Muhammad Abduh dan Ide Pembaruannya
بسم الله الرحمن الرحيم
Muhammad Abduh dan Ide
Pembaruannya
Oleh Shofwan Karim
Abstract
Muhammad Abduh was a famous
Muslim theologian, founder of the Egyptian modernist school. He belonged
to an Egyptian peasant family and was born in 1849 in Lower Egypt and passed
away in 1905. He learned the Qur’an by heart. He was sent to theological school
of Tanta in 1862. He left this
discouraged and was only induced to resume his studies through the influence of
a great uncle who was aroused in him an interest in mysticism or tasawuf. In
1865 he returned to Tanta and next year proceeded to Cairo to Al-Jamiah
(University) Al-Azhar. In 1872, Abduh
came into contact with Said Jamal al-Din al-Afggani who revealed traditonal learning
to Abduh in a new light, called his tentions to European works accessible in
translations and attracted his interest finally to Egyptian and Muslim problems
of the day.
After concluding his
studies at al-Azhar and acquiring the certificate of an ‘alim (scholar),
he first of all gave private tuiton. In 1879 he was appointed as lecturer in
the Dar al-Ulum. In 1880 Abduh was appointed as chief editor of the official
gazette al-waka’i al-misriy. There was some essentials difference
between Abduh programme abd that of Al-Afghani. The latter was a revolutinary
who aimed at forcible upheaval and Abduh on the other hand, held that no
political revolution coul take the place of a gradual transformation on
mentality. Urabi Pasha’s strugle to free Egypt from foreign captured put an end
to Abduh’s activity on these lines. \he was condemned to banishment from Egypt
at the end of 1882. He first went to Beirut and then to Paris where in the
beginning pf 1884 he met al-Afghani again. Both two founded al-Urwat al-wusqa
and published a paper with the same name.
Abduh at short period move
to Tunis and then flew back to Bairut at
the beginning of 1885 and here he taught
at a theological school and engaged
in Muslim and Arabic studies. In this period he produced his traslation from
the Persian of Risala al-radd ala al-dahriyn, the work of Al-Afghani 1886 and
some others translations. Abduh back to Cairo in 1889 and was appointed as
state Mufti an office till his
death. His principal theological works were The Risalat al-Tawhid (1897)
and Islam wa al-nasraniya ma’a ilm wa
al-madaniya (1902). He could’t able to finish his commentary on the Qur’an;
it was revised and completes by his disciple and friend Shaik Muhammad Rashid
Rida, and published first of all in al-Manar.
Abduh ‘s programme according to his
own statement was the reform of the Muslim religion by bringing it back to its
original condition; the renovation of the Arabic language; the recogniton of
the rights of the people. Besides, he was dominated by the idea of patriotism,
wich he was the first champion enthusiastically in Egypt . This short work perform some of Abduh’s point
of view in keeping with modern
conditions, based on the qur’an and the true sunnah in bringing Muslim to the
new era of the 20th century.
I IFTITAH
Muhammad
Abduh—selanjutnya disebut Abduh-- ditempatkan oleh parapenulis Perkembangan
Moderen di Dunia Islam pada posisi amat penting
diantara pembaru-pembaru
pemikiran Islam.[1] Bahkan
tokoh pembaru Islam yang sedikit lebih senior
yang pernah menjadi sahabat dan gurunya, pernah memuji Abduh. Jamaluddin Al-Afghani, tokoh itu,
dilaporkan pernah mengatakan: “I leave you Muhammad Abduh, and he is
sufficient for Agypt as a scholar.” Ucapan itu disampaikan Al-Afghani pada
saat ia akan berpisah dengan teman-temannya di waktu ia akan meninggalkan Mesir
pada tahun 1879.2
Diskursus ringkas ini mengemukakan dua hal. Pertama,
sekilas tentang riwayat hidup Abduh dan kedua, hal-hal pokok mengenai ide-ide
pembaruan yang telah dikemukakannya. Pada bagian penutup akan disinggung selintas pengaruh Abduh kepada dunia Islam
sesudah masanya.
II
RIWAYAT HIDUP
Suatu penelusuran yang agak teoritis
yang mungkin dapat dianggap tepat untuk mengetahui riwayat hidup Abduh
dilakukan oleh Charles C. Adams. Ia
menggunakan pendekatan periodeisasi. Ia membagi riwayat hidup Abduh kepada tiga
periode: periode pertumbuhan; periode
pemunculan di depan publik; dan periode
berada di puncak karir.3 Kelemahan pendekatan Adams tentu
saja ada, misalnya ia menganggap riwayat hidup Abduh sudah terpisah-pisah secara
ketat antara satu masa dengan masa berikutnya, padahal menentukan batas masa
itu sangatlah riskan karena hidup itu berjalan secara alamiah bagai air
mengalir begitu saja tanpa terputus-putus.
Oleh karena itu sulit membatasi penggalan kehidupan seseorang secara
ketat, pasti dan tanpa pengaruh sebelum
dan sesudah masa tertentu. Akan tetapi, karena Adams membuat pembagian periode
itu bukan semata-mata melalui pendekatan kualitatif, juga melalui pendekatan
kuantitatif dengan menetapkan tahun dan peristiwa-peristiwa yang dilalui Abduh,
maka cara pembagian Adams dapat diterima dalam rangka memudahkan pemahaman yang
kontekstual menurut masa, kondisi,
tempat dan lingkungan kehidupan seseorang. Uraian berikut mengikuti pembagian
periode menurut Adams tersebut.
A.
Periode Pertumbuhan (1849-1877 M)
Abduh, menurut pendapat umum lahir pada tahun 1265 H/1849 M.4 Ada
pendapat lain yang mengatakan ia lahir
pada tahun 1262 H/1845 M.5 Perbedaan itu mungkin disebabkan
oleh perbedaan sumber tulisan. Boleh
jadi pula, mencatat kelahiran belum biasa dilakukan oleh masyarakat di tempat
orang tua Abduh yang bernama Mahallat Nasr, di Hilir Mesir, Kabupaten
al-Buhaerah di wilayah al-Gharbiyah,
pada masa itu. Alasan lain penyebab perbedaan waktu kelahiran itu boleh
jadi karena situasi politik yang tidak menentu, orang tua Abduh
berpindah-pindah 6 dan
tidak memperhatikan tanggal dan tempat kelahiran putra-putrinya secara serius.7
Ayah Abduh bernama Abduh ibn Hasan
Khair Allah. Dengan begitu nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh Ibn Hasan
Khair Allah . 8 Keluarganya
hidup dari hasil pertanian, namun mempunyai jiwa kegamaan yang teguh, taat, dan
berpandangan terbuka terhadap ilmu pengetahuan. Ayahnya menganjurkan Abduh
untuk menuntut ilmu pengetahuan. Masa pendidikan Abduh dimulai dengan pelajaran
dasar membaca dan menulis melalui orang tuanya sendiri. Ia selanjutnya belajar
al-Qur’an kepada seorang hafiz . 9 Dalam waktu
dua tahun ia sendiri menjadi seorang hafiz
pula.10 Berikutnya
ia belajar di Mesjid Ahmadi, di Thantha. Metode pengajaran yang menitikberatkan
hafalan tanpa pengertian bagi murid-muridnya di sekolah itu, membuat Abduh
merasa tidak puas. Ia kembali ke Mahallat Nashr dan bertekad melanjutkan usaha
orang tuanya di lapangan pertanian. Kala
itu ia diperkirakan berusia 16 tahun, di usia itu pula ia menikah.11
Orang tuanya yang mempunyai
apresiasi yang memadai terhadap ilmu pengetahuan tidak setuju dengan tekad
Abduh yang hanya ingin bertani. Orang tuanya memerintahkan Abduh untuk kembali
belajar di Mesjid Ahmadi di Thantha. Dalam perjalan kembali ke Thantha ia
menyimpang ke desa Kanisah Urin, tempat tinggal kaum kerabat pihak ayahnya.
Seorang di antara kerabat ayahnya itu adalah Syeikh Darwisy Khadr yang sering
melawat ke luar Mesir belajar berbagai ilmu agama Islam, dan pengikut tarikat
al-Syaziliah.12
Syeikh Darwisy berhasil membina
kehidupan ruhani dan intelektual Abduh. Dengan semangat baru, di tahun 1870 M.
Abduh kembali ke Thantha, dan enam bulan kemudian ia belajar
di Al-Azhar. Di al-Azhar kekecewaannya seperti sebelumnya di Mesjid Ahmadi,
Thantha kembali terulang. Ia, bahkan mengatakan bahwa metode pengajaran yang
verbalis merusak akal dan daya nanarnya.13 Untung
saja di saat ini Abduh berjumpa dengan Jamal al-Din al-Afghani yang kemudian
menjadi gurunya, sahabat dan tokoh pembaru Islam yang amat terkemuka kala itu.
Al-Afghani menjadi tokoh alternatif
oleh Abduh dalam memperdalam ilmu
pengetahuan, bukan saja yang berhubungan dengan ilmu agma Islam, tetapi juga
ilmu lainnya. Abduh, di samping terus belajar di al-Azhar, walaupun merasa
tidak berkenan dengan metode pendidikan dan pengajaran yang diterapkan,
sekan-akan mendapat kepuasan dari al-Afghani yang mengutamakan pengertian dan
diskusi-diskusi dalam lingkaran studi yang diasuh tokoh ini..
Aktivitas Abduh di luar kampus,
terutama dalam diskusi bersama lingkaran studi al-Afghani, bukan saja telah memeperluas cakrawala dan
kemampuan intelektualitasnya , bahkan mungkin telah pula menjadi faktor yang
mendorongnya menyelesaikan studi akademiknya di al-Azhar. Pada tahun 1877 M. ia
menerima gelar ‘Alim dan berhak menjadi dosen di Universitas al-Azhar
itu. 14
B.
Periode Pemunculan di Depan Publik.
Periode ini berlangsung antara 1877
samapai 1882, sejak ia menyelesaikan kuliahnya di al-Alzhar hingga ia diasingkan
oleh penguasa Mesir waktu itu ke Beirut karena masalah politik. Pada dekade
1877-1882 ini Abduh berkarir sebagai guru dan penulis. Ia
mengajar di tiga perguruan tinggi di Mesir : Al-Azhar, Dar al-‘Ulum dan
Perguruan Bahasa Khedewi. Mata kuliah yang diasuhnya meliputi telogi, sejarah,
ilmu politik, dan kesusasteraan Arab. Ia menekankan metode diskusi dan semangat
pembaruan dalam menghadapi mahasiswanya.15
Abduh sangat menekankan pentingnya
Bahasa Arab dengan baik dan ilmu-ilmu Agama Islam secara lebih baik dan juga
meluruskan penyimpangan yang ada. Ia dianggap tidak mendukung pemerintah yang
berkerjasama dengan Inggris. Ia tidak diizinkan lagi mengajar di Dar al-‘Ulum
dan Perguruan Bahasa Khedewi tadi.
Pada masa pemerintahan Khedewi
Tewfik di Mesir, Abduh dan gurunya al-Afghani dianggap menjadi biang oposisi.
Abduh menjadi tokoh politik yang diganjar tahanan kota. Al-Afghani juga
demikian, bahkan keduanya pernah diusir dari Mesir pada tahun 1879. Status
tahanan di pengasingan Abduh di cabut oleh Perdana Menteri Riad Pasya setahun
kemudian, dan ia dibolehkan kembali ke Kairo, Mesir. Bahkan ia diangkat menjadi
anggota redaksi, kemudian Pemimpin Redaksi lembaran negara Al-Waqa’i
al-Misriah. 16
Posisinya sebagai pemimpin redaksi
lembaran negara ini menambah peluang kritiknya terhadap pemerintah pada
berbagai hal: agama, sosial, politik, dan kebudayaan. Ia seakan-akan
melanjutkan semangat nasionalisme yang ditinggalkan al-Afghani di Mesir. Ketika
itu di Mesir muncul politik rasialisme
yang berpangkal dari perbedaan kedudukan
dan jabatan antara perwira-perwira Angkatan Bersenajata berasal dari Turki,
mendapat posisi penting, sedangkan mereka yang berasal dari Mesir sendiri
terkucil. Pada saat ini munculllah tokoh
Urabi Pasya. Tokoh perwira Mesir ini melakukan gerakan-gerkan tuntutan
pemerintahan yang demokratis, Mesir harus berparlemen. Abduh sendiri walaupun
termasuk golongan nasionalis, tidak sependapat dengan tuntutan itu. Baginya,
rakyat Mesir belum matang untuk hal-hal seperti itu. Bagi Mesir yang penting
siap menjadi negara demokratis dan berparlemen.
Suatu pernyataan yang sebenarnya tidak terlalu berbeda tetapi memberi
makna dalam. Artinya, Abduh lebih menekankan perjuangan bertahap bersifat
evolusioner dibandingkan dengan gerakan sporadis yang revolusioner.
Pada sat itu Urabi Pasya yang belakangan ini tampak
semakin gencar melakukan gerakan demokratisasi dan pembebasan itu, sampai ke
puncak usaha berujung kepada
pemberontakan. Keadaan ini menjadi runyam. Perlawanan berubah terhadap
kekuasaan Barat Inggris dan hal itu melibatkan Abduh. Ia lalu ditangkap
penguasa, setelah tiga bulan dihukum penjara ia di buang ke luar negeri untuk
masa tiga tahun. Akhir 1882 M Abduh menetap di Beirut, kemudian pindah ke
Paris, Prancis setahun kemudian dan bergabung dengan al-Afghani yang sudah
lebih dulu berada di sini. Keduanya membangun gerakan dalam satu organisasi
yang disebut Al-Urwat al-Wustqa 17
yang menerbitkan media komunikasi
cetak yang sama namanya dengan gerakan
itu. Tentang gerakan dan majalah ini di katakan oleh Ahmad Amin, jiwa dan
pemikirannya berasal dari Al-Afghani sedangkan tulisan yang mengungkapkan jiwa
dan pemikiran itu berasal dari Abduh. 18
Masa-masa di luar negeri itu
bagi Abduh dipergunakannya untik menulis
dan mengunjungi berbagai tempat serta mengajar. Ia berkunjung ke Inggris, ke
Tunis, dan negara lainnya, dan akhir 1884 M
ia kembali ke Beirut. Di sini Ia menghentikan aktifitas politiknya dan
banyak mengajar, menulis dan menerjemahkan kitab-kitab ilmu pengetahuan
berbagai bidang ke dalam Bahasa Arab.19
Ia
kembali ke Mesir pada tahun 1888 M. dengan berbagai pengalaman dan tambahan
khazanah intelektual yang luas dan dalam setelah berkunjung ke bebagai tempat dan orang –orang
terkemuka di bidang ilmu pengetahuan. Ia masuk ke babak baru kehidupannya.
C.
Periode di Puncak Karir
Tampaknya, setelah malang melintang
dengan pergulatan perjuangan yang terbawa oleh arus semangat juang revolusioner
sahabat dan gurunya al-Afghani, abduh kembali ke garis perjuangan yang
sebenarnya sudah ia yakini dari dulu paling tepat yaitu garis perjuangan yang
bersifat evolusioner. Ia lebih
mementingkan perjuangan mengubah masyarakat
dan menegakkan prinsip-prinsip Islam bukan dengan mengubah struktur
kekuasaan, tetapi dengan pendekatan dari bawah dengan upaya meningkatkan
kecerdasan rkayat. Pendek kata Abduh lebih cenderung kepada pendekatan kultural
dibandingkan struktural atau pendekatan kebudayaan dibandingkan politik
praktis.
Ia ingin kembali menjadi pengajar di
Dar al-Ulum. Hanya, karena kesan keterlibatannyapada pemberontakan Urabi Pasya
dulu, maka Khedewi Tewfik, penguasa Mesir waktu ini tak mengizinkannya. hal itu
dapat dimaklumi karena dikhawatirkan semangat mahasiswa akan dipengaruhinya
lagi.20 Abduh,
lalu ditawarkan oleh Khedewi Tewfik menjadi hakim di luar kota Kairo. Ia
sebenarnya tak begitu tertarik atas tawaran jabatn itu. Mungkin karena tidak
ada pilihan lain, maka tawaran menjadi hakim pada Pengadilan Negeri itu ia
terima juga, mulanya di Benha dan Zagazig. Kemudian Ia menjadi hakim di Kairo
di Pengadilan Negeri Abidin. Pada akhir 1890 M ia diangkat menjadi Penasihat pada Mahakamah Tinggi.
Posisi ini, walaupun pada mulanya tidak begitu berkenan di hatinya, telah
menjadikan Abduh mampu mempergunakan kesempatan untuk menuangkan berbagai ide pembaruannya.
Agaknya, ia sampai ke puncak karirnya. Ia tidak saja melakukan pembaruan di
bidang peradilan sesuai dengan jabatannyan, tetapi juga di bidang pendidikan
yang menjadi pokok pehatiannya. Ia mewakili pemerintah duduk dalam Komite
Administratif Universitas Al-Azhar pada tahun 1895 M. bersama syeikh atau
profesor-profesor terkemuka lainnya yang banyak melakukkan prebaikan untuk
perguruan tinggi paling terkenal di dunia Islam ketika itu 21
Banyak
rencana Abduh yang masih terbengkalai yang ingin ia lakukan, namun maut
merenggutnya pada tanggal 11 Juli 1905 M. dengan didahului oleh sakit beberapa
hari.22 Walaupun
Abduh telah meninggal, tetapi pemikiran dan ide-ide pembaruannya tetap
bergema di dunia islam, bukan saja di
Mesir dan Timur Tengah, bahkan sampai ke Asia Tenggara. Beberapa karya tulisnya
yang menonjol adalah Risalah Tauhid, (1897); Islam wa-lnashraniya
ma’a al’ilm wa al-madaniya; Sharh Kitab al-basair al-Nasiriya, tasnif al-Kadi
Zain Din (1898). Lalu kumpulan ceramahnya dan artikel-artikelnya dalam
translatasi ke Bahasa Perancis oleh Muhammad Tal’at Harb Bey (1905) berjudul Europe
et al-Islam. Ketika ia bersama-sama
Al-Afghani Abduh sempat menerjemahkan karya tokoh ini dari Bahasa Pesia ke
Bahasa Arab : Risalat al-Radd ‘ala al-dahriyin (1886) dan karya lainya Sharh
Nahj al-balagha dan Sharh Maqamat Badi’ al-zaman al-Hamadhani (1889). Yang lain adalah Taqrir fi Ishlah
al-Mahakim al-Shar’iya (1900). Berikut ini akan dikaji beberapa ide-ide
pembaruannya.
III Ide-ide
Pembaruan
Ide-ide pembaruan yang pokok yang
telah dikemukakan Abduh secara konseptual adalah tentang pembaruan pemikiran
yang membawa implikasi kepada pembaruan pendidikan. Di samping itu ia juga
melakukan pembaruan di bidang pelaksanaan peradilan dan wakaf, ketika ia menjabat
hakim di peradilan dan Mufti. Begitu pula ketika ia duduk di dalam waktu
singkat di Dewan Legislatif Mesir sebagai anggota Majlis Syura tahun 1899 M., ia dapat pula disebut mengemukakan
ide pembaruan di bidang politik. Dengan begitu , maka pembaruan yang
dikemukakan oleh Abduh mencakup bidang-bidang pemikiran, pendidikan, hukum dan
politik. Dan akar yang paling pokok dalam sifat pembaruan yang diperjuangkan
Abduh adalah pembaruan masyarakat bukan melalui cara-cara revolusioner dalam
waktu singkat, tetapi melalui cara-cara yang evolusioner, graduatif (bertahap),
kultural (budaya) serta transformasi
mental dalam mewujudkan dasar yang kokoh bagi perkembangan masyarakat.23
A.
Pembaruan Pemikiran
Abduh
berpendapat bahwa sebab-sebab kemunduran umat islam adalah faham jumud, keadaan
membeku, statis, tak ada perubahan. Umat islam hanya berpegang teguh kepada
tradisi dan tidak mau menerima hal-hal baru.24 Abduh,
sebagaimana Muhammad Abd al-Wahab dan Jamal al-Din al-Afghani menganggap bid’ah
yang masuk ke ajaan islam adalah menyesetakan. Oleh karena itu harus dibasmi.
Bagi Abduh perubahan itu tidak hanyakembali ke ajaran salaf seperti
dianjrukan Abd al-Wahab, tetapi harus disesuaikan dengan keadaan moderen. Bila
ibadat sudah jelas pedomannya di dalam Qur’an dan Hadist, maka soal-soal
kemasyarakatan yang hanya garis besarnya dapat disesuaikan
Untuk mengikuti perkembangan zaman,
uamat Islam tidak boleh takdil. Umat mesti mempergunakan akal dan fikiranhya.
Al-Qur’an sendiri banyak menyatakan pentingnya akal-pikiran itu: afala dengan
pekembangan zaman.25yatadabbarun,
afala ta’qilun, afala tatafakarun dan sebagainya. Kedudukan
akal bagi Abduh sangat tinggi. Wahyu tidak akan bertentangan dengan akal. Bila
zahir ayat bertentangan dengan akal, maka ayat itu dapat ditafsirkan sesuai
dengan prinsip-prinsip akal. Ini berkaitan dengan dasar-dasar ilmu pengetahuan
moderen yang banyak berdasrkan hukum alam (sunnat al-allah), dan hal itu
sesuai dengan prinsip-prinsip Islam seperti disebutkan oleh Qur’an yang
menempatkan posisi akal di tempat paling tinggi. 26
Prinsip ini membuat Abduh berfaham
bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan(free will
dan free act atau qadariah). Bagi Abduh wajud manusia dalam
perbuatannya yang bebas itu tetap berdasarkan ketentuan bahwa kekuasaan Allah
tetap berada di tempat paling tinggi. 27
Akal yang dikaitkan dengan masalah
ilmu pengetahuan moderen membawa kemajuan tinggi bagi umat manusia. Di samping
itu akal juga harus dikaitkan dengan konsep teologi. Bagi abduh peranan akal
dalam teologi adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui
Tuhan dan sifat-sifatnya;
2. Mengetahui
adanya hidup di akhirat;
3. Mengetahui
bahwa kebahagiaan hidup di akhirat bergantung pada mengenal
Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraannya
bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan
pada perbuatan jahat;
4. Mengetahui
wajibnya manusia mengenal Tuhan;
5. Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan
jahat untuk kebahagiaannya di akhirat;
6. Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban itu.28
Dilihat dari sisi menempatkan kekuatan yang tinggi kepada
akal dalam teologi, maka Abduh malah melebihi . Kecuali itu Abduh tidak
menerima konsepsi manzilat bain manzilatain (منزلة
بين منزلتين )
oleh Mu’tazilah. Selanjutnya bila dirinci lebih dalam, Abduh ,
menempatkan posisi akal jauh lebih tinggi dari Mu’tazilah. Bagi Abduh akal
beperan terhadap enam hal di atas. Sementara bagi Mu’tazilah hanya empat
saja peranan akal dalam teologi, yaitu :
1.
Mengetahui kewajiban terhadap
Tuhan;
2. Mengetahui
kebaikan dan kejahatan;
3. Mengetahui
kewajiban beruat baik;
4. Mengetahui
kewajiban menjauhi perbuatan jahat.29
Penempatan
akal di posisi yang penting itu bukan
bearti Abduh merendahkan posisi wahyu. Wahyu lebih tinggi lagi daripada akal,
karena wahyulah yang menjelaskan kepada akal bagaimana cara beribadat dan
berterimakasih kepada Tuhan. Wahyu menentukan baik buruknya suatu ketetapan
Tuhan melalui suruhan dan larangannya pada hal-hal yang berlaku saat akal tak
mampu memberi kualifikasi terhadap baik dan buruknya suatu perbuatan. Akal
diperkuat pula oleh wahyu melalui sifat sakral dan kekuatan absolutnya untuk
memaksa manusia untuk tunduk kepada hukum dan peraturan.30
Mengenai
ijtihad, Abduh berpendapat bahwa lapangan ijtihad adalah masalah-masalah
kemasyarakatan yang jumlahnya sangat sedikit disinggung di dalam al-Qur’an dan
hadist. Karena itu perlu interpretasi baru untuk disesuaikan dengan tuntutan
zaman. Ijtihad harus langsung kepada al-Qur’an dan Hadist, karena itu mujtahid
haruslah orang-orang yang mempunyai syarat-syarat yang dipelukan. Orang yang
tidak mempunyai syarat itu haru mengikut kepada pendapat yang ia setujui
fahamnya di kalangan mujtahid yang ada. Bagi Abduh, ijtihad tidak diperlukan
untuk lapangan ibadat yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, karena itu
tidak diperlukan penyesuaiannya dengan perkembangan zaman. Ijtihad hanyalah di
lapangan yang berhubungan dengan masalah manusia dengan manusia. 31
B. Pembaruan
Pendidikan
Mengubah pola befikir, berarti harus mengubah kualitas
manusia dari bodoh dan tidak mengetahui apa-apa menjadi pandai dan
mengetahui berbagai ilmu pengetahuan
agama dalam arti sempit, maupun pengetahuan umum yang luas, ilmu pasti, sosial,
sastra, falsafat, dan ilmu pengetahuan
moderen lainnya. Abduh melakukan pembaruan di bidang pendidikan melalui
pemikiran pendidikan dan praktik pendidikan. Pemikiran pendidikannya tertuang
pada tiga bentuk: pertama, pentingnya Bahasa Arab; kedua, pengetahuan agama,
sains modern, sejarah dan pengetahuan
umum sama-sama penting; dan ketiga metode pengajaran tidak dititikberatkan
kepada menghafal dan membaca komentar-komentar dari teks pelajaran, akan tetapi
memahami dan mengerti apa yang terdapat di dalam ilmu itu dengan penekanan
metode diskusi. 32
Pemikiran pendidikan itu diterapkan
oleh Abduh, di samping di masa-masa ia aktif
mengajar di Dar al-Ulum, Al-Azhar, dan Perguruan Tinggi Bahasa Khedewi.
Keadaan itu semakin meningkatkan ketika ia diangkat menjadi anggota Dewan
Pimpinan al-Azhar oleh Khedewi Abbas pada tanggal 15 Januari 1895. Ia duduk di
dalam Komite Adiministratis itu bersama-sama dengan ulama-ulama terkemuka dari
mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang sezaman dengannya itu. Ia
bahkan menjadi penggerak dari dewan itu. 33
Ia melakukan pembaruan Al-Azhar
antara lain meliputi administrasi, keuangan dan fasilitas bagi pengajar dan
mahasiswa. Ia memperpanjang masa belajar dan memperpendek masa libur. Ia
mengemukakanb betapa apentingnya pelajaran bahasa pada empat tahun pertama
sebagai ganti dari pembacaan hasyiyah (komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar
dari teks), dan pokok-pokok pelajaran diterangkan dengan cara mudah dan
dimengerti. Mata pelajaran umum seperti matematika, aljabar, ilmu ukur, dan
ilmu bumi dimasukkannya ke dalam kurikulum Al-Azhar. Perpustakaan Al-Azhar
dilengkapinya. Ia sendiri turut mengajar di Al-Azhar dalam mata kuliah teologi
Islam, logika, retorika dan tafsir. 34
Meskipun upaya pembaruan yang ia
lakukan di Al-Azhar mendapat tantangan dari ulama-ulama tradisional, namun
banyak juga yang menerimanya. Cakrawala berfikir umat Islam telah pula
dibukanya, walaupun ia terpaksa mundur dari anggota dewan pimpinan Al-Azhar, karena khedewi Abbas tidak
merestuinya pada tahun 1905 M beberapa bulan sebelum ia wafat. 35
C.
Pembaruan dalam Pelaksanaan Hukum
Pengangkatan
diri Abduh sebagai Mufti di tahun 1899 M. memberi peluang kepadanya untuk
melakukan pembaruan di bidang ini. Ia memperbaiki pandangan masyarakat dan para
mufti itu sendiri, tentang kedudukan mufti yang ditunjuk negara hanya sebagai
penasihat hukum untuk
kepentingan negara. Di luar itu, mufti sekan-akan berlepas diri dari
tanggungjawab orang yang mencari kepentingan dan kepastian hukum. 36
Pandangan yang salah itu diluruskan
oleg Abduh. Ia memberi kesempatan kepada siapapun untuk mendapatkan jasa mufti
di bidang hukum, tidak terbatas untuk kepentingan negara tetapi juga
kepentingan masyarakat luas.37
Di dalam memutuskan berbagai perkara
pengadilan sejak ia menjadi hakim di Benha, Zagazig, dan kemudian Kairo sampai
ia menjadi Penasihat Mahkamah Tinggi pada tahun 1890 M. hingga menjadi
Mufti 1899 M., ia banyak berpegang
kepada keadilan bukan teks hukum. Di dalam berfatwa ia tidak terikat dengan
pendapat ulama-ulama sebelumnya. Ia sanggup dan berani melakukan ijtihad bebas.
Ia pernah menghalalkan sembelihan orang Nashrani dan Yahudi sebagai ahli kitab
bagi umat islam.38
Pada masa ia menjadi mufti, Abduh
juga melakukan penataan institusi wakaf. Ia membentuk Majelis Administrasi
Wakaf. Ia duduk sebagai seorang anggotanya. Dari dana wakaf, mesjid-mesjid
diperbaiki termasuk perangkat-perangkat, dari pegawai sampai ke imam dan khatib
mesjid itu. 39
D. Pembaruan
Politik
Sebenarnya, jasa Abduh dalam pembaruan di bidang politik
tidaklah seluas dan sebesar di bidang pemikiran dan lebih-lebih lagi tidak
sedalam dan seluas di bidang pendidikan. Akan tetapi, mengingat dinamika
keadaan politik waktu itu, Abduh juga memberikan sahamnya dalam bidang ini.
Pada tahun 1899 M. ia diangkat
menjadi anggota Majelis Syura, semacam dewan legilatif Mesir. Ia aktif di dalam
dewan ini. Upaya Abduh adalah mengusahakan kerjasama yang baik antara Majelis
Syura dan pemerintah Mesir. Pada mulanya, Majelis Syura tidak diperhatikan oleh
Pemerintah. Akan tetapi setelah usaha Abduh memperlihatkan bahwa kedua lembaga
Majelis Syura dan Pemerintah bertujuan sama untuk kepentingan rakyat Mesir
secara keseluruhan, maka pemerintah mengirimkan rencana-rencanaya untuk dibahas
Majelis. Nampaknya, upaya yang ia lakukan di Majelis itu, juga merupakan
kesatuan konsepnya dalam memajukan rakyat Mesir untuk dapat memasuki kehidupan
poltik demokratis yang didasarkan atas musyawarah. 40 Jadi
secara hakiki tidak terlepas juga dari usahanya dalam lapangan dalam lapangan pendidikan dalam makna yang
lebih luas.
IV.
Ikhtitam
Ide-ide pembaruan Abduh memberi pengaruh terhadap dunia Islam
pada umumnya, tidak saja di dunia Arab bahkan sampai ke Indonesia dan
Malaysia. Pengaruh itu terjadi melalui
karangan-karangannya dan karangan murid-muridnya, baik yang berupa buku,
majalah maupun tulisan dan artikel. 41 Di Indonesia banyak tokoh mengaku telah mendapatkan
pemahaman tentang pembaruan pemikiran Islam dari Abduh. Pada awalnya pemikiran
Abduh ini masuk ke negeri ini melalui Syekh
Taher Jalaluddin yang pada waktu belajar
di Mesir 1892. 42 Ketika itu Abduh sedang populer
setelah dirinya dibolehkan masuk kembali ke Mesir dari pengasingannya ke
Beirut. Pengaruh Abduh juga dapat dilacak dari beredarnya majalah Al-Urwat
al-Wustqa dan al-Manar di Indonesia dan Malaysia.43 Kelahiran, gerakan dan
kiprah organisasi Muhammadiyah dianggap pula merupakan bagian dari
pengaruh Abduh di negeri ini. 43
Abduh sebagai tokoh pembaru tidak terlepas dari pengaruh al-Afghani namun
keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Al-Afghani menghendaki perubahan ummat melalui perubahan politik
revolusioner, sedangkan Abduh melalui kekuatan rakyat dengan mencerdaskan
rakyat melalui pendidikan, dan karena itu bersifat evolusioner . Pembaruan-pembaraun yang
diperjuangkan dan dikerjakan di lapangan pemikiran, pendidikan, politik hukum
dan kemasyaakatan merupakan percikan
fahamnya, bahwa kemajuan manusia dalam kehidupannya dapat dicapai
melalui kekuatan akal dan penalaran yang
memang sesuai dengan apa yang banyak disitir oleh Quran dan Hadist.
[1] Lihat, Philip K. Hitti, History of the
Arab: From the Earliest Times to the Present, Edisi ke-10 (London: the
Macmillan Press Ltd, 1974), h. 753. Harun Nasution, Muhammad Abduh dan
Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UIP, 1987), h. 1. Nurcholish
Madjid, “Syekh Muhammad Abduh dan Pembaruan Pendidikan Islam, “ dalam Panji
Masyarakat, No. 472, 31 Juni 1985 dan dalam bukunya Islam, Kemoderenan
dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987) h. 304.
2 Lihat, Jurji Zaidan, Mashahir al-Shark,
Vol.I (Cairo: Dar al-Hilal, t.t.), h. 281 sebagai dikutip oleh Sami Abdullah
Kaloti, The Reformation of Islam and the Impact of Jamal al-Din and Muhammad
Abduh on Islamic Education, Ph. D., Dissertation, (Wisconsin: Marquette
University,1974), h. 94.
3 Charles C. Adams, Islam
and Modernism in Egypt (New York: Russell&Russell, 1933), h. 18.
4 Harun Nasution, op.cit., h. 11, P.K.
Hitti, loc.cit.
5 Nurcholish Madjid, Ed., Khazanah
Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 363 berdasarkan Trevor
J. Le Gassik, Ed., Major Themes in Modern Arabic Thought: an Anthology
(Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1979), h. 61. Lihat juga, Abd
Al-Muta’al al-Sha’idy, al-Mujaddidun fi al-Islam min al-Qarn al-Awwal ila
Al-Rabi’ ‘Asyar (Mesir: Mathba’ah al-Namudzajiyyah, t.t.), h. 530.
6 Harun
Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 58.
7 Ibid.
8 Ibid.
9 Ibid.
10 Ibid.
11 Lihat, Tahir Al-Tanahi, Ed., Muzakkirat
al-Imam Muhammad abduh (Kairo: Dar al-Hilal, t.t.), h. 29. Harun Nasution, Pembaharaun...,
op.cit. h. 11
12 Harun nasution, Pembaharuan ..., Ibid.,
h. 60
13 Lihat, Al-Manar, Vol. VIII, h. 399
sebagaimana dikutip oleh Arbiyah Lubis,
Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu Studi Perbandingan, Disertasi
S.3., Pascasrjana IAIN Jakarta, 1989.
14 Ia
lulus dengan yudicium cum laude,
lihat, Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh (Mesir: al-Manar, 1931(,
I, h. 143.
15 Ibid.
16
Harun Nasution, Muhammad Abduh ...op.
cit., h. 16.
17 I bid.
18 Ibid.
19 Di
Beirut ia meneyelesaikan bukunya Risalat al-Tauhid, dan menerjemahkan
buku al-Raddu ‘ala al’Dahriyyin, karangan Jamal al-Din
al-Afghani. Lihat, Muhammad Rasyid Ridha, op. cit., h. 392 dan 398.
20 Harun Nasution, Muhammad Abduh...,
op.cit., h. 19.
21
Sami Abdullah Kaloti, op. cit., h.134
22
Ibid.
23
Harun Nasution, Muhammad Abduh...
op. cit., h. 23 . Lihat pula H.A.R. Gibb
dan J.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (New York: Cornell Univ.
Press, 1953),h.406.
24 ------------
Pembaharuan ... op. cit.’ h. 62.
25 Ibid. h. 64.
26 Ibid., h. 65.
27Ibid., h. 66.
28 Harun
Nasution, Muhammad Abduh... op. cit., h. 53.
29 Ibid., h. 56-57.
30 Ibid’. h. 67.
31 Harun
Nasution , Pembaharaun ... op.cit., h.64.
32 Ibid.,
h. 67. lihat juga, H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 1978), h. 70.
33 Harun
Nasution, Muhammad Abduh ... op. cit., h. 20
34 Ibid.
35 Ibid.,
h. 21
36 Muhammad
Rasyid Ridha, op.cit., h. 429.
37 Ibid.
38 Harun
Nasution, Muhammad Abduh... op. cit h. 19 dan 22.
39Muhammad
Rasyid Ridha, op. cit., h. 19 dan 22
40
Harun Nasution, Muhammad Abduh ... loc.
cit.
41
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan ,
op, cit., h.68.
42 Hamka, Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia, (Jakarta: Tinta Mas, 1961) h. 16.
43
Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Islam di Malaysia: Sejarah dan Aliran,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997),h. 135.
Komentar
Posting Komentar