Minangkabau Paradoks

Komentar Singgalang : (Dimuat tahun 20012)
Minangkabau Paradoks
Oleh Shofwan Karim
Kongres Kebudayaan Minangkabau (KKM) yang direncanakan Agustus ini, kabarnya diundur menjadi September. Tentu pengunduruan itu hal yg wajar karena 11 Agustus mulai puasa Ramadhan dan 10 September adalah 1 Syawal hari raya Idul Fitri. Biasalah, pada hari baik bulan baik itu, jangan ada hajat lain yang mengurangi kekhidmatan ibadah puasa. Itu berarti pengunduran yang ke sekian kalinya, karena jauh sebelum Pilkada 30 Juni lalu, sebenarnya sudah pula direncanakan untuk dilaksanakan KKM ini. 


Soalnya,  tafsir politik waktu itu seakan ada yg menghubungkannya dengan pencalonan seseorang untuk Pilkada tadi. Karena itu ada pihak yang menganggap belum bulat untuk digolongkan dan belum picak untuk dilayangkan.  Rumor itu alhamdulillah lenyap ditelan waktu.

Tetapi ada kabar tak sedap lainnya lagi. Pengunduran KKM kali terakhir (mudah-mudahan) ini menjadi setelah lebaran, adalah  karena belum  mantapnya panitia menggelar kongres tersebut karena ada pihak yg belum samalero atau cik inan . Biang yg satu  ini tak ada sama sekali hubungannya dengan politik tetapi menyangkut kecurigaan tentang substansi draf  KKM.

Pertama, ada rumor bahwa KKM ini akan mendirikan lembaga gabungan antara syarak dan adat. Lalu LKAAM dan MUI mau diapakan. Bagi yg berfikiran positif, mungkin bukan soal kelembagaan yg selama ini  terkesan berjalan sendir isendiri itu, sudah tiba waktunya untuk digabungkan. Atau seolah bagaikan konfederasi ?

Di pihak lain ada ketar-ketir sentimen juga. Di antaranya soal isi dan materi pembahasan  yg ditawarkan. Katanya,  ada upaya  untuk  melahirkan khittah baru menggeser pola garis keturunan, wibawa konseptual, ciri khas  Minangkabau selama ini.  Gasris  keturunan atau silsilah yang berpusat ke perempuan atau ibu (materlinial line) hendak diubah kepada pola garis keturunan ayah (paterlinial line). Serunya, sampai-sampai di jejaring sosial on-line Face Book ada yang membuat grup dan  menulis di dinding (wall profile): "tolak KKM". 

Setalian dengan itu, di dalam memory saya ada 3 peristiwa sejarah Minangkabau dan Islam yang merupakan pelegaran pemikiran di ranah kita ini. Ketiganya 1837, 1955 dan 1970. Masih ingat? Setelah bersatunya kaum adat dan agama Pasca Perang Paderi lahirlah (oleh sebagian dianggap mitos) sumpah sati Bukik Marapalam yang katanya melahirkan ABS-SBK. Konvergensi itu ternyata belum utuh. Di antaranya soal pembagian harta pusaka. Konon, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkaway protes soal harta keturunan dibagu hanya kepada kemenakan, bukan kepada anak. Ulama Imam Besar Mazhab Syafii di Maijidil Haram Mekkah  kab ini kabarnya tak mau pulang ke Minangakbau karenan pranata adat yg demikian dianggapnya bertentangan dg Islam karena kemenakan tadi memakan harta anak yatim, putrid \-putri anak mamaknya yang ditinggal almarhum sang mamak tadi.

Pada 4 atau 5 dekade setelah itu, sekitar tahun 1955, menurut Buya Hamka di bukunya Islam dan Adat Minangkabau, dengan motor penggerak ulama Syekh Sulaiman al-Rasuli atau Inyiak Canduang, pelegaran pemikiran (mungkin semacam KKM pula) disimpulkan bahwa harta pusaka tinggi yg berasal dari keturunan suku tetap diberikan kepada kemenakan (harta musabalah). Sedangkan harta produk pencarian 'laki-bini' selama perkawinan bila terjadi kematian salah seorang dari suami-isteri itu, maka itu dibagi menurut hokum kewarisan Islam, di antaranya kepada naka kandung pasangan almarhum atau almarhumah tadi. 

 Kini, di akhir decade pertama abad ke-21, ada pemikiran lain, seperti yang kira-kira digas oleh para perancang KKM tadi. Apakah system ABS-SBK sudah bejalan sebagaimana mestinya? Ataukah insitusi yang ada harus dipebarui dan diganti dengan yang baru? Ataukah semua orang di Minangkabau harus masuk ke dalam institusi yang ada lalau melakukan teronbosan-terobosan baru? Ataukah masih ada yang beluum ppaham dengan harta pusaka tinggi kaum yang dibagi ke menakan dan pusaka rendah kepada anak-pinak?. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan “baio-batido” antara semua komponen dan eksponen Minangkabau, agaknya perlu segera dijawab. Atau inikah yang disebut basilang kayu dalam tunggu di situ api makonyo hiduik? Mungkin pula ini yang disebut sebagai Minangkabau paradoks?***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takziyah Sir Prof Dr H Azyumardi Azra, MA., M Phil., CBE Tokoh Cendekiawan dan Akademisi Muslim Dunia

Shofwan Karim, Pembicara dalam Pertemuan MDNG se Dunia