Prof Fazlur Rahman: Sumber Intelektualitas Muslim Abad 20
Ini ada sedikit bahan tentang FZ:
Melihat Fazlur Rahman Lebih Dekat
Sesaat setelah mangkat, universitas di mana ia mengajar, konon harus menyiapkan empat professor dengan empat keahlian yang berbeda untuk bisa menggantikan dirinya mengajar. Betapa itu menandakan keluasan ilmu yang dimiliki, Chicago University harus mencari empat orang ahli filsafat, tasawuf, teologi, metodologi dan pembaharuan Islam untuk bisa menggantikan satu orang pengajar, yaitu Prof. Fazlur Rahman.
Fazlur Rahman adalah salah satu raksasa pemikir yang dimiliki Islam abad modern, ia dengan sekuat tenaga menyelesaikan persoalan-persoalan rumit yang dialami masyarakat muslim. Laki-laki yang lahir pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan itu menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan. Hal itu bisa dilihat dari karya-karya yang lahir dari beliau, diantaranya seperti Major Themes of Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Islam, Islamic Methodology in History. Saat berkunjung ke Indonesia, Fazlur Rahman pernah berujar bahwa peradaban Islam yang gemilang akan dimulai dari Indonesia. Tanah yang didiami pemeluk Islam terbesar di dunia, tapi dengan tetap mempertahankan kekhasan budayanya.
Amin Rais, Nurcholis Madjid, dan Syafii Maarif adalah generasi pertama mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Chicago, juga generasi pertama yang belajar secara langsung pada Fazlur Rahman. Selain tiga pendekar Chicago itu, begitu Abdur Rahman Wahid menyebutnya, ada beberapa orang Indonesia yang pernah belajar langsung kepada Fazlur Rahman. Namun, saat ini hanya tersisa 4 orang saja yang masih hidup. Diantaranya adalah Prof. Mulyadhi Kartanegara , seoarang profesor Filsafat yang sekarang menjadi dosen di Universiti Brunei Darussalam. Kami berhasil berbincang dengan Mulyadhi tentang Fazlur Rahman dari dekat, tentang pandangan seorang murid pada gurunya, yang mungkin tidak banyak diketahui oleh khalayak umum. “Selain saya (Mulyadhi Kertanegara), ada Prof. Abdul Muis Naharong, Prof. Amien Rais dan Buya Syafii Ma'arif yang masih hidup.” ujar Mulyadhi.
Untuk Pertama Kalinya
Akhir tahun 1986 sekitar bulan September sampai Desember, Mulyadhi mulai belajar secara langsung pada Fazlur Rahman, dalam kelas itu ia tak sendiri, ada 2 orang mahasiswa Indonesia yaitu Abdul Muis Naharong, Qodry Azizy.
Saat mengikuti kuliah Fazlur Rahman, Mulyadhi adalah mahasiswa paska-sarjana di Center for Middle Eastern Studies, the University of Chicago, USA, di mana John E. Woods masih menjabat sebagai direkturnya. Tahun 1986 Mulyadhi bersama dengan Prof. Azyumardi Azra, Prof. Din Syamsuddin, Prof. Qodri Azizy mengikuti program pertukaran sarjana, beasiswa dari Fulbright bekerjasama dengan AMINEF (American-Indonesia Exchange Program) di Jakarta dan IIE (International Institute of Education) di Chicago, Illionis, USA.
“Mata kuliah yang diajarkan berkisar pada filsafat Islam, Islamic Mysticism, teologi, jurisprudence, dan pembaharuan Islam (Islam and Modernity).” jelas Mulyadhi tentang matakuliah yang diajar oleh Fazlur Rahman. Kelas Fazlur Rahman tak pernah banyak, maksimum yang mengikuti kuliah Fazlur Rahman hanya belasan orang. Sehingga perkuliahan seringkali dilaksanakan di ruang kerja Fazlur Rahman ketimbang di kelas. Mulyadhi bahkan masih hafal siapa saja teman kelasnya saat itu “Kelas Fazlur Fazlur Rahman tidak pernah besar (masif), maximum belasan orang dari berbagai Negara. Dari Indonesia ada Abdul Muis Naharong, Qodry Azizy, dan saya sendiri. Dari Korea, ada Mr. Park, Mesir ada Ahmad Fadhil, Malaysia ada Mohmaad Zaini Othman, Hisham, Pakistan ada Iftikhar Zaman, Seeme, Turki ada Abdul Hadi Andali, Kanada ada Ingrid Mattison, dan tentunya dari Amerika sendiri ada Marks, Stuart, Shiela, Any Higins, Anna Gade, Omar Altalib.”
Dalam mengajar, Fazlur Rahman tidak berbeda dengan professor lainnya, Fazlur Rahman cenderung konvensional. Hal itu terlihat alat-alat yang digunakan Fazlur Rahman saat mengajar, alih-alih menggunakan slide, Fazlur Rahman memilih menggunakan papan dan kapur tulis saat menjelaskan sesuatu. Metode yang digunakan Fazlur Rahman juga sama seperti di pesantren, yang disebut dengan bandongan atau reading text, di mana Fazlur Rahman membaca buku-buku pilihan dalam mata kuliah yang diampu dan kemudian ditutup dengan tanya-jawab dengan mahasiswa. Saat mengikuti kelas Fazlur Rahman, Mulyadhi mengkaji beberapa kitab babon seperti: Mafātih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi dalam bidang Tafsir/Filsafat, Futūhat al-Makkiyyah karya Ibn ‘Arabi dalam bidang tasawuf, dan Muwaththa' Imam Malik dalam bidang Hadis/Fiqh. Kitab-kitab yang berbahasa Arab itu kemudian diterjemahkan dan dijelaskan Fazlur Rahman kedalam bahasa Inggris.
Bagi Fazlur Rahman tak ada pertanyaan yang tabu atau pertanyaan yang tak perlu ditanyakan. Kenangan Mulyadhi kemudian melayang pada sesi tanya jawab di kelas yang diampu Fazlur Rahman. Fazlur Rahman bahkan tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kelihatan dangkal dan tak penting dari mahasiswa dengan baik dan sistematis, “Yang menarik adalah, mahasiswa Amerika biasanya paling banyak bertanya walau kadang menanyakan pertanyaan yang menurut kita tidak begitu penting. Sementara dari Asia Tenggara biasanya hanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang penting saja. Tapi apa pun pertanyaannya beliau selalu menjawabnya dengan baik, meskipun sesekali mendapat sanggahan dari mahasiswanya. Tak ada pertanyaan yang tabu bagi beliau.” kenang Mulyadhi
Filsafat dan Rasionalitas
Sebagai seorang intelektual yang harus berkutat dengan naskah dan sumber utama pemikiran, Fazlur Rahman memiliki alat utamanya yaitu bahasa. Fazlur Rahman tidak hanya menguasai bahasa Inggris atau Arab saja, Fazlur Rahman juga fasih menggunakan bahasa Persia, Urdu, Turki, Jerman, Prancis, Yunani. Mulyadhi selalu terkesan dengan kebiasaan Fazlur Rahman saat mengutip istilah-istilah filsafat dengan bahasa Yunani ketika menjelaskan materi Filsafat di kelas. Penguasaan bahasa ini bagi Mulyadhi amatlah penting, bagaimana seorang sarjana bisa mengakses secara langsung sumber primer ilmu pengetahuan yang memiliki otoritas.
Selain pengusaan bahasa, Fazlur Rahman memiliki kemampuan untuk menganalisa pemikiran filsafat, bukan hanya Islam dan Yunani tapi juga Jerman. Mulyadhi mengaku bahwa kekuatan analisa yang dimiliki Fazlur Rahman mempunyai pengaruh dalam sikap dan kerja intelektualnya dalam bidang filsafat. Jejak keterpengaruhan itu bisa dilihat dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Mulyadhi “Penguasaan dan analisa pada filsafat, bukan hanya Islam dan Yunani tetapi juga Jerman dll. sangat memengaruhi sikap dan cara saya mempelajari dan menganalisa filsafat, teologi, dan tasawuf, seperti yang bisa Anda lihat dalam tulisan-tulisan saya.” terang Mulyadhi.
Rasionalitas dan dukungan Fazlur Rahman pada sains dan teknologi modern sangat menonjol, sehingga, ketika Seyyed Hossein Nasr melihat filsafat Mulla Shadra lebih dari sisi mistik atau teosofisnya, Fazlur Rahman melihat dan menyajikannya dari sudut pandang rasionalis, sehingga Mulla Shadra yang disajikannya terlihat lebih sebagai filosof ketimbang seorang teosofis. Tapi, menurut Mulyadhi, justru karena itu tulisan Fazlur Rahman tentang Mulla Shadra dipandang lebih unggul ketimbang tulisan Nasr. Rasionalitas Fazlur Rahman tidak lepas dari latar belakang madzhab Hanafi (yang cenderung rasional) yang dianutnya.
“Tulisan dan analisa filosofisnya sulit untuk ditandingi oleh penulis mana pun.” lanjut Mulyadhi menjelaskan bagaimana pengaruh Fazlur Rahman pada dirinya. Bagi Mulyadhi, Fazlur Rahman terlebih dengan karyanya tentang Ibn Sina, baik tulisan ataupun suntingannya, membuat Mulyadhi terkesan pada Fazlur Rahman. Pemikiran Fazlur Rahman dalam bidang filsafat sangat memukau, meski semua tahu bahwa Fazlur Rahman tidak hanya ahli di bidang filsafat tapi juga dalam bidang teologi, tasawuf dan pembaharuan Islam. “Tulisannya tentang Ibn Sina (terjemahan dan suntingan) sangat mengesakan saya dan saya banyak belajar dari tulisan-tulisan beliau. Adapun pengaruh pada pemikiran saya selain filsafat tidak begitu besar.” terang Mulyadhi.
Fazlur Rahman dan Persoalan Umat
Sebagai seorang intelektual, Fazlur Rahman bukanlah tipe orang yang berada pada menara gading. Ia dengan kapasitas intelektualnya berusaha dengan sekuat tenaga menyelesaikan persoalan-persoalan riil yang dihadapi umat. Kepedulian Fazlur Rahman yang peka terhadap persoalan umat patut ditiru. Ini mengingatkan akan fenomena intelektual yang tak mau turun langsung pada tataran praktis. Fazlur Rahman merupakan sarjana yang seimbang antara teoritis-spekulatif dan praktis-empiris.
Beberapa persoalan yang mendapat perhatian Fazlur Rahman, diantaranya adalah tentang poligami dan riba. Untuk yang pertama, Fazlur Rahman berpendapat bahwa poligami dilarang oleh Islam. Mengapa? Fazlur Rahman berpendapat bahwa ketidakmungkinan seseorang memenuhi syarat berbuat adil pada istri-istrinya. Dan karena kita tidak akan bisa berbuat adil, maka Islam hanya membolehkan satu istri saja. Namun, ada hal yang jarang diketahui oleh khalayak, bahwa Fazlur Rahman memandang persoalan poligami ini sebagai masalah sosial dan harus dibahas dalam konteks sosial. Karena itu, sekalipun Islam melarang poligami, tapi dalam kasus di mana satu daerah kaum lelakinya banyak meninggal karena peperangan, sehingga lelakinya tinggal sedikit, maka, poligami dibolehkan.
Bagi Mulyadhi yang telah belajar secara langsung dengan Fazlur Rahman serta membaca secara serius karya-karya Fazlur Rahman, aspek-aspek kearifan praktis dari Fazlur Rahman-lah yang lebih banyak memengaruhi dirinya dalam kiprah sebagai seorang sarjana ketimbang aspek teoritisnya. “Kesan yang saya dapatkan dari tulisan beliau, maupun didikan langsung beliau. Aspek-aspek kearifan praktis inilah yang lebih banyak memengaruhi saya dalam kiprah saya sebagai seorang sarjana ketimbang aspek teoritisnya.” jelas Mulyadhi.
Tak Semua Orang Tahu
Karena tidak ada ruang khusus untuk menjalankan ibadah salat, Fazlur Rahman meminta pada otoritas universitas untuk menggunakan Bonn Chapel (semacam gereja kecil) sebagai tempat mahasiswa Muslim melakukan ibadah salat, baik harian maupun untuk salat jum'at. Dalam banyak kesempatan Bonn Chapel ini juga menjadi tempat bagi Fazlur Rahman untuk memberikan khutbah pada jamaah salat yang kebanyakan adalah mahasiswa yang tergabung dalam Muslim Student Association (MSA) yang dibinanya bersama Omar Altalib dan Ingrid Mattison dari Kanada.
Prof. Robert Bianchi dan Prof. John E. Woods sejawat Fazlur Rahman dalam mengajar juga pernah diajak untuk melakukan salat Jum’at di Bonn Chapel. Mulyadhi pernah menjadi saksi di mana Bianchi menjadi makmum Fazlur Rahman saat salat, pasalnya saat salat jamaah itu, Mulyadhi bertindak sebagai muadzin.
Dalam khutbah-khutbah Jum’at yang diberikan oleh Fazlur Rahman itu, tak jarang berisi kritikan pada pemikir atau intelektual yang berseberangan dengannya. Di antara intelektual yang dikritik Fazlur Rahman adalah Abu al-A'la Maududi dan Yusuf Ali, seorang penerjemah al-Qur’an yang masyhur, juga pernah dikritik keras oleh Fazlur Rahman. Ia mempertanyakan kemampuan bahasa Arab Yusuf Ali, tetapi pada satu sisi Fazlur Rahman juga memuji kemampuan bahasa Inggris Yusuf Ali, dalam tuturan Fazlur Rahman disebut dengan mengalir deras di seluruh nadi. Fazlur Rahman kemudian merekomendasikan terjemahan Marmaduke Pickhall sebagai terjemahan atau tafsir yang bagus dan lebih akurat.
Mengantar Fazlur Rahman Ke Rumah Peristirahatan Terakhir
Pertengahan tahun 1988 mahasiswa Indonesia di Chicago mendapat kunjungan dari pakar pendidikan Indonesia, Prof. Mukhtar Buchori. Saat itu, Mulyadhi diminta untuk menemani Mukhtar Buchori berkunjung ke kediaman Fazlur Rahman. Kunjungan yang berlangsung di hari Jum’at itu terdapat sebuah percakapan antara Fazlur Rahman dan Mukhtar Buchori tentang Mulyadhi. Fazlur Rahman, waktu itu menitipkan Mulyadhi pada Mukhtar Buchori “Pak Buchori, saya titip Mulyadhi kepada bapak, dia mahasiswa yang cukup berbakat dalam bidang filsafat Islam.” tiru Mulyadhi
Sebelum percakapan itu berlangsung, Fazlur Rahman meminta dido’akan supaya operasi yang akan dijalaninya pada hari Rabu pekan depan berjalan lancar. Dalam tubuh Fazlur Rahman terdapat penyumbatan pembuluh darah dan harus segera dioperasi. Namun, pasca operasi itu Fazlur Rahman mengalami koma sekitar satu setengah bulan lamanya. Fazlur Rahman kemudian menghembuskan nafas terakhir tepat pada tangga 26 Juli 1988.
Jasad Fazlur Rahman kemudian dikebumikan di Pemakaman Arlington Height Cemetary, Chicago. Mulyadhi berada di sana saat itu dan menjadi satu-satunya mahasiswa Indonesia yang menghadiri dan menyaksikan prosesi pemakaman Fazlur Rahman. Yang membuat hati Mulyadhi sedih dan tak tahan meneteskan air mata saat menghadiri pemakaman Fazlur Rahman adalah ketika melihat prosesi jasad Fazlur Rahman di kebumikan “Jasad beliau dimasukkan ke dalam peti (setelah dihadapkan ke kiblat) kemudian para kerabat memasukkan sekepal tanah ke lubang kubur, dan sisanya dilakukan oleh buldoser yang mengurugnya dengan tanah untuk menutupi lubang kuburnya. Dalam hati, saya merasa sedih karena dikuburkan dengan cara seperti ini. Terbayang kalau di Indonesia proses penguburan akan dilakukan oleh kerabat dengan hati-hati dan lebih terhormat diiringi dengan tahlil dan salawat.” jelas Mulyadhi.
Sekarang setelah 28 tahun sepeninggal Fazlur Rahman, karya-karyanya masih terus diterbitkan dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, masih terus dibaca dan dikaji oleh para akademisi dan masyarakat luas, teori double movement-nya menjadi salah salah satu materi yang ‘wajib’ dipelajari untuk mata kuliah hermeneutika. Pada akhir Januari 2017 ini, penerbit Mizan akan menerbitkan karya Fazlur Rahman yang berjudul Islam dalam bahasa Indonesia. Sebuah karya yang telah dibaca oleh banyak para akademisi dan intelektual Islam pada masa modern ini. (Nur Hayati Aida )
Post Scriptum: Tulisan diolah dari wawancara tertulis dengan Prof. Mulyadhi Kartanegara
Melihat Fazlur Rahman Lebih Dekat
Sesaat setelah mangkat, universitas di mana ia mengajar, konon harus menyiapkan empat professor dengan empat keahlian yang berbeda untuk bisa menggantikan dirinya mengajar. Betapa itu menandakan keluasan ilmu yang dimiliki, Chicago University harus mencari empat orang ahli filsafat, tasawuf, teologi, metodologi dan pembaharuan Islam untuk bisa menggantikan satu orang pengajar, yaitu Prof. Fazlur Rahman.
Fazlur Rahman adalah salah satu raksasa pemikir yang dimiliki Islam abad modern, ia dengan sekuat tenaga menyelesaikan persoalan-persoalan rumit yang dialami masyarakat muslim. Laki-laki yang lahir pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan itu menghabiskan seluruh hidupnya untuk mengabdi pada ilmu pengetahuan. Hal itu bisa dilihat dari karya-karya yang lahir dari beliau, diantaranya seperti Major Themes of Qur’an, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Islam, Islamic Methodology in History. Saat berkunjung ke Indonesia, Fazlur Rahman pernah berujar bahwa peradaban Islam yang gemilang akan dimulai dari Indonesia. Tanah yang didiami pemeluk Islam terbesar di dunia, tapi dengan tetap mempertahankan kekhasan budayanya.
Amin Rais, Nurcholis Madjid, dan Syafii Maarif adalah generasi pertama mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Chicago, juga generasi pertama yang belajar secara langsung pada Fazlur Rahman. Selain tiga pendekar Chicago itu, begitu Abdur Rahman Wahid menyebutnya, ada beberapa orang Indonesia yang pernah belajar langsung kepada Fazlur Rahman. Namun, saat ini hanya tersisa 4 orang saja yang masih hidup. Diantaranya adalah Prof. Mulyadhi Kartanegara , seoarang profesor Filsafat yang sekarang menjadi dosen di Universiti Brunei Darussalam. Kami berhasil berbincang dengan Mulyadhi tentang Fazlur Rahman dari dekat, tentang pandangan seorang murid pada gurunya, yang mungkin tidak banyak diketahui oleh khalayak umum. “Selain saya (Mulyadhi Kertanegara), ada Prof. Abdul Muis Naharong, Prof. Amien Rais dan Buya Syafii Ma'arif yang masih hidup.” ujar Mulyadhi.
Untuk Pertama Kalinya
Akhir tahun 1986 sekitar bulan September sampai Desember, Mulyadhi mulai belajar secara langsung pada Fazlur Rahman, dalam kelas itu ia tak sendiri, ada 2 orang mahasiswa Indonesia yaitu Abdul Muis Naharong, Qodry Azizy.
Saat mengikuti kuliah Fazlur Rahman, Mulyadhi adalah mahasiswa paska-sarjana di Center for Middle Eastern Studies, the University of Chicago, USA, di mana John E. Woods masih menjabat sebagai direkturnya. Tahun 1986 Mulyadhi bersama dengan Prof. Azyumardi Azra, Prof. Din Syamsuddin, Prof. Qodri Azizy mengikuti program pertukaran sarjana, beasiswa dari Fulbright bekerjasama dengan AMINEF (American-Indonesia Exchange Program) di Jakarta dan IIE (International Institute of Education) di Chicago, Illionis, USA.
“Mata kuliah yang diajarkan berkisar pada filsafat Islam, Islamic Mysticism, teologi, jurisprudence, dan pembaharuan Islam (Islam and Modernity).” jelas Mulyadhi tentang matakuliah yang diajar oleh Fazlur Rahman. Kelas Fazlur Rahman tak pernah banyak, maksimum yang mengikuti kuliah Fazlur Rahman hanya belasan orang. Sehingga perkuliahan seringkali dilaksanakan di ruang kerja Fazlur Rahman ketimbang di kelas. Mulyadhi bahkan masih hafal siapa saja teman kelasnya saat itu “Kelas Fazlur Fazlur Rahman tidak pernah besar (masif), maximum belasan orang dari berbagai Negara. Dari Indonesia ada Abdul Muis Naharong, Qodry Azizy, dan saya sendiri. Dari Korea, ada Mr. Park, Mesir ada Ahmad Fadhil, Malaysia ada Mohmaad Zaini Othman, Hisham, Pakistan ada Iftikhar Zaman, Seeme, Turki ada Abdul Hadi Andali, Kanada ada Ingrid Mattison, dan tentunya dari Amerika sendiri ada Marks, Stuart, Shiela, Any Higins, Anna Gade, Omar Altalib.”
Dalam mengajar, Fazlur Rahman tidak berbeda dengan professor lainnya, Fazlur Rahman cenderung konvensional. Hal itu terlihat alat-alat yang digunakan Fazlur Rahman saat mengajar, alih-alih menggunakan slide, Fazlur Rahman memilih menggunakan papan dan kapur tulis saat menjelaskan sesuatu. Metode yang digunakan Fazlur Rahman juga sama seperti di pesantren, yang disebut dengan bandongan atau reading text, di mana Fazlur Rahman membaca buku-buku pilihan dalam mata kuliah yang diampu dan kemudian ditutup dengan tanya-jawab dengan mahasiswa. Saat mengikuti kelas Fazlur Rahman, Mulyadhi mengkaji beberapa kitab babon seperti: Mafātih al-Ghayb karya Fakhruddin al-Razi dalam bidang Tafsir/Filsafat, Futūhat al-Makkiyyah karya Ibn ‘Arabi dalam bidang tasawuf, dan Muwaththa' Imam Malik dalam bidang Hadis/Fiqh. Kitab-kitab yang berbahasa Arab itu kemudian diterjemahkan dan dijelaskan Fazlur Rahman kedalam bahasa Inggris.
Bagi Fazlur Rahman tak ada pertanyaan yang tabu atau pertanyaan yang tak perlu ditanyakan. Kenangan Mulyadhi kemudian melayang pada sesi tanya jawab di kelas yang diampu Fazlur Rahman. Fazlur Rahman bahkan tetap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kelihatan dangkal dan tak penting dari mahasiswa dengan baik dan sistematis, “Yang menarik adalah, mahasiswa Amerika biasanya paling banyak bertanya walau kadang menanyakan pertanyaan yang menurut kita tidak begitu penting. Sementara dari Asia Tenggara biasanya hanya menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang penting saja. Tapi apa pun pertanyaannya beliau selalu menjawabnya dengan baik, meskipun sesekali mendapat sanggahan dari mahasiswanya. Tak ada pertanyaan yang tabu bagi beliau.” kenang Mulyadhi
Filsafat dan Rasionalitas
Sebagai seorang intelektual yang harus berkutat dengan naskah dan sumber utama pemikiran, Fazlur Rahman memiliki alat utamanya yaitu bahasa. Fazlur Rahman tidak hanya menguasai bahasa Inggris atau Arab saja, Fazlur Rahman juga fasih menggunakan bahasa Persia, Urdu, Turki, Jerman, Prancis, Yunani. Mulyadhi selalu terkesan dengan kebiasaan Fazlur Rahman saat mengutip istilah-istilah filsafat dengan bahasa Yunani ketika menjelaskan materi Filsafat di kelas. Penguasaan bahasa ini bagi Mulyadhi amatlah penting, bagaimana seorang sarjana bisa mengakses secara langsung sumber primer ilmu pengetahuan yang memiliki otoritas.
Selain pengusaan bahasa, Fazlur Rahman memiliki kemampuan untuk menganalisa pemikiran filsafat, bukan hanya Islam dan Yunani tapi juga Jerman. Mulyadhi mengaku bahwa kekuatan analisa yang dimiliki Fazlur Rahman mempunyai pengaruh dalam sikap dan kerja intelektualnya dalam bidang filsafat. Jejak keterpengaruhan itu bisa dilihat dalam karya-karya yang dihasilkan oleh Mulyadhi “Penguasaan dan analisa pada filsafat, bukan hanya Islam dan Yunani tetapi juga Jerman dll. sangat memengaruhi sikap dan cara saya mempelajari dan menganalisa filsafat, teologi, dan tasawuf, seperti yang bisa Anda lihat dalam tulisan-tulisan saya.” terang Mulyadhi.
Rasionalitas dan dukungan Fazlur Rahman pada sains dan teknologi modern sangat menonjol, sehingga, ketika Seyyed Hossein Nasr melihat filsafat Mulla Shadra lebih dari sisi mistik atau teosofisnya, Fazlur Rahman melihat dan menyajikannya dari sudut pandang rasionalis, sehingga Mulla Shadra yang disajikannya terlihat lebih sebagai filosof ketimbang seorang teosofis. Tapi, menurut Mulyadhi, justru karena itu tulisan Fazlur Rahman tentang Mulla Shadra dipandang lebih unggul ketimbang tulisan Nasr. Rasionalitas Fazlur Rahman tidak lepas dari latar belakang madzhab Hanafi (yang cenderung rasional) yang dianutnya.
“Tulisan dan analisa filosofisnya sulit untuk ditandingi oleh penulis mana pun.” lanjut Mulyadhi menjelaskan bagaimana pengaruh Fazlur Rahman pada dirinya. Bagi Mulyadhi, Fazlur Rahman terlebih dengan karyanya tentang Ibn Sina, baik tulisan ataupun suntingannya, membuat Mulyadhi terkesan pada Fazlur Rahman. Pemikiran Fazlur Rahman dalam bidang filsafat sangat memukau, meski semua tahu bahwa Fazlur Rahman tidak hanya ahli di bidang filsafat tapi juga dalam bidang teologi, tasawuf dan pembaharuan Islam. “Tulisannya tentang Ibn Sina (terjemahan dan suntingan) sangat mengesakan saya dan saya banyak belajar dari tulisan-tulisan beliau. Adapun pengaruh pada pemikiran saya selain filsafat tidak begitu besar.” terang Mulyadhi.
Fazlur Rahman dan Persoalan Umat
Sebagai seorang intelektual, Fazlur Rahman bukanlah tipe orang yang berada pada menara gading. Ia dengan kapasitas intelektualnya berusaha dengan sekuat tenaga menyelesaikan persoalan-persoalan riil yang dihadapi umat. Kepedulian Fazlur Rahman yang peka terhadap persoalan umat patut ditiru. Ini mengingatkan akan fenomena intelektual yang tak mau turun langsung pada tataran praktis. Fazlur Rahman merupakan sarjana yang seimbang antara teoritis-spekulatif dan praktis-empiris.
Beberapa persoalan yang mendapat perhatian Fazlur Rahman, diantaranya adalah tentang poligami dan riba. Untuk yang pertama, Fazlur Rahman berpendapat bahwa poligami dilarang oleh Islam. Mengapa? Fazlur Rahman berpendapat bahwa ketidakmungkinan seseorang memenuhi syarat berbuat adil pada istri-istrinya. Dan karena kita tidak akan bisa berbuat adil, maka Islam hanya membolehkan satu istri saja. Namun, ada hal yang jarang diketahui oleh khalayak, bahwa Fazlur Rahman memandang persoalan poligami ini sebagai masalah sosial dan harus dibahas dalam konteks sosial. Karena itu, sekalipun Islam melarang poligami, tapi dalam kasus di mana satu daerah kaum lelakinya banyak meninggal karena peperangan, sehingga lelakinya tinggal sedikit, maka, poligami dibolehkan.
Bagi Mulyadhi yang telah belajar secara langsung dengan Fazlur Rahman serta membaca secara serius karya-karya Fazlur Rahman, aspek-aspek kearifan praktis dari Fazlur Rahman-lah yang lebih banyak memengaruhi dirinya dalam kiprah sebagai seorang sarjana ketimbang aspek teoritisnya. “Kesan yang saya dapatkan dari tulisan beliau, maupun didikan langsung beliau. Aspek-aspek kearifan praktis inilah yang lebih banyak memengaruhi saya dalam kiprah saya sebagai seorang sarjana ketimbang aspek teoritisnya.” jelas Mulyadhi.
Tak Semua Orang Tahu
Karena tidak ada ruang khusus untuk menjalankan ibadah salat, Fazlur Rahman meminta pada otoritas universitas untuk menggunakan Bonn Chapel (semacam gereja kecil) sebagai tempat mahasiswa Muslim melakukan ibadah salat, baik harian maupun untuk salat jum'at. Dalam banyak kesempatan Bonn Chapel ini juga menjadi tempat bagi Fazlur Rahman untuk memberikan khutbah pada jamaah salat yang kebanyakan adalah mahasiswa yang tergabung dalam Muslim Student Association (MSA) yang dibinanya bersama Omar Altalib dan Ingrid Mattison dari Kanada.
Prof. Robert Bianchi dan Prof. John E. Woods sejawat Fazlur Rahman dalam mengajar juga pernah diajak untuk melakukan salat Jum’at di Bonn Chapel. Mulyadhi pernah menjadi saksi di mana Bianchi menjadi makmum Fazlur Rahman saat salat, pasalnya saat salat jamaah itu, Mulyadhi bertindak sebagai muadzin.
Dalam khutbah-khutbah Jum’at yang diberikan oleh Fazlur Rahman itu, tak jarang berisi kritikan pada pemikir atau intelektual yang berseberangan dengannya. Di antara intelektual yang dikritik Fazlur Rahman adalah Abu al-A'la Maududi dan Yusuf Ali, seorang penerjemah al-Qur’an yang masyhur, juga pernah dikritik keras oleh Fazlur Rahman. Ia mempertanyakan kemampuan bahasa Arab Yusuf Ali, tetapi pada satu sisi Fazlur Rahman juga memuji kemampuan bahasa Inggris Yusuf Ali, dalam tuturan Fazlur Rahman disebut dengan mengalir deras di seluruh nadi. Fazlur Rahman kemudian merekomendasikan terjemahan Marmaduke Pickhall sebagai terjemahan atau tafsir yang bagus dan lebih akurat.
Mengantar Fazlur Rahman Ke Rumah Peristirahatan Terakhir
Pertengahan tahun 1988 mahasiswa Indonesia di Chicago mendapat kunjungan dari pakar pendidikan Indonesia, Prof. Mukhtar Buchori. Saat itu, Mulyadhi diminta untuk menemani Mukhtar Buchori berkunjung ke kediaman Fazlur Rahman. Kunjungan yang berlangsung di hari Jum’at itu terdapat sebuah percakapan antara Fazlur Rahman dan Mukhtar Buchori tentang Mulyadhi. Fazlur Rahman, waktu itu menitipkan Mulyadhi pada Mukhtar Buchori “Pak Buchori, saya titip Mulyadhi kepada bapak, dia mahasiswa yang cukup berbakat dalam bidang filsafat Islam.” tiru Mulyadhi
Sebelum percakapan itu berlangsung, Fazlur Rahman meminta dido’akan supaya operasi yang akan dijalaninya pada hari Rabu pekan depan berjalan lancar. Dalam tubuh Fazlur Rahman terdapat penyumbatan pembuluh darah dan harus segera dioperasi. Namun, pasca operasi itu Fazlur Rahman mengalami koma sekitar satu setengah bulan lamanya. Fazlur Rahman kemudian menghembuskan nafas terakhir tepat pada tangga 26 Juli 1988.
Jasad Fazlur Rahman kemudian dikebumikan di Pemakaman Arlington Height Cemetary, Chicago. Mulyadhi berada di sana saat itu dan menjadi satu-satunya mahasiswa Indonesia yang menghadiri dan menyaksikan prosesi pemakaman Fazlur Rahman. Yang membuat hati Mulyadhi sedih dan tak tahan meneteskan air mata saat menghadiri pemakaman Fazlur Rahman adalah ketika melihat prosesi jasad Fazlur Rahman di kebumikan “Jasad beliau dimasukkan ke dalam peti (setelah dihadapkan ke kiblat) kemudian para kerabat memasukkan sekepal tanah ke lubang kubur, dan sisanya dilakukan oleh buldoser yang mengurugnya dengan tanah untuk menutupi lubang kuburnya. Dalam hati, saya merasa sedih karena dikuburkan dengan cara seperti ini. Terbayang kalau di Indonesia proses penguburan akan dilakukan oleh kerabat dengan hati-hati dan lebih terhormat diiringi dengan tahlil dan salawat.” jelas Mulyadhi.
Sekarang setelah 28 tahun sepeninggal Fazlur Rahman, karya-karyanya masih terus diterbitkan dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa, masih terus dibaca dan dikaji oleh para akademisi dan masyarakat luas, teori double movement-nya menjadi salah salah satu materi yang ‘wajib’ dipelajari untuk mata kuliah hermeneutika. Pada akhir Januari 2017 ini, penerbit Mizan akan menerbitkan karya Fazlur Rahman yang berjudul Islam dalam bahasa Indonesia. Sebuah karya yang telah dibaca oleh banyak para akademisi dan intelektual Islam pada masa modern ini. (Nur Hayati Aida )
Post Scriptum: Tulisan diolah dari wawancara tertulis dengan Prof. Mulyadhi Kartanegara
sungguh memberi info terbaru bagi kami pak, banyak pengetahuan baru yang didapat dari tulisan ini. salam. rido alumni UIN IB.
BalasHapus