Darman Moenir Membaca Stanley Harsha: Seperti Bulan dan Matahari
Seperti Bulan dan Matahari
Stanley
Harsha[i]
Indonesia
dalam Catatan Seorang Diplomat Asing
Oleh Darman Moenir
HEBAT. Penilaian seperti ini serta-merta menyelinap di relung hati saya setelah
secara pelan-pelan dan hati-hati membaca buku Seperti Bulan dan Matahari,
Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Asing oleh Stanley Harsha dengan
pengantar Azyumardi Azra (Penerbit Buku Kompas, 2015). Terdiri dari lima bagian
setelah pengantar, pada bagian satu, Kehidupan, Stanley memapar
risalah-risalah Jodoh, Ki Padmosusatro, Solo, Jokowi dan Obama, Keris, Menjaga
Silaturahmi, Kesopanan dan Kebahagiaan, dan Nasi.
Pada bagian dua, New York City
sampai Bali, disajikan Peristiwa 11 September 2001, Menenangkan Kemaharahan
Rakyat, Bom Bali, J.W. Marriott Jakarta, 5 Agustus 2003. Di bagian tiga, Nilai-nilai
dan Keimanan, diurai Berbagai Nilai-nilai yang Sama, Kebebasan Beragama,
Rasisme Kebudayaan, Apakah Kami Charlie Hebdo? dan Wejangan (Nasihat Para
Tetua). Pada bagian empat, Gugur Satu, Tumbuh Seribu, dijelaskan
Pemandangan dari Atas Taman Mini Indonesia Indah, Democrazy! Lapor Ayam Hilang,
Kambing Pun Hilang, Pasukan Siluman,
Perbudakan. Dan pada bagian lima, Dari Sabang sampai Merauke, Stanley Harsha
mengurai soal Serambi Mekkah, Ini Medan Bung, Bundo Kanduang, Papua, Timor
Leste.
Dari satu ke lain bagian ada
pembatas tiga atau satu halaman kertas berwarna hitam dengan halaman hitam
tengah dibubuh judul (masing-masing bagian). Rancangan sampul dan ilustrasi
yang mampu menjelaskan arti tersendiri, dikerjakan Wiko Haripahargio. Gambar
sampul depan, seperti diterakan di halaman iv, sesungguhnya lukisan kaca Loro
Blonyo karya seniman tak dikenal di daerah Yogyakarta. Loro Blonyo adalah
patung atau gambar sepasang pengantin Jawa, yang menurut kepercayaan lama Jawa
merupakan lambang kemakmuran dan kesuburan.
Pada halaman-halaman akhir, dari 271 halaman keseluruhan buku (tidak
termasuk kulit depan dan kulit belakang yang warna-warni), tersua Penutup,
Catatan Akhir (bersifat ilmiah), Indeks (juga ilmiah) dan Tentang Penulis. Ada
37 foto hitam-putih (termasuk statistik, kliping koran dan sehalaman foto
Presiden Soekarno bersama Padmosawego Mangoendipoero, mertua lelaki Stanley
Harsha, dan lebih daripada sepuluh sosok, tetapi tidak ada perempuan (halaman
8), foto Wali Kota Solo, Joko Widodo (sekarang Presiden RI), bersama Stanley Harsha
dan tiga figur (halaman 22), foto pertemuan Henny Mangoendipoero Harsha,
Stanley Harsha dengan sastrawan besar
Pramoedya Ananta Toer (halaman 144), foto Stanley, istri dan anaknya, Annisa Harsha
dengan busana adat Aceh (halaman 190), serta dua foto (halaman 212 dan 213)
Stanley Harsha mengunjungi sebuah Sekolah Dasar yang mendapatkan bantuan dari
USAID setahun setelah gempa dahsyat pada pukul 17.16, 30 September 2009,
berkekuatan 7,9 skala Richter, dan saat mengantar bantuan untuk korban gempa
bumi Sumatera Barat dengan helikopter milik Angkatan Laut AS ke sebuah nagari
(Stanly menulis desa) terpencil.
***
DENGAN judul Satu Orang, Dua Tanah
Air: Lebih dari Sekadar Kenangan Prof. Azyumardi Azra mengantar buku ini
secara mengena dan pas, dengan alinea pertama: Membaca buku Stanley Harsha yang
sangat menarik ini, para pembaca pasti tidak bakal luput merasakan bahwa karya
ini lebih daripada sekadar “cerita” (story)
kehidupan seorang diplomat Amerika Serikat (AS) yang pernah bertugas di
Indonesia selama 12 tahun. Stanley Harsha telah menghabiskan waktu 28 tahun
bolak-balik ke Indonesia.
Pada alinea lain Azyumardi Arza menulis, “Lebih jauh, berkat pergaulannya
yang luas baik sebagai diplomat AS dalam berbagai posisi dan kedudukan di
Konsulat Jenderal dan Kedutaan Besar AS maupun urang sumando (bahasa Minang, berarti menantu Indonesia) Pak
Stanley memiliki informasi dan data sangat luas, dalam dan beragam. Ia bergaul
bukan hanya dengan lingkungan diplomatik di Indonesia, tetapi juga dengan para
wartawan, intelektual, tokoh agama, mahasiswa, aktivis LSM, dan saya kira juga
kalangan masyarakat bawah. Kefasihaannya berbahasa Indonesia membukakan akses
seluas-luasnya bagi dia untuk bicara dengan siapa saja di berbagai tempat di
Indonesia.” (Halaman viii).
Dan, paling impresif, seperti dikatakan Azyumardi, “Salah satu contoh
terbaik adalah tentang bagaimana Pak Stanley dalam menempuh proses
perkawinannya dengan Ibu Henny, Muslimah Jawa. Guna memenuhi tradisi Islam
Jawa, Pak Stanley mengucapkan ‘Dua Kalimah Syahadah’ (Pronouncement of Islamic Faith). Selanjutnya, Pak Stanley dan Ibu
Henny mengikuti tata cara adat Islam Jawa―keduanya berkombinasi dengan damai.”
(Halaman xi).
Dan dalam prakata Stanley Hasha antara lain menuliskan: “Beberapa bagian
dari buku ini, terutama yang berkaitan dengan pekerjaan saya sebagai diplomat
Indonesia, tidak mengucapkan semua isi percakapan yang pernah saya lakukan
dengan banyak orang Indonesia. Banyak hal lain yang saya ketahui juga tidak
dapat diungkapkan semua; karena pada dasarnya pekerjaan saya adalah untuk tidak
menyebarkan apa saja yang diceritakan orang-orang kepada saya dalam pertemuan
empat mata. Bagaimanapun, semua yang saya tulis dalam buku ini didapatkan dari
sumber-sumber umum. Banyak interaksi yang saya lakukan dengan orang-orang tidak
dapat saya jelaskan dalam buku ini. Mereka memberi kepercayaan kepada saya
untuk menyimpan rahasia mereka. Saya berusaha keras untuk tidak mencelakai atau
membuat malu satu orang pun.” (Halaman xiii).
Stanley Harsha menggarisbawahi, Seperti
Bulan dan Matahari adalah buku tentang kepedulian seorang Amerika terhadap
Indonesia, menggunakan nada dan bahasa yang dapat dinikmati oleh masyarakat
Indonesia maupun untuk masyarakat dari luar Indonesia. Namun, ia membuat
pernyataan: “Semua opini dan penjelasan dalam buku ini adalah dari saya
sendiri, dan tidak harus mewakili pandangan resmi Pemerintah Amerika Serikat.”
***
DEMIKIANLAH, saya menilai hebat. Stanley Harsha “masuk”
ke lubuk Indonesia, menemukan Henny Mangoendipoero, cantik, berkarisma dan
menjadi pusat perhatian, di sebuah acara resepsi Kedubes AS di Jakarta. Stanley
sempat panik, tidak tahu bagaimana cara mendapatkan nomor telepon genggam Henny
tetapi kemudian memang menelepon Henny tiga kali sehari, seperti orang minum
obat. Pada akhirnya keluarga Henny menganggap Stanley cocok buat Henny. Pak
Padmosawego Mangoendipoero, sering dipanggil Pak Ego atau Pak Goong, mengajak
Stanley berdiskusi tentang sejarah, peradaban dan agama. Dan Pak Ego adalah contoh dari etos Jawa,
warisan dari Kerajaan Majapahit yang disebut laku utama (noble behavior), tanpa pamrih, tidak pernah menjelekkan orang lain,
tidak pernah sekali pun bersuara keras atau bertengkar dengan ibunda mereka.
Pak Ego adalah seseorang yang memimpin dengan memberi contoh.
Setelah
bertunangan, Maret 1987, Stanley, Henny dan adik lelakinya berkunjung ke
rumah leluhur mereka Mangoendipoero di Solo. Ki Padmosusatro (1841-1926), kakek
buyut Henny, adalah pelopor kesusastraan, tata bahasa, dan filsafat Jawa
modern. Ki Padmo pula yang menginspirasi Henny untuk belajar sastra Jawa di
Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Dengan cara bertutur yang lancar, sangat lancar,
Stanley menyampaikan penemuan, pengalaman, dan pandangannya dengan kultur Jawa,
Indonesia, dan Amerika secara detil dan mengesankan. “Tentu saja, di Amerika
kami tidak menganggap ari-ari itu suci, tetapi kami juga mempunyai kepercayaan
gaib dan spiritual tentang anak-anak. Ibu saya biasa membacakan puisi dan
filsafat sejak saya ada di kandungannya. Ia berkeyakinan, di bawah sadar saya
dapat mendengar dan menangkap kearifan tersebut. Walaupun ia seorang Nasrani,
Ibu juga yakin bahwa saya adalah reinkarnasi dari seorang anak laki-laki
Prancis.” (Halaman 45).
Menurut Stanley Harsha, menghadiri perayaan ulang
tahun dan pesta pernikahan anggota keluarga yang tidak saya kenal dapat
melelahkan, tetapi Ramadhan dan Idul Fitri untuk saya seperti masa liburan
Amerika Thanksgiving dan Natal menjadi satu. Puasa adalah suatu ritual yang
menantang buat saya, tetapi memuaskan batin. Tidak ada yang lebih memuaskan
dari berbuka puasa bersama keluarga dan teman-teman, dan suasana kepuasan batin
yang didapat.
Dari soal nasi (juga nasi padang) yang menjadi
makanan utama Indonesia, Stanley memapar tragedi pesawat terbang yang menabrak
menara kebanggaan Amerika Serikat pada 11 September 2001, dan tentang kebijakan
politik luar negeri AS yang dianggap munafik karena lebih mendukung Israel
daripada Palestina), dan tentang serangan-serangan teroris. Stanley pun
mengungkap, mengutip redaktur Republika,
“hanya sedikit pesantren yang dipimpin oleh kiai atau ulama yang berpandangan
radikal.” (Halaman 82). Juga secara gamblang diurai peristiwa bom Bali pada 12
Oktober 2002, ledakan bom mobil di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz-Carlton,
Mega Kuningan, Jakarta, pada 5 Agustus 2003.
Secara khusus, Stanley menjelaskan, pada tahun
2004, Ketua Muhammadiyah Sumatera Barat, Shofwan Karim, mengundangnya
mengunjungi salah satu pesantren untuk berbicara tentang masyarakat Amerika
Serikat dan kebijakannya. Dijelaskan, murid-murid Shofwan yang cerdas
memborbardir Stanley dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perang melawan
terorisme, Israel, dan imperialisme Amerika Serikat, selama dua jam.
Juga ditampilkan statistik (dan beberapa
statistik lain) Opini Baik Indonesia terhadap AS dari 2000 sampai 2013 di bawah
kepemimpinan tiga presiden: Clinton, Bush dan Obama. Ada kecendrungan, canda
Stanley, orang Indonesia mengenal Obama sebagai “anak Menteng” yang
menghabiskan sebagian masa kecilnya di Indonesia. Dikatakan, hubungan pribadi
antarseseorang memang berarti di Indonesia. Contoh, Paul Wolfowitz, walaupun
peranannya besar dalam strategi penyerbuan ke Irak tahun 2003, sangat disukai
di Indonesia ketika jadi Dubes AS yang hangat dan karismatik pada 1986-1989.
Stanley Harsha mengakui, seperti masyarakat
Amerika Serikat, masyarakat Indonesia adalah masyarakat sekuler yang melindungi
kebebasan beragama. (Halaman 120). Dan, “menurut pendapat saya, di Indonesia
tidak ada umat Islam yang jahat; yang ada hanyalah orang-orang kejam yang sudah
kehilangan iman.” (Halaman 121). Malah secara meyakinkan ia menyatakan,
“Sebenarnya Indonesia adalah contoh nomor satu di dunia untuk masyarakat modern
multiguna yang damai dan toleran.” (Halaman 131).
Selain dengan Pramoedya, pada bagian Wejangan
(Nasihat Para Tetua), Stanley mengaku mengadakan percakapan pribadi dengan
Mochtar Lubis (1922-2004) “yang dilahirklan di Sumatera Barat adalah seorang
wartawan penyidik dan penulis novel yang terkenal di dunia.” Ia menulis,
Mochtar Lubis dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena kritikannya kepada
presiden pertama Indonesia itu. Novel Mochtar Lubis paling terkenal, Senja di Jakarta, jelas Stanley, adalah
novel Indonesia pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Novel itu,
yang bercerita tentang korupsi, ketidakadilan, dan politisi yang tidak
bermoral, yang terjadi di awal tahun 1950-an, sampai sekarang masih terdengar
gaungnya di Indonesia. Lubis juga dipenjarakan oleh Presiden Soeharto pada
tahun 1974, dan korannya, Indonesia Raya,
dibreidel pada tahun 1975. Lubis menceritakan harapannya untuk kebebasan pers
dan demokrasi di Indonesia. Pada tahun 2000, oleh International Press Institute
ia dinobatkan sebagai salah seorang dari 50 pahlawan dunia dalam 50 tahun
terakhir.” (Halaman 144).
Selain Gus Dur, Shofwan Karim, Romeo Rissal
Panjialam, beberapa di antara banyak teman baik Indonesia Stanley Harsha adalah
Amien Rais, Syafii Maarif, Adnan Buyung Nasution, K.H. Hasyim Muzadi, Fadhil
Lubis, Nurcholis Madjid, Din Syamsuddin, Mohammad Sobary, Yenny Wahid, Ahmad
Suaedy, Ahmad Fuadi. Ia menyebut, mengutip Pew Research Religion & Public Life Project, April 2013, selagi para
jenderal memata-matai para aktivis, pembangkang seperti Goenawan Mohamad
diam-diam mengadakan pertemuan di Utan Kayu.
Dan, untuk orang Aceh, jelas Stanley Harsha,
kebudayaan mereka tidak kalah penting dari kebudayaan dan kekuasaan, dan sama
artinya dengan Islam. Dan terhadap musibah dahsyat, tsunami, 26 Desember 2004, “Deplu Amerika Serikat di bawah prakarsa
Bush-Cinton memberikan 100 beasiswa Fulbright kepada masyarakat Aceh untuk
menolong menggantikan talenta-talenta yang hilang.” (Halaman 195). Bicara “Ini
Medan, Bung” (halaman 203) ia mengaku mengikuti acara dan mendengar pembacaan
puisi Chairil Anwar (1922-1949), dalam hidupnya yang singkat, penyair besar itu
telah menghasilkan banyak puisi yang sangat disukai orang Indonesia.
Tersendiri, Stanley Harsha menulis tentang
Serambi Mekkah (Aceh), Sumatera Utara (Medan), Papua, Timor Leste, dan Bundo
Kanduang (Sumatera Barat). Ia menyatakan, jika melakukan perjalanan di
Indonesia dan merasa lapar, “saya sering makan di warung padang, makanan
berbumbu pedas dari Sumatera Barat ....” Dan, “Meskipun umat Islam Minang
konservatif, saya tidak pernah merasakan sikap intoleransi mereka terhadap
agama lain. Apa yang saya rasakan hanya satu identitas kuat budaya Minang yang
homogen.” (Halaman 211). Dijelaskan, bahwa sebagian besar dari mereka (orang
Minangkabau) saling bergantung satu sama lain untuk bertahan hidup dan berhasil
... Dan, tradisi musyawarah sudah lama dimiliki orang Minangkabau.
Di bagian penutup, Stanley Harsha sangat
bersyukur jika bukunya menginspirasi beberapa saja orang Indonesia dan Amerika
untuk belajar tentang agama selain agamanya sendiri, meningkatkan toleransi,
serta dengan tegas menentang fanatisme yang menghasut kebencian dan konflik. Ia
juga berharap, buku dapat menyampaikan pesan bahwa orang-orang Amerika sesungguhnya adalah bangsa yang sangat
toleran terhadap semua agama serta menghormati Islam. Jika berkunjung ke
Amerika Serikat, ia meminta agar diceritakan kepada orang-orang di sana tentang
demokrasi di Indonesia, tentang kebebasan dan toleransi beragama. Ia juga minta tolong untuk memahami agama
Yahudi. Menurutnya, cara paling baik bagi orang Indonesia untuk menolong orang
Palestina adalah dengan mulai berbicara dengan orang Yahudi.
***
SAYA belum membaca buku dalam teks bahasa Inggris
Seperti Bulan dan Matahari dengan
bahasa apa Stanley Harsha menulis. Terjemahan Henny Mangoendipoero Harsha,
istri abadi Harsha, bagus. Bahasa Indonesia Henny standar. Penyunting, Mulyawan
Karim, luput untuk beberapa ejaan dan diksi. Washington DC (halaman 4, 66, 91)
mengapa tidak dieja Washington, D.C. (District of Columbia) sebagaimana hal ini
sangat diperhatikan benar oleh penulis Amerika Serikat? ... di pinggir Kota
Solo, (baris lima dari atas halaman 20) sudah sesuai Ejaan Yang Disempurnakan
tetapi di halaman yang sama tersua orang Barat lain di kota Solo. Ejaan Kota
Solo (yang benar) dan kota Solo (belum sesuai EYD) terdapat di halaman-halaman
lain. ... yang yang bertakhta ... (baris tiga dari atas, halaman 21) kelebihan
yang. ... setetespun air (baris sebelas dari atas, halaman 27) mestinya ...
setetes pun. Penggunaan pun dan EYD perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh
penyunting. ... menikmati hak-hak-hak yang sama ... (baris tujuh dari bawah,
halaman 51) mengundang tanda-tanya. Hasil survei yang majalah Tempo pada tanggal (baris terakhir halaman
75) semestinya tanpa yang, atau diubah/ditambah dengan diksi survei yang
diadakan majalah Tempo ... Ada kalimat
“Istri dan kedua anak saya baru dapat
berangkat pada hari Jumatnya, sedang saya tetap tinggal di Jakarta.”
(baris tujuh, delapan, sembilan, halaman 91) perlu diusut. Apa makna dan fungsi
kata kepunyaan nya, Jumatnya, dalam
kalimat itu? Ini persis sama dengan ungkapan terima kasih atas undangannya,
atas kedatangannya. Bagaimana kalau posesif nya
itu dibuang saja? ... bermigrasi kesana ... (baris 16 dari atas, halaman 115)
mesti dieja ke sana (ke sebagai kata depan). Kata shalat (baris empat dari
bawah, halaman 107) seharusnya dieja salat... (Sekadar catatan: saya termasuk
seorang yang dipercaya untuk memvalidasi terjemahan Alquran ke dalam bahasa
Minangkabau. Para guru besar, doktor, dan ahli sepakat, ejaan yang benar untuk
salat dalah salat, dan ejaan Alquran adalah Alquran, seperti yang tersua dalam
Kitab Alquran Bacaan Mulia terjemahan H.B. Jassin, 1982) ... mempengaruhi
sejarah ... (baris sepuluh dari dari bawah, halaman 121) semestinya dieja
memengaruhi, memperkosa (baris lima belas dari atas, halaman 226) seharus dieja
memerkosa, persis seperti pengejaan mempesona (halaman 230) seharusnya memesona.
... krisis moneter Asia (krismon) ... pada baris delapan dari bawah di halaman
160 semestinya dieja ... krisis moneter (krismon) Asia .... Lebih lanjut
pendapat pemerintah kurang ... (baris sembilan dari bawah, halaman 170)
mestinya ... Lebih lanjut pendapatan pemerintah kurang .... Selamat bertugas di
di Konsulat Jenderal ... (baris lima belas dari bawah, halaman 188) kelebihan
di. Kelebihan di juga tersua di baris sembilan dari bawah, halaman 216.
Kalimat ... dari Dili ke arah Barat, ... dari
Dili ke arah timur ... (halaman 222) mengundang pertanyaan: mengapa Barat
ditulis dengan B besar, sementara t dalam timur ditulis dengan t kecil?
Masalah kalimat, frasa, diksi, ejaan (yang
disempurnakan), tanda-tanda baca, untuk sebuah buku, memang perlu diperhatikan
secara saksama oleh penyunting. Betapa lagi buku ini ditulis oleh orang Amerika
Serikat yang, setahu saya, selalu sangat hati-hati dan jeli dalam menggunakan
bahasa. Apalagi Stanley fasih berbahasa Indonesia. Saya punya beberapa sahabat,
guru besar, dan juga membaca satu-dua buku berbahasa Inggris: ternyata semua
tanda baca, titik-koma, atau apapun, diperhatikan dan digunakan maksimal.
Semoga dalam cetak ulang untuk edisi-edisi berikut sedikit kealpaan ini bisa
diperbaiki oleh penyunting dan penerbit.
Buku hebat ini memang pantas dibaca siapa saja.
Kalau boleh menyebut sedikit apa yang tidak disinggung oleh Stanley Harsha,
maka itu adalah masalah “tempat” bagi orang-orang difabel. Bukankah
sesungguhnya Amerika Serikat adalah negara maju yang sangat peduli terhadap
orang-orang cacat? Puluhan tahun lalu saya diundang untuk bertempat-tinggal di
Kota Iowa, dan mengunjungi tiga belas negara bagian, di Pantai Barat, di Pantai Timur dan di Amerika Tengah.
Hampir semua bangunan, bahkan rumah, sebagai contoh, menyediakan fasilitas dan
akses untuk kursi roda. Mengapa Pak Stanley Harsha belum bicara itu agak
sehalaman-dua? Tidakkah itu sesungguhnya juga “alat” diplomasi dan manusiawi?
Padang, 26 Mei 2015
[i] Disampaikan dalam Acara Bedah Buku “Seperti Bulan dan Matahari,
Indonesia dalam Catatan Seorang Diplomat Amerika” pada Kamis, 28 Mei 2015, di
aula Bank Indonesia, Kota Padang, diselenggarakan oleh RCHP (Religious
Community for Humanity and Peace), KAKK (Komunitas Agama untuk Kemanusiaan dan
Kedamaian), AAA-WS (Association of American Alumni – West Sumatra) dan FISIP (Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Universitas Andalas.
Komentar
Posting Komentar