool
Slogan for Terror War”. New York Times. Retrieved 8 January 2015.
[5] “Bin Laden claims responsibility for 9/11″. CBC News. 29 October 2004. Pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden muncul
dalam pesan yang ditayangkan di stasiun televisi Arab selang beberapa saat
setelah itu. Osama, pertama kalinya mengklaim tanggung jawab langsung atas
serangan 2001 terhadap Amerika Serikat.
[6] Sebutan lain ISIL (Islamic State of Iraq and Levant) untuk menyebut
wilayah di samping Syria juga kawasan sekitarnya.
[7] Semantik dari Bahasa Yunani, semantikos. Memberikan tanda sesuatu yang
penting. Sema artinya tanda. Semantik merupakan sub-linguistik yang mempelajari
makna atau yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis pemaparan
lainnya. Lihat, Neurath, Otto; Carnap, Rudolf; Morris, Charles F. W. (Editors)
(1955). International Encyclopedia of Unified Science. Chicago, IL: University
of Chicago Press.
[8] http://www.referensimakalah.com/2012/01/pengertian-fundamentalisme-radikalisme_8767.html. Akses, 5 Mei 2015
[9] Rifyal Ka’bah, Islam dan Fundamentalisme, Jakarta: PT. Pustaka
Panjimas, 1984. Hal. 1-7.
[10] Shofwan Karim, “Fundamentalisme Barat Bukan Islam”, http://icmisumbar2007.blogspot.com/2008/07/fundamentalisme.html
[11] Shofwan Karim, “Bukan Charlie Hebdo, Nama Saya Ahmad”, http://www.harianhaluan.com/index.php/refleksi/37135-bukan-charlie-hebdo-saya-ahmad. Akses, 16.05.2015
[12] Kaum ortodox adalah kaum yang berpikir murni. Ortodoxi adalah sistem
berfikir yang selalu memegang teguh prinsip murni doktrin agama, filsafat dan
ideologi. http://dictionary.reference.com/browse/ORTHODOX
[13] Harun Nasution mengutip pendapat Muhammad Ibnu Abdul Wahab: (1) yang
boleh disembah hanyalah Tuhan, dan orang yang menyembah selain Tuhan telah
menjadi musyrik dan boleh dibunuh; (2) kebanyakan orang Islam bukan lagi
penganut faham tauhid yang sebenarnya karena mereka meminta pertolongan bukan
lagi kepada Tuhan, tetapi dari syekh atau wali dan dari kekuatan gaib. Orang
Islam yang demikian juga telah menjadi musyrik; (3) menyebut nama Nabi, syekh
atau malaikat sebagai pengantara do’a juga merupakan syirik; (4) meminta
syafaat selain dari kepada Tuhan adalah juga syirik; (5)bernazar kepada selain
Tuhan juga syirik; (6) memperoleh pengetahuan selain dari al-Quran, hadist dan
qias (analogi) merupakan kekufuran; (7) tidak percaya kepada kada dan kadar
Tuhan juga merupakan kekufuran; (8) menafsirkan al-Quran dengan ta’wil
(interpretasi bebas) adalah kufur. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta:Bulan Bintang, 1975, hal.
24-25.
[14] Haykel, Bernard (2009). “Chapter 1: On the Nature of Salafi Thought
and Action”. In Meijer, Roel. Global Salafism: Islam’s New Religious
Movement. Columbia University Press. p. 34. ISBN 978-0-231-15420-8.
[16] Jihad: The Trail of Political Islam, London, I.B. Tauris, 2004. Lihat
Hal, 222-224
[18] http://en.wikipedia.org/wiki/Salafi_jihadism, “Suicide Bombers in Iraq By Mohammed M. Hafez”. Retrieved 24 October
2014. Akses, 16.05.2015.
[20] Eksis dan bergerak di 45 Negara di dunia, Eropa, Afrika, Asia,
Australia dan
Amerika. Lihat, Mohamed Nawab Mohamed Osman
https://www.academia.edu/401256/Transnational_Network_of_Hizbut_Tahrir_Indonesia. Akses, 16.05.2015.
[21] Oleh sebagian besar ulama Indonesia, Syiah sudah melenceng dari Islam.
Bahkan ada yang memfatwakan, bukan Islam. Lihat, https://remajaislamantisyiah.wordpress.com/2014/12/11/fatwa-ulama-indonesia-tentang-syiah-sejak-dulu-hingga-sekarang/. Akses, 26.05.2015
[22] Ahmadiyah di luar Islam. Lihat, https://moslemsunnah.wordpress.com/2009/06/12/fatwa-mui-tentang-kesesatan-ahmadiyah/. Akses, 16.05.2015. Akan tetapi di dunia internasional, selalu saja
dinisbatkan bahwa Ahmadiyah dan Syiah adalah Islam.
[23] Meskipun ketika Gus Dur turun dari Kursi Peresiden pada 2003 terjadi
malapetaka hebat antara massa jamaah 2 organisasi besar ini di Jawa Timur.
Waktu itu Akbar Tanjung, Megawati dan Amin Rais, yang terakhir ini dianggap
tokoh ikon Muhammadiyah dibalik turunnya Gus Dus, ikon Nahdhatul Ulama. Presiden
Gus Dur dijatuhkan melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001. Lihat, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/117600kisah_kejatuhan_gus_dur_dari_kursi_presiden. Akses, 16.05.2015
[24] Azyumardi Azra, “Akar Radikalisme Keagamaan: Peran Aparat Negara,
Pemimpin Agama dan Guru untuk Kerukunan Umat Beragama”, Workshop Memperkuat
Toleransi melalui Institusi Sekolah Bogor, 14 – 15 Mei 2011.
[25] PPP merupakan hasil fusi politik Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai
Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan
Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
[26] http://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas. Akses, 17.05.2015. Menjadi PKS setelah PK tidak mencapai Electoral
threshold untuk menghadapi Pemilu 2004, maka 2 Juli 2003 PKS menyelesaikan
administrasinya, sehingga PK menjadi PKS dengan teransfer semua asset,
kepengurusan dan keanggotaan sebelumnya.
[27] Abdulhttp://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas Rahman Wahid, Ed. Ilusi
negara Islam : ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia.
Jakarta : The Wahid Institute, 2009. Hal. 248.
[28] Abdul Aziz, “PKS bantah beraliran Wahabi”. Antara, 4 Juni 2013
-->
Komentar
Posting Komentar