SENSASI SERIBU KUCING Oleh Shofwan Karim





SENSASI SERIBU KUCING
Oleh Shofwan Karim

Seekor kucing berbulu tebal hitam-legam berwajah beringas, bermata tajam, dengan gigi gemertak masuk ke sebuah aula luas dan amat besar. Di situ ada seribu petak cermin-kaca. Kepalanya melenggok ke kiri dan ke kanan. Bagaikan mencari musuh dan mangsa dengan buas.

Tiba-tiba sang kucing terperangah melihat keseribu wajah dalam seribu keping cermin-kaca itu. Betapa ganasnya wajah-wajah yang dilihatnya. Bagaikan petir dan halilintar meletus prasangka di dadanya. Seribu wajah beringas siap menerkamnya. Hatinya gaduh, galau dan rusuh. Bagaimana dia melawan wajah- wajah beringas yang seakan siap mencakarnya. Tanpa pikir panjang, sang kucing lari terbirit-birit keluar. Tanpa melengoh ke belakang meninggalkan aula besar yang sepi.



Selang beberapa jam kemudian, seekor kucing lain datang. Badannya tidak sebesar kucing sebelumnya. Sang kucing berusia muda, badan berukuran sedang berbulu bersih dengan dua warna putih dan coklat kekuning-kuningan. Kucing ini dengan mata bening, wajah ramah, tampang ceria, berlari-kecil, melompat ke kiri dan ke kanan, masuk ke aula besar yang sama.



Kepalanya celengak-celenguk ke kiri, ke kanan dengan semu wajah riang dan gembira. Dari seribu keping cermin itu pula wajah seribu ekor kucing yang ceria dan melompa-lompat kecil dengan riang mengajaknya bersenang-senang dan menari-nari. Kucing itu seakan bertemu dengan para sahabat lamanya dengan suasana pesta ala kucing. Dia merasa di alam nirwana dan bertahan lama di aula besar itu.

Ilustrasi ini membuat kening saya berkerenyit dan berpikir keras. Pesan ini dalam untaian kata berbeda tetapi subtansi sama, saya baca di dalam benang wacana salah satu grup media sosial. Seakan sebuah repleksi diri, ternyata kita mempersepsikan keadaan lingkungan kita di antaranya karena konsep diri kita sendiri. Bila kita gembira, ceria, berhati senang, memiliki “passion” (kecintaan yang ikhlas) terhadap lingkungan, maka lingkungan yang tercipta akan senang, ceria, kondusif dan optimistik. Itulah yang dilakukan oleh kucing kecil yang kedua tadi. Akan tetapi bila sebaliknya, seperti kucing besar, pada ilustrasi sensasi seribu kucing di atas, maka lingkungan yang tercipta tidak akan produktif, bahkan menakutkan, dan akhirnya kita sendiri meninggalkan medan juang.




Renungan saya terhadap ilustrasi sketsa sensasi seribu kucing ini cukup relevan dengan keadaan kampus kita dewasa ini. Melihat tugas-tugas ke depan melanjutkan program yang sudah dirintis pemimpin sebelumnya sangatlah menantang. Berpikir optimis, bukan menafikan masalah besar yang dihadapi. Melahirkan UIN (ketika tulisan ini diposting-ulang sudah lahir UIN IB Bonjol, Mai 2017 dan Rektor DR. Eka P Wirman, MA sudah diantik Menteri Agama RI, 28 Juli 2017-alhamdulillah) bukanlah sederhana akan tetapi progam besar dengan urusan yang sangat rumit dan besar pula.

Perubahan baru pemerintahan mengikuti mekanisme nasional 5 tahunan ujung tahun lalu, ternyata mempunyai dampak ke implementasi regulasi kebijakan di beberapa kementerian sekaligus.
Otomatis, peroses yang berjalan tehadap suatu rencana dan program di masa pemerintahan sebelumnya turut disesuaikan. Konon ada proses perbaikan mekanisme dan proses yang harus dilakukan secara administratif oleh rektor untuk melanjutkan perjuangan peningkatan status dari institut menjadi universitas.

Sejalan dengan itu upaya memperkokoh meningkatkan kapasitas dan kualifikasi inpra, supra, sarana, prasarana fisik, akademik, SDM, akreditasi, prodi, kegairahan, sikap mental, disiplin, etos kerja dan seterusnya, tentulah harus terus menerus digesa, disegarkan dan dilipatgandakan.

Lebih dari itu, kohesif, kesamaan cara pandang serta semangat untuk kemajuan mesti tanpa henti digelorakan. Tiga komponen insan akademik: mahasiswa, dosen dan karyawan, selama ini sangat fokus melihat dan berpedoman ke mana arah angin kepemimpinan dan top manajemen. Kepemimpinan itu ditangan rektorat dan dekanat dengan seluruh turunannya lembaga, badan, unit sampai ke bagian, sub, dan ketua prodi. Semuanya merupakan rumpun dinamo utama yang dianggap jantung kemajuan seluruh hal. Setidaknya itulah yang terasa selama ini.

Kenyataannya di dunia kepemimpinan di berbagai wilayah komunitas sosial, lembaga, organisas, instansi, institusi, kita terpaku kepada dua pilihan. Pertama, berwajah beringas, kokoh dan tegas, tetapi menyimpan kelemahan dan sebenarnya penakut mengambil resiko dan jauh dari kesantunan.
Dan kedua, sosok santun, mempunyai nurani kemanusiaan yang tinggi namun tegas dalam prinsip dan regulasi, konsisten, konsekuen dan tangguh menghadapi tantangan serta petarung sejati dalam merebut tujuan dan cita-cita institusi.

Maka biarlah kita menjadi kucing yang tidak terlalu besar, tetapi tangguh, kuat, kokoh namun lincah, humanis, optimistik, perhatian, sejuk, persuasif, mampu memupuk solidaritas dan kerjasama diiringi sikap tegas dengan manajemen yang rapih dan kesantunan yang tinggi.

Hanya perlu disempurnakan bahwa kepemimpinan sensasi seribu kucing jenis kedua, tidak berarti apa-apa kalau tidak mampu mengajak pengikutnya bekerja sepuluh kali lipat, atau paling tidak seperti pidato Rektor Dr.Eka pada HUT RI ke- 70 lalu, tiga kali lipat. Yang paling pokok sesuai dengan status, tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang selalu kita ulang-ulang selama ini, haruslah kita segarkan lagi. Kita berkerja secara terpadu dan menyeluruh.

Mari mengambil inspirasi dan menjadikannya sebagai motivasi, “Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu (status, fungsi dan tanggyungajwab), sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui. (QS, Az-zumar, 39). ***

Note: Tulisan ini pernah dimuat di Suara Kampus, Desember 2016.
https://issuu.com/suarakampus.com/docs/edisi_137_desember.pmd



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takziyah Sir Prof Dr H Azyumardi Azra, MA., M Phil., CBE Tokoh Cendekiawan dan Akademisi Muslim Dunia

Shofwan Karim, Pembicara dalam Pertemuan MDNG se Dunia