Perspektif Islam tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender

Di sisa tembok Berlin, Mei, 2013 bersama Dubes Dr. Eddy Pratomo, MA dan Madame


Perspektif Islam tentang Kesetaraan

dan Keadilan Gender*

Dr. H. Shofwan Karim, M.A.w

I.  Pendahuluan

            Salah satu wacana teologis-filosofis di dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia tanpa bias gender atau membedakan jenis kelamin, antara bangsa, suku atau ethnis maupun keturunan. Di dalam pandangan normatif-tekstual Islam seperti yang disitir al-Qurán, tinggi rendahnya kualitas seseorang hanya terletak pada tinggi-rendahnya kualitas pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt.[1] Selanjutnya Allah memberikan penghargaan yang sama dan setimpal kepada manusia dengan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan atas semua amal yang dikerjakannya.[2]    
Islam sebagai al-Din mencakup tatanan semua segi kehidupan manusia tentang  akidah (teologi), ibadah (ritual), akhlak (etika) dan muámalah (sosio-kultural). Secara umum ketercakupan itu merupakan pengaturan  hubungan dengan Allah dan hubungan sesama manusia. [3] Kajian  gender merupakan wilayah dan tatanan hubungan sesama anusia dalam konteks  sosio-kultural. Di dalam muámalah ini berlaku ungkapan, lakukan  sesuatu kecuali yang terlarang. Sebaliknya dalam hal  akidah dan ibadah mahdhah, jangan lakukan sesuatu kecuali yang diperintahkan.  anusia dalam konteks  sosio-kultural. Di dalam muámalah ini berlaku ungkapan, lakukan  sesuatu kecuali yang terlarang. Sebaliknya dalam hal  akidah dan ibadah mahdhah, jangan lakukan sesuatu kecuali yang diperintahkan.
            Latar belakang munculnya konsep gender  berawal dari banyaknya problem yang menghimpit wanita secara akumulatif. Di antaranya perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan terhadap wanita. Dalam kacamata feminisme[4] (Ilyas, 1997:4-5) Barat melihat akar permasaalahan itu berasal dari anggapan bahwa wanita selama ini hidup dalam dunia laki-laki (patriakhi). Dunia  dibentuk oleh laki-laki dengan tata nilai penuh maskulinitas. Di dalam pembangunan juga nuansa maskulinitas amat dominan di antaranya dalam program keluarga berencana (KB)  dan mekanisasi pertanian.
Demi suksesnya program KB, wanita dipaksa menggunakan alat-alat kontrasepsi yang ternyata memberikan dampak kesehatan yang bermacam-macam, sejak dari ketidak seimbangan hormonal dan bahkan kematian (Sri Rahayu, 1996:2). Sementara laki-laki –yang menjadi sumber pembuahan rahim—melenggang tanpa beban. Begitu pula mekanisasi pertanian, dituding telah menurunkan produktivitas wanita yang tidak diikuti dalam pelatihan-pelatihan teknologi baru. Akibatnya wanita termarginalkan dan bukan sebagai pencari nafkah dalam keluarga. Walhasil peningkatan jumlah pengangguran di kalangan wanita melebihi pria.  
            Berdasarkan fakta-fakta di atas maka para pemikir Barat menggagas sebuah perubahan mendasar mutlak dilakukan menyangkut keberadaan atau eksistensi perempuan yang setara dengan laki-laki dan peran perempuan di dalam kehidupam serta pola hubungan antara perempuan dan laki-laki (Lihat juga, Sri Rahayu, 1996:5-6).   Konsep  baru tentang perempuan dan laki-laki serta pola hubungan di antara mereka  inilah yang disebut sebagai konsep gender (Ibid, 3).
Perkembangan pemikiran modern di dunia Islam tidak terlepas dari paradigma baru itu. Ada bias penolakan yang mengganggap semua yang datang dari wacana Barat adalah berlawanan dengan Islam. Sebaliknya ada yang menerima secara total apa yang datang dari Barat kompatibel (bersesuaian) dengan Islam. Sementara yang lebih moderat melakukan kajian lebih mendalam tentang konsep itu baik secara tekstual maupun kontekstual lalu menerima mana yang kondusif dan tidak bertentangan dengan pemahamann teks tetapi kontekstual dan mana yang harus ditolak dan tidak dapat diterima oleh Islam.
            Tinjauan berikut lebih kepada yang ketiga, memahami teks dan konteks  secara teologis-filosofis dan sosiologis-empiris  serta di sana sini merujuk kepada pemikiran klasik dan kontemporer yang diharapkan memberikan gambaran umum yang mungkin dapat dipertimbangkan untuk mendorong partisipasi aktif umat Islam dalam menumbuh-kembangkan sikap ke arah terciptanya kesetaraan dan keadilan gender secara proporsional.

II. Tinjauan Normatif-Tekstual


            Paling tidak di sini secara amat ringkas, dikemukakan tinjauan normatif-tekstual di dalam al-Qurán yang menjadi rujukan  pemikir feminisme Muslim sebagai landasan yang bersifat filosofis-teologis di satu pihak,  dan  sosio-teologis di pihak lain dalam wacana relasi gender ini. Para feminis itu mewacanai ulang beberapa konsep yang dalam pembahasan sekadarnya ini dibatasi kepada tiga konsep: (1) penciptaan perempuan; (2) kepemimpinan  rumah tangga; dan (3) kesaksian perempuan . 

  1. Penciptaan perempuan.

Di dalam tradisi Islam diyakini empat macam penciptaan manusia : (1) Dari Tanah ( Nabi Adam as) [5]; (2) dari (tulang rusuk) Adam (penciptaan  Hawa) [6]; (3) dari seorang Ibu dengan kehamilan tanpa ayah biologis maupun yuridis (Nabi Isa as.) [7]; (4) dari rahim atau kehamilan seorang Ibu dengan benih oleh  ayah biologis secara yuridis  atau non yuridis ( semua manusia selain tiga tadi) [8]. 
            Berbeda dengan ketiga macam penciptaan yang lain, ayat-ayat tentang penciptaan Hawa tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci  mekanisme penciptaan Hawa. Dari ketiga ayat yang menyebut penciptaan Hawa disebut bahwa dari padanya (nafswahidah-Adam) Dia (Allah) menciptakan istrinya (zaujaha-Hawa).[9] Dalam ayat ini tidak disebutkan secara eksplisit nama Adam dan Hawa, tetapi diungkapkan dengan   kata  nafs wahidah dan zaujaha. Namun dengan bantuan ayat-ayat lain ( QS, 2:30-31; 3:59; dan 7:27 serta hadist-hadist Nabi, umumnya para mufassir  memahami dan meyakini  bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah  dan zaujaha dalam ayat  itu  adalah Nabi Adam as, (laki-laki) dan Hawa (perempuan) yang dari keduanyanyalah terjadi perkembangbiakan umat manusa. Kontroversi baru terjadi antara kaum mufassir dan kaum feminisme Muslim adalah pada kalimat berikut : wakhalaqa minha zaujaha. Apakah Hawa diciptakan dari tanah sama dengan penciptaan Adam, atau diciptakan dari (bagian tubuh) Adam itu sendiri. Kata   kunci penafsiran yang kontroversial ini terletak pada ungkapan  minha (daripadanya) . Apakah ungkapan minha menunjukkan bahwa untuk Adam diciptakan isteri dari jenis yang sama dengan dirinya, atau diciptakan dari (diri) Adam itu sendiri.
            Al-Zamakhsari memahami bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Al-Lusi menyebut tulang rusuk dimaksud adalah yang sebelah kiri berdasarkan hadist Bukhari-Muslim.Begitu pula Said Hawwa mufassir lainnya juga menyetujui argumen bahwa Hawa dijadikan dari tulang rusuk Adam. Yang belakangan ini menambahkan hadis Nabi dari Ibnu Abbas yang mengatakan : “Perempuan diciptakan dari laki-laki, oleh sebab itu kegairahannya ada pada laki-laki, dan diciptakan laki-laki dari tanah (bumi), maka kegairahannya pada bumi, maka jagalah perempuan-perempuanmu ( Riwayat Ibn Abi Hisyam. (Lihat, Ilyas, Ibid, h. 66-67) .
            Pemikir kontemporer sekaligus tokoh feminisme dan teolog Muslimah Riffat Hasan menolak penafsiran klasik tadi.  Riffat mempertanyakan kenapa dipastikan saja nafs wahidah itu Adam dan zaujaha  itu Hawa, isterinya. Kata nafs adalah netral, tidak menunjuk kepada laki-laki atau perempuan.  Lalu kata Adam, menurut penelitian Riffat  jata itu berasal dari bahasa Ibrani artinya tanah berasal dari kata adamah yang sebagian besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia. Menurut Riffat, al-Qurán tidak menyatakan Adam manusia pertama dan tidak pula menyatakan Adam laki-laki. Adam adalah kata benda maskulin , hanya secara linguistik bukan jenis kelamin. Adam, kata Riffat merupakan istilah sama dengan basyar, al-insan dan al-nas yang menunjukkan arti  “manusia” bukan jenis kelamin.

Bersama Dubes Dr. Teuku Faizasyah dan Madame Andis E Faizasyah di Wisma Indoensia, Ottawa, Februari 2015.

Riffat mempelajari bahwa konsep penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam berasal dari Injil tepatnya Genesis 1: 26-27; Genesis 2:7, 18-24 dan 5: 1-2. Tradisi Injil masuk lewat kepustakaan hadist yang kata Riffat penuh kontroversial. Jadi menurut Riffat, Adam dan Hawa diciptakan secara serempak dan sama substansinya, sama pula caranya. Dengan beberapa variasinya pendapat Riffat sepertinya searah dengan feminis muslim lainnya Amina Wadud Muhsin. Meskipun yang terakhir ini tidak begitu gamblang menolak pemikiran klasik, Amina tidak menekankan kepada penciptaan Hawa. Baginya yang terpenting adalah bahwa Hawa adalah pasangan (zauj) dari Adam. Pasangan, kata Amina, dibuat dari dua bentuk yang saling melengkapi dari realitas tunggal, dengan sejumlah perbedaan sifat, karakteristik dan fungsi, tetapi kedua bagian yang selaras ini pas saling melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan. Adam dan Hawa sama pentingnya (Ilyas, Ibid, h 72).

B. Kepemimpinan rumah tangga.

            Berdasarkan QS, Al-Nisa’, 4:34[10] pemahaman umum[11]  di kalangan umat Islam bahwa yang menjadi pemimpin di dalam rumah tangga[12] adalah sang suami. Pemahaman itu coba ditafsir ulang oleh para feminis Muslim kontemporer seperti Asghar Ali Engineer dan Amina Wadud Muhsin.  Tentu saja dengan membongkar penafsiran lama yang mereka nilai bias gender. Mereka berpendapat bahwa QS, 4: 34 itu  harus difahami secara sosio-teologis karena al-Qurán mencakup ajaran yang kontekstual dan normatif. Penurut Asghar keungulan laki-laki bukan jenis kelamin, tetapi fungsional sebagai pencari nafkah dan membelanjakan hartanya  untuk perempuan. Fungsi sosial laki-laki dengan demikian seimbang dengan fungsi sosial perempuan sebagai pelaksana tugas-tugas domestik dalam rumah tangga. Mengapa al-Qurán mengatakan keunggulan laki-laki ada pada pemberian nafkah?. Hal itu kata Asghar karena pertama, kesadaran sosial kala itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap kewajiban perempuan. Kedua, laki-laki sendiri menganggap dirinya lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan (Asghar, 1994:62) .

B.  Kesaksian Perempuan.


            Kaum feminis mempertanyakan penafsiran ayat-ayat al-Qurán yang dianggap mengandung bias gender .  Di antaranya adalah : (1)  tentang kesaksian perempuan dalam hutang piutang  di dalam QS al-Baqarah, 2: 282;[13] (2) tentang hak waris anak perempuan  separoh hak waris anak laki-laki pada QS Al-Nisa’, 4 : 11; (3) tentang kebolehan laki-laki berpoligini sampai empat dalam QS al-Nisa, 4: 3; (4) tentang aurat perempuan dan hijab dalam QS al-Nur, 24: 30-31 dan al-Ahzab, 33: 53-59.
             Asghar Ali  menulis tentang  hal-hal tersebut di dalam the Rights of Women in Islam mengenai kesaksian, hak waris, perkawinan. Amina Wadud Muhsin di dalam Qurán and Woman membahas perseraian, poligami, kesaksian dan warisan. Fatima Mernissi dalam Women and Islam : An Historical and Theological Enquiry mengkaji kepemimpinan dan hijab, di antaranya  merujuk ke  hadist dan al-Qurán sebagai dasar pijakan.
            Asghar nengatakan bahwa dua kesaksian perempuan sebanding dengan satu kesaksian laki-laki itu tidak menunjukkan inferioritas perempuan . Hal itu semata-mata  karena pada masa itu  perempuan belum mempunyai pengalaman memadai dalam masalah keuangan, dan karena itu dua saksi perempuan dianjurkan al-Qurán, sehingga jika terjadi kelupaan –karena kurangnya pengalaman—maka salah seorang dapat mengingatkan yang lain. Oleh karena laki-laki mempunyai pengalaman yang cukup maka pengingat  semacam itu tidak diperlukan bagi mereka.  Asghar juga mengingatkan bahwa walaupun dua saksi perempuan  dianjurkan seabagi pengganti seorang saksi laki-laki, hanya salah seorang di antara keduanya yang memberikan kesaksian. Yang lain berfung tidak lebih dari pengingatnya jika dia bimbang.
            Sejalan dengan Asghar, Amina Wadud Muhsin berpendapat ayat itu tidak menyebutkan bahwa kedua perempuan tersebut sebagai saksi. Seorang perempuan diperlukan untuk mengingatkan yang lainnya, sehingga ia bertindak sebagai mitra bagi yang lainnya. Meskipun perempuan yang dihadirkan berjumlah  dua tetapi fungsi masing-masing berbeda. Di samping itu menurut Amina ada sebab lain. Dipanggilnya dua saksi « yang kamu ridhai » menunjukkan adanya upaya untuk mencegah terjadinya kecurangan. Jika seseorang melakukan kesalahan, atau dibujuk untuk memberi kesaksian palsu, ada saksi lain yang bisa mendukung perjanjian itu. Namun mengingat dalam masyarakat umumnya perempuan mudah dipaksa, jika saksi yang dihadirkan hanya seorang perempuan, maka ia akan menjadi sasaran empuk kaum laki-laki tertentu yang ingin memaksanya memberi kesaksian palsu. Jika ada dua orang perempuan, mereka bisa saling mendukung satu sama lain: jika yang seorang lupa, maka seorang lagi dapat mengingatkannya.


III. Tinjauan  empirik-kotekstual.


            Secara empirik-kontekstual, persoalan relasi gender sebetulnya tidak semata-mata dibentuk oleh persepsi normatif-tekstual dari ajaran pokok Islam yang tersurat dan tersirat di dalam al-Qurán,  hadist dan konsepsi ulama di dalam rumusan fikih . Ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan di dalam meninjau pengarusutamaan gender di kalangan umat Islam di negeri ini . Di antaranya kultur lokal, adat dan tradisi, tingkat ekonomi, pendidikan dan penguasaan ilmu dan teknologi.  Oleh karena itu konsep gender yang diterapkan di Barat, niscaya tidaklah seluruhnya dan seutuhnya  berkesesuaian (kompatibel) dengan konsep gender di Timur umumnya dan Islam khususnya.
            Realitas gender di dalam masyarakat Barat pada dasarnya berawal akibat pengalaman empirik -historis para wanita mereka yang amat tertindas. Kenyatan itulah yang menstimulir dan menjadi katalis dari feminisme Barat . Sehingga terjadi perlawanan yang amat keras dan membalikkan peta budaya pola relasi laki-laki dan prempuan. Anehnya, setelah isu gender balance digembar-gemborkan, kondisi para wanita Barat tidaklah lebih baik dari sebelumnya. Fakta mengungkapkan, alih-alih meraih « keadilan »  gender yang diimpikan, masalah yang muncul bahkan lebih kompleks lagi. Wanita Barat kini hidup dalam dunia yang justru lebih keras dari yang mereka perkirakan sebelumnya. Sekedar ilustrasi  dapat direnungkan apa yang ditulis Collete Dowling dalam bukunya « Cinderella Complex ». Dowling merasa bagaikan dihempas  ke batu karang ketika suami keduanya mengatakan keberatan untuk menanggung biaya hidupnya. Setelah setahun berlalu, Lowell, si suami, mengatakan bahwa tidaklah adil sementara dirinya bekerja keras menghasilkan sejumlah uang untuk menutupi seluruh kebutuhan keluarga, Dowling ’hanya ‘ menjalankan peran sebagai ibu rumah tangga yang ‘tidak produktif, dan sengaja meninggalkan profesi sebagai penulis free lance yang  telah dijalaninya sebelum menikah dengan Lowell.
            Kenyataan ini meluluhlantakkan Dowling. Berserpihanlah rangkaian impiannya untuk menikmati hidup berbunga-bunga sebagai seorang wanita. Kemarahan dan kekecewaan yang dalam –karena pernyataan sang suami tadi—membuatnya terpuruk dalam depresi. Dowling merasa bahwa sudah sepantasnya dia berperan sebagai ibu rumah tangga, setelah ‘terpaksa’ berjuang sendiri menghidupi diri dan anak-anaknya selama empat tahun ketika dia menjada. Dowlingpun tak habis pikir, tidakkah Lowell merasa bahagia karena dia berhasil menyelenggarakan urusan rumah tangga dengan baik ? Rumah yang teratur rapi dan cantik, kue-kue pastel buatan sendiri yang lezat, kasur dengan seprei kencang dan bersih selalu, servis yang memuaskan   bagi teman-teman Lowell yangdatang berakhir pekan di rumah mereka?
            Karena sebelumnya Dowling adalah penulis bebas, maka  kegundahan itu dituangkannya di dalam satu artikel di majalah New Yorker. Tak lama kemudian betumpuk-tumpuk surat datang kepadanya, menumpahkan perasaan yang sama dengan kasus yang hampir-hampir mirip pula. “Anda tidak sendirian’’ tulis sebagian besar surat-surat itu.  Seorang wanita lain mengatakan ia berhenti dari pekerjaan karena merasa suaminya sudah lebih dari cukup. Namun apa yang terjadi kemudian ? “Saya terombang-ambing antara rasa bersalah karena saya bersandar sepenuhnya kepada suami saya, dan kemarahan saya karena dia mempertanyakan hak saya melakukan hal itu”.   Begitulah kemeranaan wanita –para isteri dan ibu --  Barat, saat lingkungan telah merenggut hak perlindungan dan penafkahan yang seharusnya merek dapatkan.  Inilah sebuah kepanikan ‘gender’.  (Rahayu, 1996: 20-22)
            Bagaimanakah kenyatan empirik-kontekstual dewasa ini di Indonesia ? Apabila bias gender ditengarai masih amat tajam di Indonesia tentulah semua orang maklum. Akan tetapi kenyataan menunjukkan  sudah ada perubahan yang  signifikan  dalam perolehan kesempatan pendidikan misalnya, meskipun masih ada yang beanggapan bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi seperti saudaranya yang laki-laki, tetapi semakin hari bagi yang ekonominya semakin membaik, bias itu sudah semakin mengecil. 
            Begitu pula kesempatan memperoleh kedudukan dan posisi di eksekutif, legislatif, yudikatif , dunia usaha dan swasta. Sekarang terbuka lebar untuk menduduki posisi kunci pada berbagai posisi tadi. Yang paling anyar tentulah peluang  perempuan untuk ikut berpacu dengan kaum pria   merebut kedudukan di legislatif pada Pemilu 2004. Dengan UU No. 12 Tahun 2003 pada pasal 65 dinyatakan bahwa masing-masing partai politik dapat mencalonkan perempuan sedikitnya 30 persen dari jumlah yang diajukan.  Pertanyaannya tentu bukan lagi persoalan gender balance, tetapi apakah para perempuan sudah siap ?                                    
           

IV Penutup


            Landasan normatif-tekstual klasik tentang gender sudah ditafsir ulang oleh para feminis muslim. Soalnya sekarang bagaimana memahami pendekatan baru itu secara proporsional dan bagaimana membumikan pemahaman filosofis-teologis yang serasi dengan sosio-teologis yang  tepat dan komprehensif. Sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin  menjadi inspirasi dan  motivasi dalam menggesa keadilan dan kesetaraan jender. Tentu saja pengalaman emprik-kontekstual akan pula sangat menentukan. Disinilah peranan  kearifan lokal dan tradisi ethnis yang disebut adat, bersamaan dengan tingkat kemajuan ekonomi, pendidikan dan penguasaan ilmu dan teknologi akan membuat kesetaraan jender akan semakin terealisasikan.
           

        

KEPUSTAKAAN

Al-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar. Al-Kasysyaf an Haqaiq al-Tanzil wa Uyun al-Aqawil. Beirut.: Dar al-Fikr. Cet. 1977.

Al-Alusi, Abu alFadhal Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud. Ruh al-Maáni fi Tafsir al-Qurán al-Ázhim wa al-Sab ‘i al-Matsani, t.t.p.: Dar al-Fikr. t.t.

Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Terjemahan Farid Wajdi dan Cici Farkha Assegaf. Yogayakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1994.

Hawwa, Said. Al-Asas fi al-Tafsir. Kairo: Dar al-Salam. Cet. II. 1989.

Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qurán Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1997.

Mernissi, Fatima dan Riffat Hassan. Setara di Hadapan Allah, Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriakhi. TerjemahanTeam LSPPA. Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa, cet. I. 1995.

Muhsin, Aminah Wadud. Wanita di dalam Al-Qurán. Terjemahan Yaziar Radianti. Bandung: Pustaka, cet. I,. 1994.

Shihab, M. Quraish. “Membumikan” Al-Qurán. Jakarta: Mizan. 1992.

Suradj, Said Aqil. “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Membongkar Citra Perempuan dalam Tasawuf” dalam Syafiq Hasyim. Kepemimpinan Peremnpuan dalam Islam.   Jakarta: P3M. 1999.

Rahayu, Sri. Editor., Menimbang Perspektif Gender: Hakikat Konseptual dan Implementasinya. Jakarta: Yayasan Ibu Harapan. 1996.


_______________________




* Makalah disampaikan pada   advokasi dan sosialisasi Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG)  bagi Para Pimpinan Pondok Pesantren  se Sumatera Barat, Sabtu, 14 Juni 2003 di Padang, Kerjasama PW Aisyiah dan Pimpinan Pusat Aisyiyah  di Diklat Depsos, Padang . Beberapa bagian dari makalah ini yang sebelumnya berjudul, Perspektif Islam tentang Gender, juga telah disampaikan pada fasilitasi, advokasi dan sosialisasi Pengarusutamaan Gender (PUG) bagi tokoh agama, adat dan masyarakat se Sumatera Barat, Rabu, 11 Juni 2003 di Aula Kantor Gubernur. Edit ulang, 09.05.2016.
w Pengasuh Mata Kuliah  Perkembangan  Modern dalam Islam (PMDI) Fak.Ushuluddin IAIN Imam Bonjol Padang dan  Program Pascasarjana UMSB , serta   Ketua PW Muhammadiyah Sumbar.
[1]


Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di [3]
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.AlHujurat, 49:13).
2
 

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."

3
 
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (Q.S. 3: 112)


[4] Di  dalam wacana modern, feminisme adalah satu faham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Secara moderat perjuangan itu bertujuan untuk mencapai kesetaraan laki-laki dan perempuan. 
[5] QS, Fathir, 35: 11; Al-Shaffat, 37: 11; Al-Hijr, 15:26.
[6] QS, Al-Nisak, 4:1; Al-A’raf, 7:189; Al-Zumar, 39:6.
[7] QS, Maryam, 19:19-22.
[8] QS, Al-Mukminun, 23: 12-14.
[9]
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.(QS, 4:1)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar (Al-Nisa’, 4: 34 )

Menurut Imam Abu Hasan Ali ibn Ahmad Al-Wahidi (w.464) “asbab al-nuzul” ayat tersebut bermula dari kisah Saád ibn Rabi’, seorang pembesar golongan Anshar.  Diriwayatkan bahwa isterinya bernama Habibah bintu Zaid ibn Abi Hurairah telah berbuat nusyuz (durhaka menentang keinginan Sa’ad untuk bersetubuh) lalu ia ditampar oleh Sa’ad. Peristiwa ini dikadukan Habibah kepada Nabi saw. Nabi kemudian memutuskan akan mengqishash terhadap Sa’ad, akan tetapi begitu Habibah dan ayahnya akan melakukan tamparan balasan kepada Sa’ad   (qishash), Nabi memanggil kediuanya dan memberi tahu turunnya ayat ini. Karena itu  Nabi meralat perintah qishash tadi. Oleh para ulama mutakhir, maka lelaki menjadi pemimpin di sini merujuk kepada kasus rumah tangga. Di luar itu tidak berlaku. (Said Aqil Siraj dalam Shafiq Hasyim, Ed., 1999:51)
.
[11] Seperti mufassir Zamakhsyari, Alusi dan Said Hawa  yang menekan kata kunci di sini al-rijaalu qawwamuuna álannisa’, ditafsirkan : yaquumuuna álaihinna naahiina kamaa yaquumu al-wulaatu ála al-rri ‘a’ya, summu qawwaaman lidzaalik.  (kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya. Dengan fungsi itu laki-laki dinamai qawwaam). Lihat Zamakhsyari I: 523 dalam Yunahar, Ibid, h. 75)
[12] Rumah tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan di rumah; berkenaan dengan keluarga.  (Lihat, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1990, h. 758).


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takziyah Sir Prof Dr H Azyumardi Azra, MA., M Phil., CBE Tokoh Cendekiawan dan Akademisi Muslim Dunia

Shofwan Karim, Pembicara dalam Pertemuan MDNG se Dunia