Desi Wulan Sari, Kisruh Wamena Sejarah Sosial Papua

 

Desi Wulan Sari, S.E, MSi: Sebuah Pandangan Naratif Dibalik Kisruh Wamena Dari Sisi Sejarah dan Sosial Papua

-Opini-93 Views

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA – Pasca kerusuhan Wamena menyisakan puing dan kisah tragis di dalamnya. Betapa tidak, duka mendalam masih terus menghinggapi keluarga dan masyarakat yang telah kehilangan kehormatan, harta benda, dan sanak famili. Terkoyaknya rasa aman bagi rakyat yang tinggal di negeri sendiri, sudah sampai pada batas tolerir rasa aman yang tidak mereka dapatkan.

Rasanya sudah banyak media yang memberitakan kematian puluhan korban secara tak manusiawi di Wamena. Puluhan rumah yang dibakar, kendaraan yang hangus tak berbekas, toko beserta fasilitas umum lainnya hancur, bersama pekatnya asap hitam dan teriakan ketakutan masyarakat di sana terlebih korban yang histeris. Reaksi rakyat Indonesia di berbagai media sangat mengutuk dan terpukul atas insiden memilukan tersebut. Bahkan jelas salah satu organisasi yang menyebut dirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM), menyatakan ikut terlibat dalam kekacauan yang sangat tidak manusiawi itu.

Namun mengapa kejadian sehebat ini, tidak menarik perhatian penguasa untuk merespon dan menindaklanjuti masalah krusial yang terjadi? Perlunya tindak lanjut ini merupakan bentuk ketegasan pemimpin, sebagai langkah preventif atas kisruh Wamena. Akankah terjadi disintegrasi bangsa akibat konflik ini?

Berbagai pandangan, analisa dan spekulasi para ahli dan pengamat politik banyak memberikan komentar terkait masalah Wamena, di antaranya:

Dalam statementnya yang dilansir kompas.com, (2/9/2019), Peneliti politik LIPI, Aisah Budi Yudiarti mengatakan bahwa pemerintah harus menuntaskan kasus Wamena dengan baik, seperti investigasi terbuka, objektif dan  tuntas. Serta perlunya penyembuhan trauma pasca kerusuhan pada para korban.

Pengamat politik asal Sumatera Barat, Direktur Excecutive Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, seperti dikutip kedaipena.com, (0/9/2019), menyesalkan sikap pemimpin tertinggi Indonesia yang belum menunjukkan simpatinya terhadap korban meninggal dunia di Wanena. Ia menilai pemimpin saat ini terkesan terlalu sibuk bicara kekuasaan, di tengah nyawa warga negara yang melayang.

Ketum Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Sumatera Barat, Shofwan Karim di laman republika.co.id tertanggal (1/10/2019) mengatakan bahwa korban sembilan orang Sumbar bukanlah konflik rasialisme. Karena ada 33 orang korban lainnya berasal dari suku pendatang, Jawa, Bugis, NTB, dan daerah lain. Pemerintah harus melakukan pengusutan tuntas atas tewasnya puluhan warga pendatang Wamena.

Merasa kurang diperhatikan pemerintah pusat, membuat masyarakat dan pemerintah daerah putus asa menghadapi kondisi kritis ini. Siapa pun yang merasa berada dalam sebuah daerah konflik pasti akan merasa panik dan butuh perlindungan, bahkan bantuan nyata dari aparat negara.

Kerusuhan yang terjadi, sepertinya bukan hanya sekedar masalah rasialisme semata, tetapi ada indikasi permasalahan yang lebih luas dari yang di blow up media terkait penyebab terjadinya insiden Wamena.

Diperlukan pemikiran dan analisa lebih luas dalam melihat satu situasi dan masalah dari sudut pandang yang berbeda, sebagai analisa tambahan atas sebab-sebab yang mungkin memicu terjadinya kericuhan besar di Wamena.

Papua atau Irian Barat dalam sejarahnya adalah wilayah jajahan dari negara Belanda. Selama 3.5 abad Indonesia berada di tangan penguasaan Belanda, termasuk provinsi Irian Barat ini. Di tahun 1945 Indonesia mendapatkan kemerdekan. Namun Irian Barat belum termasuk yang dilepas oleh Belanda kepada bangsa Indonesia. Pada masa itu, negara-negara eropa berhasil dikalahkan oleh Amerika  saat perang dunia kedua (PD II).  Negara eropa berada dalam posisi lemah. Mereka tak lagi memiliki uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan negaranya pasca PD II itu.

Pasca kemenangan yang diraih, Amerika mulai menguatkan hegemoninya terhadap wilayah-wilayah kekuasaan eropa sebelumnya. Indonesia dengan wilayah geografis terbesar yaitu Papua, diketahui memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) luar biasa di dalamnya. Maka semakin kuatlah keinginan Amerika untuk bisa menghegemoni wilayah Papua atas berbagai daya tarik yang tersimpan di wilayah tersebut. Maka agenda pengusiran Belanda oleh Amerik harus segera dilakukan.

Kiranya peta perpolitikan seluruh negara dunia, diwadahi oleh Amerika dalam satu organisasi yaitu PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah organisasi internasional yang didirikan pada tanggal 24 Oktober 1945 untuk mendorong kerjasama internasional. Badan ini merupakan pengganti Liga Bangsa-Bangsa dan didirikan setelah Perang Dunia II untuk mencegah terjadinya konflik serupa.

Maka bergeraklah Tentara Nasional Indonesia dengan operasi TRIKORA untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat pada tahun 1961. Atas dorongan dan dukungan dari Amerika yang menjadi pemimpin dunia, ikut membantu dalam penyatuan Irian Barat ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan menggunakan berbagai diplomasi dan perjanjian-perjanjian dua negara di bawah pengawasan PBB.

Sementara itu, penduduk asli Papua berkeinginan mendirikan negara sendiri dengan bendera bintang kejora sebagai lambang negaranya. Karena mereka merasa berbeda secara fisik, budaya dan latar belakang dari kebanyakan orang Indonesia, mereka menyadari kekayaan alam yang mereka miliki dapat menjadi modal sebuah negara mandiri.

Hingga di tahun 1962, atas alasan politik dunia Amerika justru membatalkan kemerdekaan penduduk Irian Barat yang pernah diagendakannya, dan menyatukan wilayah Papua ke dalam wilayah Indonesia. Rasa kecewa yang dirasakan membuat masyarakat Papua yang tetap menginginkan kemerdekaan atas wilayahnya sendiri, di tahun 1965 membentuk gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) hingga saat ini.

Atas dasar kepentingan SDA (tambang, hutan, laut) inilah, Papua yang berada di wilayah Indonesia tetap berada dalam radar international Amerika. Sejak itu mulai masuklah Amerika mengeksplorasi Papua dengan perusahaan tambang Freeportnya.

Sejalan dengan itu, OPM juga tetap eksis di wilayah Papua. Gerakan-gerakan separatis yang terkadang dilakukan terhadap rakyat Papua, pendatang dan para pekerja Freeport sebagai pertanda dan indikasi keberadaan mereka adalah nyata. Hingga saat ini OPM belum bisa diberantas hingga akarnya. Justru pemerintah pusat dan kekuatan pengamanan tertinggi negara menyatakan bahwa itu hanya peristiwa kriminal yang biasa terjadi karena isu SARA.

Fakta umum hingga hari ini keberadaan Freeport selama puluhan tahun dengan kontrak karyanya belum dinikmati rakyat. Kesejahteraan dan kemakmuran belum sampai di seluruh wilayah Papua. Rakyat belum menikmati manisnya hasil alam tanah mereka. Kondisi timpang berikutnya adalah adanya pendatang yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia. Mereka datang dengan program transmigrasi di masa orde baru. Banyaknya pendatang membuat atmosfir sensitifitas menjadi salah satu faktor krusial bagi mereka.

Faktor sensitifitas tersebut menjadi “bom waktu” yang siap meledak kapan pun saat terjadi gesekan atau provokasi atau bahkan hoax yang tersebar dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Bom yang mampu membangunkan rasa kesukuan dan kemarahan luar biasa bagi masyarakat Papua yang merasa kehormatannya ternodai.

Apakah benar faktor SARA yang menjadi pemicu kisruhnya Wamena? Mengapa ada campur tangan yang melibatkan Organisasi Papua Merdeka? Sayangnya dari kebrutalan peristiwa yang sudah wara-wiri di media sosial dalam dan luar negeri, masih dianggap peristiwa minor oleh pusat. Padahal korban nyawa, kerusakan, kebrutalan yang berlangsung saat itu sudah di luar batas normal rasa kemanusiaan.

Adakah campur tangan dunia international atas peristiwa Wamena ini? Terkait banyaknya kepentingan negara-negara adidaya kapitalis yang berseliweran di dalamnya. Bahkan satu organisasi lokal separatis di Wamena pun tak tersentuh tangan-tangan miiter berprestasi yang kita miliki. Ataukah memang ada ruang gerak yang diberikan kepada organisasi separatis tersebut oleh dunia internasional demi tujuan yang tak akan pernah kita ketahui kebenarannya.

Apa pun alasan di balik kisruhnya Wamena saat ini bukan menjadi alasan untuk terus mengorbankan nyawa rakyat dan menghilangkan sisi kemanusiaan. Rakyat tetaplah rakyat yang butuh perlindungan dari pemimpinnya. Karena hak rakyat dalam mendapatkan rasa aman di negara Republik ini adalah keharusan. Negara harus dapat memenuhi hak ini tanpa terkecuali.

Sejatinya pemimpin adalah seorang yang mampu memegang amanah dalam menjalankan kepemimpinannya. Pemimpin yang memiliki karakteristik kesalihan dan sikap tanggung jawab penuh terhadap rakyatnya. Nilai ketakwaan, keimanan, dan rasa takut jika berbuat zalim pada rakyat merupakan jati dirinya. Hanya pemimpin sejati yang memiliki dedikasi tinggi dalam memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya.

Islam mampu menjadi solusi atas konflik Wamena ini. Karena Islam memandang sebuah daerah konflik adalah satu hal yang penting dan perlu segera diatasi. Keutuhan negara menjadi tanggung jawabnya. Di antara yang harus dilakukan adalah melindungi rakyat dari pertumpahan darah. Tidak ada kata toleransi terhadap separatisme dan menjaga kedaulatan dengan tidak membuka pintu bagi intervensi asing. Wallahu a’lam bishawab.[]

Telah tayang di sini: 

https://www.radarindonesianews.com/2019/10/desi-wulan-sari-s-e-msi-sebuah-pandangan-naratif-dibalik-kisruh-wamena-dari-sisi-sejarah-dan-sosial-papua/




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takziyah Sir Prof Dr H Azyumardi Azra, MA., M Phil., CBE Tokoh Cendekiawan dan Akademisi Muslim Dunia

Shofwan Karim, Pembicara dalam Pertemuan MDNG se Dunia